Translate

18 Agustus 2009

Bakpia Tengiri atau Bakpia Ngantuk

Nama bakpia tidak lepas dengan nama salah satu kawasan di tengah-tengah kota Yogya. Pathuk menjadi sentra pembuatan bakpia dari industri rumah tangga sampai industri berskala menengah.
Bentuk persaingan klasik antar produsen bakpia di Pathuk dari dulu sampai sekarang adalah persoalan identitas. Sebagai upaya membedakan produk bakpia yang satu dengan yang lain mereka memakai nomor rumah sebagai merek yang dicetak dalam kertas pembungkus atau dos.
Menggunakan nomor rumah sebagai merek dagang memang tidak lazim karena merek adalah identitas sekaligus citra yang mewakili sebuah produk. Jarang ada produsen yang memakai nomor rumah, kantor atau pabrik sebagai merek dagang karena khawatir dapat merusak imej atau citra produk di mata konsumen terkait dengan kondisi lingkungan atau bangunan rumah.
Tetapi inilah Yogya, walau merek menunjuk pada toko atau rumah yang letaknya di gang sempit dan konsumen dapat melihat bagaimana bakpia dibuat. Ternyata itu tidak mengurangi antusiasme wisatawan untuk mengunjungi Pathuk guna mencari bakpia sesuai dengan seleranya sebagai oleh-oleh walau harus masuk ke gang-gang sempit.
Persaingan bagai pisau bermata dua, menguntungkan karena dengan persaingan memunculkan semangat inovasi. Awalnya bakpia yang berbahan dasar kacang hijau, tepung terigu, gula pasir, minyak dan garam berasa kacang hijau. Kini pilihan semakin bervariasi karena ada rasa coklat, keju dan nanas.
Persaingan menjadi kurang sehat jika menitik beratkan kepandaian meniru baik dari rasa, bentuk, ukuran sampai kemasan dan merek karena akan menciptakan stagnasi . Ketika ada satu dua industri bakpia di Pathuk yang tutup. Itu buah dari seleksi alam dimana yang kreatif, inovatif dan memperhatikan kualitas yang akan bertahan.
Pathuk sebagai sentra bakpia ternyata tidak egois. Pathuk memiliki semangat pemerataan ekonomi dengan cara melatih beberapa orang untuk diajari bagaimana cara membuat bakpia. Kemudian orang itu harus menularkan ilmu membuat bakpia ke tetangga di sekitarnya.
Buktinya, di Jalan Tengiri Gang VII Perumahan Minomartani, Condong Catur, Sleman. Bakpia menjadi industri rumah tangga dan hampir setiap rumah ada tulisan tersedia bakpia rasa keju, kacang hijau, coklat dan nanas. Tidak lupa mencantumkan nomor rumah sebagai merek. Seperti 702, 705 dan 712. Angka 7, menunjukkan gang dan angka-angka di belakangnya menunjukan nomor rumah.
Persaingan juga terjadi, ada yang saling iri sesama tetangga dan ada juga bangkrut. Inilah Yogya, terkadang nampak tidak kreatif tetapi menggelikan. Andaikan pengrajin bakpia Minomartani dapat menciptakan bakpia rasa tengiri. Atau menemukan teknik memasak bakpia yang dapat membuat warna kuning kecoklatan pada kulit bakpia seperti ekspresi muka orang yang tertawa, cemberut, sedih dan nganthuk.
Sehingga dapat menjadi alternatif pilihan bagi wisatawan karena rasa dan keunikannya. Sekaligus menggoda wisatawan dan siapa tahu wisatawan atau orang Yogya menjuluki bakpia Minomartani dengan bakpia Tengiri atau bakpia Nganthuk.
Salam bakpia.

11 Agustus 2009

Menghijaukan Kota dari Kampung dan Kantor

Niat menghijaukan kota dengan pohon perindang terkendala oleh berbagai kepentingan pragmatis yang mengarah pada upaya meningkatkan pendapatan asli daerah. Seperti pembangunan mall atau tumbuhnya papan-papan reklame.
Keberadaan pohon perindang di pinggir jalan dimaknai sebagai pengganggu papan reklame dan kabel-kabel listrik atau telepon. Selain dapat merusak trotoar, jalan dan saluran drainase oleh akar-akar pohon tersebut.
Pegawai PLN atau PT Telkom sepertinya mengabaikan kemampuan alami pohon dalam menahan beban berat cabang-cabangnya. Mereka sering asal tebang atau pangkas terhadap pohon atau cabang yang dianggap menggangu kabel listrik atau telpon. Kurang memperhatikan estetika dan titik tumpu pohon dalam menahan beban berat cabang-cabangnya. Sehingga pohon-pohon itu tidak enak dipandang, rawan tumbang dan berpotensi mencelakai orang-orang yang kebetulan lewat atau ada di bawahnya.
Ini menunjukkan PT Telkom dan PLN kurang bersahabat dengan lingkungan dan memposisikan pohon-pohon dipinggir jalan sebagai pengganggu. Bukan sebaliknya, keberadaan instalasi listrik dan telepon yang sebenarnya menggangu pohon yang berfungsi sebagai perindang, menjaga cadangan air tanah, mengurangi polusi udara serta suara di kota.
Alternatif menghijaukan kota dengan memulai dari kampung atau komplek perumahan dan mendorong warga membuat taman di lahan kosong. Akan lebih bermanfaat jika Walikota mewajibkan kantor pemerintah atau instansi terkait menanam pohon perindang yang akarnya tidak merusak bangunan. Serta menghias ruangan kantor dengan tanaman hias atau bunga seperti mawar, anggrek, kaktus dan lainnya. Sehingga menciptakan suasanan kerja yang menyenangkan, mengurangi kejenuhan dan meningkatkan produktivitas serta kreativitas pegawai.
Tidak ada salahnya berharap dapat melihat keindahan bunga anggrek di dinding ruang tunggu kantor pegadaian. Melihat dan mencium bau wangi mawar yang ada di meja pegawai telkom atau PLN atau koperasi unit desa saat membayar rekening listrik atau telepon. Lebih menyenangkan jika bunga itu diambil dari tanaman yang tumbuh halaman kantor.
Selain itu bermimpi dapat mencium harumnya bunga melati saat membeli perangko, mengambil wesel atau membayar pajak di kantor pos. Bunga melati itu diletakkan di loket pelayanan baunya menyebar ke seluruh ruangan. Bunga itu tidak beli tetapi dipetik langsung dari tanaman melati yang tumbuh di sekitar kantor pos.
Karena itu kantor kelurahan dan kecamatan harus ikut berbebenah diri untuk menciptakan Yogya yang berhati nyaman. Tidak latah, ikut-ikutan memelihara tanaman hias yang sedang trend. Tetapi menciptakan kebersamaan dalam menumbuhkan rasa cinta masyarakat terhadap lingkungan. Dengan tekun merawat tanaman dan pohon di kantor atau tempat kerja.
Dari menyirami, membersihkan jamur atau parasit yang ada di pohon sampai memberikan pupuk. Tidak menyerahkan perawatannya kepada pesuruh, bawahan atau office boy. Mau...? (Kompas Jogja, 17/10/2007)
Ady Pratama(*) Komunitas Anak Bawang

05 Agustus 2009

Sekolah Dam... Di... Dam... Di... Dam... Dam...

Proses pendidikan di sekolah mestinya berlangsung menyenangkan karena tugas sekolah memberi sesuatu yang baru bagi siswa. Interaksi guru dan murid baik jika setiap tugas dari guru tidak dimaknai sebagai beban oleh murid.
Pembelajaran di sekolah menjadi menarik jika guru dapat meciptakan atmosfir pembelajaran yang menumbuhkan antusiasme siswa dengan menempatkan obyek pelajaran seperti sebuah misteri, yang menggoda rasa ingin tahu sehingga mendorong keinginan siswa untuk memecahkannya.
Sekolah itu menyenangkan jika nampak wajah ceria pada diri siswa saat ke sekolah. Iklan sekolah gratis dimana-mana, memperlihatkan bagaimana siswa sekolah dasar dan menengah pertama gembira dengan berlari-lari kecil, menyanyi dan ceria saat berangkat ke sekolah. Sambil menari mengikuti irama lagu, dam... di... dam... di... dam... dam.....
Sementara wajah orang tua di sebuah kampung antah berantah mengekspresikan perasaan senang dengan ikut menari dan menyanyi, sambil memukul peralatan rumah tangga. Tidak ketinggalan tukang ojek ikut menari dalam gerakan yang padu dan seirama dalam iklan sekolah gratis dimana-mana. Dam... di... dam... di... dam... dam...
Iklan adalah iklan. Tugasnya membujuk, menciptakan atau menjaga citra produk yang diiklankan. Iklan yang bagus jika memiliki kekuatan untuk menghentikan atau stoping power. Memiliki konsep jelas, dibuat secara sederhana, mengandung unsur tidak terduga serta mempunyai daya bujuk agar agar konsumen tergoda membeli atau mengikuti.
Sekolah itu menyenangkan karena mengajarkan banyak hal seperti kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, menghargai setiap perbedaan dan terbuka terhadap ide, gagasan atau cita-cita muridnya. Tidak menjebaknya dalam permainan kata-kata bahwa anak pinter harus jadi dokter. Bapaknya sopir angkot, anaknya bisa jadi pilot. Atau bapaknya tukang loper koran, anaknya bisa jadi wartawan. Seperti dalam tayangan iklan sekolah gratis dimana-mana, versi percakapan dalam angkot.
Pendidikan yang menyenangkan adalah pendidikan yang menghargai arti kebebasan, memberi pengertian pentingnya memilih yang dilandasi dengan tanggungjawab. Untuk itu pendidikan mesti mendorong siswa untuk dapat mewujudkan mimpi-mimpinya.
Mengapa harus menanamkan pemahaman bahwa anak sopir ke depan juga jadi sopir. Tidak salah jika anak sopir angkot menjadi penguasaha jasa angkutan penumpang seperti travel atau juragan kendaraan angkutan kota. Pendidikan yang mencerdaskan memberi kesempatan pada siswa untuk memperoleh sesuatu yang baru. Tidak ikut-ikutan menilai pekerjaan sopir angkot sebagai pekerjaan kasar dan rendahan. Sementara pekerjaan sebagai pilot pekerjaan yang bergengsi dan prestisius, walau esensinya sama.
Sekolah akan menyenangkan jika sistem pendidikan mendorong siswa kreatif melihat setiap kemungkinan akan masa depan, tidak membelenggunya dengan sejarah pekerjaan orang tua. Anak penjual atau tukang loper koran bisa menjadi seniman besar bukan sekedar menjadi wartawan yang tugasnya mengejar, mencari berita atau membuat gosip dari dan tentang seniman besar.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak terjebak dalam kepentingan politis. Tidak memanfaatkan kepandaian atau kecerdikan untuk mengelabui orang atau pihak lain dengan menyembunyikan kebenaran. Lewat kata-kata yang bersayap dan penuh kamuflase, seperti sekolah gratis dimana-mana.
Di beberapa daerah sebagian orang tua siswa yang bersyukur anak-anaknya merasakan sekolah gratis tingkat dasar dan menengah pertama Tetapi tidak sedikit yang kecewa dengan iklan sekolah gratis dimana-mana karena mereka harus cermat memaknai arti sekolah gratis dan harus mencari dimana sekolah gratis.
Keinginan pemerintah menyelenggarakan pendidikan gratis tingkat pendidikan dasar dan menengah seperti dalam iklan sulit diwujudkan sebab sejumlah daerah mengalami keterbatasan APBD. Namun itu bukan berarti susah untuk menciptakan sekolah yang menyenangkan karena sekolah gratis tidak secara otomatis akan membentuk sistem pendidikan yang menyenangkan.
Standarisasi nilai ujian kelulusan lewat ujian nasional atau UN kerap membawa persoalan sosial baru. Sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan sebagai tempat untuk belajar, menerima kekurangan dalam memahami sebuah persoalan. Bukan lagi tempat yang “pribadi” untuk mengakui kelemahan dalam memahami salah satu mata pelajaran. Termasuk menyadari kekurangan diri sebagai siswa yang tergolong kurang teliti atau kurang mampu dalam satu pelajaran tertentu.
Sekolah terasa menjadi angkuh dan tidak lagi bersahabat ketika siswa menginjak kelas akhir. Sekolah mengkondisikan keadaan seperti akan menghadapi pertempuran. Beberapa minggu menjelang UN, sekolah seperti kamp latihan militer. Ada sekolah yang sibuk dengan memberi jam pelajaran tambahan bahkan ada yang meminta siswa menginap di sekolah.
Sekolah gratis, dalam arti yang sesungguhnya atau yang sudah sengaja dibiaskan. Tidak sepenuhnya memiliki korelasi positif dengan kualitas pendidikan di sekolah. Manfaat sekolah gratis lebih banyak dirasakan orang tua dan politisi sementara siswa kurang merasakan manfaatnya.
Tidak sedikit orang tua, pemerhati masalah pendidikan mengeluh dengan adanya sekolah gratis kualitas pendidikan tingkat dasar dan menengah pertama menurun. Ini dipicu rendahnya dana untuk keberlangsung proses belajar mengajar di sekolah.
Perhatian publik tentang sekolah gratis bersifat musiman, umumnya terjadi saat penerimaan siswa baru. Seiring dengan perjalanan waktu perhatian akan berkurang dan beralih ke persoalan lain. Apakah sekolah mampu mempertahankan keceriaan siswa-siswa yang duduk di kelas akhir seperti di iklan sekolah gratis dimana-mana? Berangkat ke sekolah bersenandung gembira, “Dam... di... dam... di... dam... dam...”.
Dari iklan sekolah gratis, nampaknya pemerintah memiliki keinginan yang baik. Tetapi pemerintah kembali dihadapkan pada persolan klasik dimana keinginan dan tujuan baik terkendala oleh jaring-jaring birokrasi, kepentingan politis, kurang seriusan dan kualitas sumberdaya manusia tingkat manajerial sampai pelaksana dalam menyikapi sebuah kebijakan yang pro rakyat.
Pemerintah mestinya bertindak tegas dan cepat dalam mewujudkan pendidikan gratis tingkat dasar. Hambatan birokrasi dan aturan di daerah yang kurang memihak pada rakyat mestinya dihilangkan. Yang ditunggu rakyat bukan sekedar sekolah gratis dimana-mana tetapi komitmen dan keseriusan dalam meweujudkan program pendidikan gratis.
Sekolah gratis bukan sekedar sekolah yang memamerkan tari dan lagu dam... di... dam... di... dam... dam....Seperti film-film India yang mengumbar mimpi lewat tari dan lagu. Sekolah itu pendidikan dan iklan sekolah gratis mestinya mendidik kejujuran. Gratis, ya... gratis tis. Bukan dam... di... dam... di... dam... dam.... (Kompas jateng DIY,3 Agustus 2009)
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change

03 Agustus 2009

Jogja dan Jembatan

Di atas aliran sungai Code, sedikitnya ada tujuh jembatan yang menghubungkan wilayah yang satu dengan yang lainnya. Jembatan di Jl. Sarjito, jembatan Gondolayu di Jl Sudirman, Kewek, jembatan Jambu Jl. Mas Suharto, jembatan Juminahan dekat Jl. Jagalan dan Jl. Juminahan. Jembatan Gondomanan atau Ratmakan menghubungkan Jl. Sultan Agung dan Jl. Senopati, serta jembatan Tungkak di Jl. Sugiono. Belum lagi jembatan yang melintang di atas sungai Gajah Wong dan sungai Winongo.
Perlakuan dan perawatan Pemkot terhadap jembatan-jembatan tersebut berbeda dan terkesan diskriminatif. Jembatan Gondolayu dan Kewek menjadi anak mas Pemkot. Kedua jembatan ini dilengkapi dengan berbagai lampu hias dan banyak lampu antik. Bahkan jembatan Gondolayu dilengkapi dengan lampu sorot di kanan kirinya sehingga menimbulkan kesan yang eksotis di malam hari.
Jembatan Kewek selain sudah unik karena ada jalan kereta api yang melintas di atasnya. Oleh Pemkot dilengkapi lagi dengan taman, air mancur, lampu hias, dan lampu penerang yang menyoroti tugu adipura.
Bandingkan dengan jembatan Gondomanan, yang hanya dilengkapi empat lampu antik, tiangnya kusam dan lampu hiasnya kecil kurang proporsional untuk menghias jembatan yang cukup lebar dan ramai. Atau mungkin lampu hias tersebut sengaja dipasang oleh warga sekitar jembatan untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan RI.
Tidak ada kesan khusus bahwa jembatan itu merupakan jembatan penting karena jembatan Gondomanan menjadi salah satu sarana utama yang menghubungkan jalan menuju obyek wisata Kraton Puro Pakualaman dan Gembiraloka.
Kesan diskriminatif semakin nampak jika membandingkan dengan jembatan Tungkak di Jl. Sugiono. Jembatan ini jauh dari hiasan dan minim lampu penerang. Setiap kali pejalan kaki lewat harus menutup hidung karena bau yang tidak sedap muncul dari bawah jembatan yang banyak sampah di dasar sungai dan di tiang jembatan. Tidak ada pemandangan yang menarik saat melihat ke bawah jembatan selain sampah, rumput dan tanaman liar yang tumbuh tinggi.
Berbeda saat kita melihat ke bawah di jembatan Gondolayu, Gondomanan, Juminahan, Jambu atau jembatan Sarjito. Walau tidak terlalu bersih, sampah sudah mulai jarang terlihat. Warga sekitar kolong jembatan dan sepanjang sungai Code dari jembatan Sarjito, Gondolayu sampai Gondomanan sepertinya mengerti bagaimana menjaga sungai supaya bersih. Karena tidak sedikit warga yang memanfaatkan aliran sungai Code untuk memelihara ikan.
Sepertinya warga paham akan anjuran untuk tidak membuang sampah ke sungai. Tetapi menjadikan kolong serta samping jembatan untuk menyimpan kertas, botol bekas dan barang rongsokan lainnya seperti di bawah dan samping jembatan Gondolayu.
Semoga Pemkot dan warga sekitar jembatan-jembatan di Yogya memiliki ide membuat program untuk mempercantik jembatan, sungai dan kolong jembatan supaya bersih dan menarik untuk dilihat. Sehingga setiap jembatan yang ada di Yogya memiliki karakter tersendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya sesuai dengan karakter warga yang tinggal di sekitar jembatan.(Kompas Jogja,31/10/2007)
P Daryono(*)
Komunitas Cemara Tujuh

31 Juli 2009

Rusunawa, Jemuran dan Kota Budaya

Keberadaan rumah susun sedehana sewa atau rusunawa di Cokrodirjan mudah sekali menarik perhatian bagi orang yang sedang melintas di atas jembatan Juminahan atau jembatan Jambu. Karena bangunannya paling menonjol dan tinggi dibanding dengan bangunan lain di sekitarnya, di pinggir sungai Code.
Mestinya keberadaan rusunawa tiga tahun lalu, memberi nilai lebih bagi Yogya. Tidak dibiarkan menjadi bangunan yang tanpa memiliki sentuhan cita rasa seni, “kosong”, kurang menyatu dengan atmosfir Yogya.
Andaikan dinding rusunawa Cokrodirjan dihiasi lukisan mural seperti di tembok-tembok di beberapa sudut kota dan di tiang-tiang penyangga jembatan layang Lempuyangan. Tentunya keberadaan rusunawa di pinggir sungai Code menambah daya tarik kawasan pinggir sungai Code.
Sebagaimana pernah dilakukan Romo Mangun, yang tidak sekedar menata pemukiman pinggir sungai Code. Tetapi juga memberi sentuhan seni pada rumah-rumah yang terbuat dari anyaman bambu dengan memberi lukisan atau gambar yang berwarna-warni sehingga rumah-rumah sederhana itu nampak indah dan lebih humanis.
Rusunawa Cokrodirjan diresmikan tahun 2004 bersamaan dengan rusunawa di Cimahi, Gresik, Tangerang, Batam, dan Surabaya. Seyogyanya konsep membangun rusunawa di Yogya tidak sebatas pada upaya menyediakan tempat tinggal sewa yang murah dan tertata rapi. Sewa perbulan antara Rp 75 ribu sampai Rp 85 ribu, kamar mandi dan WC di dalam. Atau peduli lingkungan dengan menyediakan kamar mandi atau WC umum untuk warga sekitar rusunawa.
Tetapi bagaimana menjadikan bangunan itu unik, menarik, selaras dengan lingkungan. Penghuni sadar menjaga kebersihan, keamanan dan kenyamanan bersama. Serta tidak gagap dalam proses akulutrasi budaya.
Peraturan Pemerintah no 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun salah satu pasalnya menyebutkan rumah susun harus dilengkapi alat pemadam kebakaran dan tempat jemuran. Di rusunawa Cokrodirjan ada tempat pemadam kebakaran tetapi alatnya tidak ada ditempat. Entah memang tidak dilengkapi atau disimpan oleh pengelola rusanunawa karena takut hilang.
Persoalan jemuran, warga rusunawa harus kreatif membuat jemuran sendiri di depan kamarnya. Jika kurang cermat saat menjemur bisa jadi baju atau yang lainnya diterbangkan angin dan jatuh di sungai Code. Jika demikian jangan berharap pakaian itu mudah ditemukan. Karena itu pembangunan rusunawa Juminahan yang mulai dikerjakaan saat ini mesti memperhatikan persoalan-persoalan sepele seperti tempat jemuran, sistem alarm, dan tempat sampah.
Penyewa rusunawa terdiri dari berbagai latar belakang budaya dan sosial. Tidak semuanya lahir dan besar di Yogya, mereka mencari nafkah di Yogya. Untuk itu dalam membangun rusunawa mesti memperhatikan nilai kelokalan dan kultur Yogya. Karena tidak tersedianya jemuran maka dengan mudah dilihat lambaian jemuran celana dalam dari jalan raya. Tentu hal itu akan merusak citra kota budaya.(Kompas Jogja.13/2/2008)
P Daryono(*)
Komunitas Cemara Tujuh

22 Juli 2009

Selamat Tinggal Lampu Bangjo ?

Pemerintah Kota Yogya tengah mengembangkan budaya baru dalam berlalulintas dengan menempatkan alat hitung mundur atau down counter yang menampilkan angka-angka digital di tiang-tiang lampu bangjo atau traffic light.
Dan secara perlahan tapi pasti, perhatian pengguna jalan di Yogya mulai fokus serta membiasakan diri untuk memperhatikan angka penunjuk lamanya lampu warna hijau atau merah menyala. Ketimbang lampu bangjo itu sendiri.
Pemkot beralasan pemasangan down counter untuk menciptakan tertib lalulintas khususnya di perempatan-perempatan. Namun apakah hal itu tidak menggeser makna dari lampu traffic light yang telah menjadi kesepakatan tidak tertulis secara internasional. Dimana warna lampu merah artinya berhenti, hijau jalan dan kuning hati-hati atau siap berhenti.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, pasal 32 menyebutkan setiap orang dilarang menempelkan atau memasang sesuatu yang menyerupai, menambah atau mengurangi arti dari rambu-rambu, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas.
Dalam bahasa hukum kehadiran down counter jelas bertentangan dengan isi dari PP tersebut. Walau tidak sedikit pengguna jalan yang merasa terbantu dengan adanya down counter dalam memperkirakan kapan harus memperlambat kendaaraannya untuk siap berhenti di perempatan. Termasuk bersiap untuk menginjak atau menarik gas kendaraannya beberapa detik sebelum lampu berwarna hijau.
Pemasangan alat tambahan atau down conuter pada tiang pengatur lampu lalu lintas menunjukkan adanya keinginan untuk berubah. Ada intepretasi baru terhadap pola manajemen berlalulintas khususnya di perempatan-perempatan. Warna kuning sebagai simbol dan tanda hati-hati atau siap untuk berhenti kurang populer. Dan tidak sedikit pengguna jalan yang sering menyerobot lampu saat sudah menyala merah. Semakin menegaskan down counter menjadi pilihan yang tidak dapat ditunda.
Apakah down counter akan menjadi tanda atau simbol baru dalam upaya menciptakan tertib berlalulintas masyarakat di Yogya? Jika demikian, tidak ada salahnya untuk menghemat energi dan biaya. Semua lampu isyarat traffic light atau lampu bangjo di perempatan-perempatan jalan di kota Yogya diganti dengan down counter. Menurut Wakil Walikota harganya tidak terlalu mahal sekitar Rp 6 juta.
Mahal atau tidak itu relatif. Mahal karena down counter tidak menyajikan tulisan angka dengan warna kuning. Dan terlalu mahal karena kurang signifikan dalam upaya mengajak masyarakat untuk tertib berlalulintas. Malam hari saat jalan sepi, lampu traffic light yang konvensional, biasanya warna kuningnya menyala berkedip-kedip. Ini sangat membantu pengguna jalan untuk berhati-hati dan mengurangi kecepatannya saat melintasi perempatan jalan.
Apakah masyarakat Yogya memang memerlukan dua alat bantu atau simbol seperti lampu traffic light dan down counter, untuk lebih beretika dalam berlalulintas? Atau memang sudah waktunya lampu traffic light diganti dengan down counter. Sehingga kita perlu segera mengucapkan selamat tinggal pada lampu bangjo.

20 Juli 2009

Jogjambret

Sepeda motor moda transpotasi yang tergolong hemat dan efisien. Jalan-jalan di Jogja terasa penuh oleh sepeda motor, khususnya saat jam-jam sibuk seperti pagi dan sore hari atau siang hari waktu pulang sekolah.
Naik sepeda motor menyusuri jalan-jalan di Jogja dengan membawa tas dicangklong dipundak, relatif berbahaya. Bukan karena tali tas nyangkut di spion kendaraan lain, yang dapat membuat pengendara jatuh tetapi memudahkan pejambret untuk melakukan aksinya.
Tidak sedikit aksi jambret membuat korbannya terluka karena saat tas korban ditarik, tali tidak putus sehingga korban terjatuh. Pada saat kaget, takut dan kesakitan jambret mengambil tas korban yang berisi barang-barang berharga dan penting. Menjadi korban jambret mengguncangkan hati, apalagi sampai terluka. Mengakibatkan trauma dan butuh memulihkan keberanian dan kepercayaan dalam mengendarai sepeda motor.
Pejambret meggembangkan banyak teknik dalam melakukan pejambretan. Dari memilih korban, pengamatan yang cukup, aksi yang cepat, nekad, berani dan melarikan diri. Sampai cara-cara yang simpel penuh improvisasi. Cuma sebentar membuntuti calon korban, beraksi dan kabur.
Banyak faktor yang mengakibatkan frekuensi kejahatan jambret di Jogja meningkat akhir-akhir ini, korbannya kebanyakan perempuan. Sebagai warga Jogja terasa sudah kehilangan rasa nyaman dan aman karena menjadi korban pejambretan. Belum satu minggu peristiwa penjambretan, istri teman jadi korban jambret di sekitar perempatan Tugu, keponakan kawan yang lain di daerah Tahunan.
Apa yang sudah dilakukan aparat untuk menjaga Jogja aman dan nyaman? Polisi di Jogja mestinya punya cara cerdik dalam menekan kejahatan pejambretan. Jogja adalah daerah tujuan wisata, apa jadinya jika korban jambret adalah wisatawan.
Kehadiran polisi pariwisata kurang maksimal, peran yang dirasakan masyarakat hanya menjadi pengawal iring-iringan mobil atau bus wisatawan. Setiap markas polisi tingkat sektor memiliki standar operasional dalam menjaga keamanan wilayah yang menjadi tanggungjawabnya dan memiliki peta daerah-daerah yang rawan kejahatan. Tugas polisi terasa berat jika fokus mengejar penjahat, perampok, pejambret atau pencopet.
Tugas polisi terasa ringan jika mampu membangun komunikasi yang baik dan sehat dengan masyarakat, bekerja lebih profesional, selalu meningkatkan kemampuan dan pengetahuan. Sehingga ketika ada laporan peristiwa kejahatan, polisi bertindak cepat karena tanggungjawab dan profesionalisme bukan karena lipservice supaya kelihatan bekerja. Sibuk di tempat kejadian perkara, menggali informasi dengan mencatat dan bertanya sana-sini. Tetapi setelah itu semuanya tinggal menjadi laporan dan arsip.
Jangan samai kota tercinta Jogja menjadi Jogjambret karena tingginya kasus kejahatan jambret dan selalu naik turun kasusnya. Apalagi jika sampai meminta nyawa karena korban jambret jatuh dari motornya hingga luka parah dan meninggal. Ceritanya akan lain jika korban itu anak pejabat atau turis asing.
Tidak lucu memberantas jambret cukup memasang sapanduk bertuliskan “Awas, Jambret” di pinggir jalan atau di sudut-sudut perempatan. Seperti memasang spanduk bertuliskan “Awas, Copet...!, maksudnya mengingatkan masyarakat atau mengancam copet? Atau malah kedua-duanya.

16 Juli 2009

Kindergarten Cop dan Manajemen Bencana di Sekolah

Pejabat dan masyarakat terlalu mudah menyimpulkan bahwa banjir dan tanah longsor akibat dari gundulnya hutan dan adanya praktek illegal logging. Ini menunjukkan belum adanya pemahaman yang komperehensif dalam memahami apa dan bagaimana bencana itu terjadi.
Bukti lain diperlihatkan oleh media yang mudah memberitakan dan menyiarkan statement pejabat tentang sumber bencana. Yang menilai dan menyimpulkan terjadinya bencana hanya dengan sekali kunjungan ke lokasi bencana. Sebagaimana musibah banjir dan longsor di Banjarnegara atau Jember yang ditengarai oleh pejabat sebagai akibat penggundulan hutan dan illegal loging.
Pihak Perhutani seperti disalahkan sehingga perlu memberi penjelasan bahwa banjir atau tanah longsor bukan akibat dari adanya illegal logging tetapi karena curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan lapisan tanah latosol yang ditumbuhi rosamala mengelupas karena adanya pergeseran tanah.
Penjelasan ilmiah semacam itu yang didukung oleh penelitian dan studi lapangan cukup lama biasanya kurang mendapat perhatian baik oleh pejabat atau masyarakat. Alasan tersebut kadang dianggap sebagai upaya bela diri dan lepas tanggungjawab.
Upaya mencari kambing hitam masih menjadi sikap arogan pejabat karena perlu ada pihak yang harus disalahkan untuk memuaskan publik terkait terjadinya bencana banjir atau longsor. Kambing hitam itu adalah penduduk sekitar akibat ketidak tahuannya dan kurangnya informasi bahwa pegunungan atau lereng yang curam dan terjal tidak boleh ditanami dengan tanaman umur pendek seperti kopi dimana akarnya kurang mampu mengikat tanah sebagaimana pohon-pohon keras.
Jamak budaya lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan di masyarakat sementara kemauan belajar dan meninggalkan kebiasaan buruk enggan dilakukan oleh pejabat dan masyarakat kita. Mereka kurang menyadari adanya kesalahan berpikir dalam menyimpulkan penyebab terjadinya banjir dan longsor.
Salah satu penyebabnya adalah sistem pendidikan lingkungan yang tidak berubah. Dari dulu hingga sekarang di sekolah dasar masih mengajarkan bahwa banjir dan tanah longsor disebabkan oleh sampah yang menyumbat sungai dan selokan. Atau karena penebangan pohon di hutan.
Penyebab lain seperti tingginya curah hujan, sifat tanah yang berbeda dan ketidak mampuan manusia untuk menghindari tempat-tempat potensial yang memungkinkan terjadinya bencana hampir tidak pernah diajarkan di sekolah. Semestinya hal itu menjadi pengetahuan umum yang harus dipahami sepanjang hidup masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
Kurikulum berbasis kompetensi ternyata belum mampu menangkap kebutuhan peserta didik untuk memahami kondisi lingkungannya. Ketika laut tiba-tiba surut masyarakat di pantai malah beramai-ramai menangkap ikan sehingga tidak melihat fenomena itu sebagai tanda akan datangnya tsunami.
Sebagai negara kepulauan dan daerah rawan bencana gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor dan tsunami. Pendidikan di Indonesia belum mengajarkan siswanya untuk akrab dan peka dengan tanda-tanda alam penyebab munculnya bencana. Penulis yakin belum ada sekolah, baik tingkat dasar atau menengah yang mengajar bagaimana siswa harus bertindak atau bersikap, saat mereka ada di kelas tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh atau meja dan papan tulis bergoyang sendiri.
Sekolah belum mengajar siswa berbagi tanggungjawab jika terjadi bencana termasuk yang diakibatkan oleh kesalahan manusia seperti kebakaran atau kecelakaaan. Sekolah semestinya memiliki jadual tetap untuk melakukan simulasi menghadapi bencana yang dibantu petugas terkait seperti PMI, pemadam kebakaran, satkorlak bencana alam, atau tim SAR setempat.
Selama ini, penunjukkan siswa sebagai ketua kelas cenderung berfungsi seperti pembantu. Demikian halnya dengan piket atau pembagian kelompok sebatas upaya mengenalkan kebersihan kelas. Pengenalan tanggungjawab terasa tanggung, tidak konsisten, terkesan seadanya dan hanya formalitas. Dan masih rendah memberi kepercayaan pada siswa untuk berinisiatif, memiliki kepedulian, mampu memimpin dan dipimpin.
Belajarlah dari film Kindergarten Cop yang dibintangi Arnold. Semua berjalan sesuai dengan standar manajemen bencana. Ketika alarm bahaya berbunyi, guru dan siswa keluar dari ruangannya masing-masing dengan tertib sebagaimana saat latihan.
Korban bencana umumnya mengalami shock, tidak berdaya baik secara fisik atau psikis dan panik. Secara naluriah mereka berupaya menyelamatkan diri, mencari pertolongan dan mengesampingkan orang lain. Namun disaat itu juga ada naluri sosial untuk berkumpul dan berkelompok dalam mengahadapi keadaan yang rentan.
Naluri ini merupakan kunci keberhasilan menanamkan rasa kebersamaan dan bersatu pasca bencana. Dalam kondisi serba chaos akibat bencana, diperlukan seseorang yang mampu tampil menjadi koordinator sekaligus motivator disamping kemauan untuk menjadi orang yang dipimpin.
Saat ini adalah moment tepat untuk mengajarkan manajemen bencana kepada siswa. Kurikulum berbasis kompetesni (KBK) seharusnya mampu memancing kreativitas guru dalam memahami kebutuhan riil masyarakat. Ada banyak hal terkait dengan bencana yang dapat disampaikan guru kepada murid.
Tidak semua aparat lambat bekerja dan tidak semua masyarakat pasrah terhadap bencana. Hal ini ditunjukkan oleh aparat Kesbanglinmas di Magelang yang antusias mempelajari penelitian pakar geologi tentang bencana. Hebatnya lagi, dia sendiri yang menyosialisasikannya ke masyarakat. Sementara warga di lereng bukit Menoreh, Salaman Magelang sudah memiliki sistem peringatan dini terhadap bencana. Dimana saat hujan turun, seorang pemuda dengan mengendarai sepeda motor trail berteriak kepada warga untuk turun ke tempat aman. (Kompas,14/1)
Kapan guru-guru memiliki antusiasme dalam mengajar sistem peringatan dini bencana dan menikmati pekerjaannya dengan menjelaskan tanda-tanda alam? Kapan pendekatan manajemen bencana menjadi bagian dari pendidikan di sekolah? Pertanyaan tersebut bukan sekedar gugatan tetapi juga harapan.(Kompas Jateng DIY, 25/1/2006)
Eko Indarwanto,
Koordinator Komunitas Cemara Tujuh

11 Juli 2009

Dinamika Perempatan Gramedia

Perempatan Gramedia tumbuh dan berkembang, tidak hanya berfungsi sebagai ruang publik yang mengatur lalu lalang kendaraan dengan ciri khasnya melarang semua jenis kendaraan untuk melintas ke arah timur serta jalan kecil khusus bagi kendaraan yang akan berbelok ke kiri. Tetapi tengah tumbuh dan cenderung ingin menjadikan dirinya magnit.Yang berupaya menarik persepsi baru terhadap sebuah kawasan, yang bernama perempatan.
Pada mulanya monumen Tentara Keamanan Rakyat yang dilengkapi dengan patung Jendral Sudirman dan Jendral Urip Sumoharjo, sebagai tetenger atau peringatan akan jasa mereka berdua yang berperan besar akan lahirnya TNI.
Selanjutnya, patung Si Polan di depan pos polisi adalah korban dari sebuah kebijakan atau perintah untuk membuat dan mendirikan patung Si Polan di depan pos-pos polisi atau perempatan. Sehingga mengecil artikan nilai-nilai seni patung, mengabaikan makna simbolik sebuah patung, dan mengesampingkan kemampuan seniman. Karena yang nampak seniman seolah-olah hanya mampu membuat patung polisi.
Kemudian monumen Jogja Kota Pendidikan mengisi titik sudut lainnya. Monumen ini dilengkapi dengan patung Ki Hadjar Dewantara dan sesanti yang ditulis Sultan HB X berisi harapan agar dunia pendidikan bisa mencerahkan kehidupan bangsa.
Namun sayang kehadirannya terkesan dipaksakan dan tidak representatif. Patung Ki Hadjar Dewantara dengan ukuran kacamata yang terkesan kurang proporsional, terlihat lebih besar. Coba bandingkan dengan patung Ki Hadjar Dewantara yang terletak di didepan pendapa Tamansiswa.
Disamping itu, monumen Jogja Kota Pendidikan harus bersaing dengan baliho-baliho atau papan reklame dalam upaya menarik perhatian masyarakat yang melewati perempatan tersebut. Belum lagi dengan kabel-kabel telpon yang menjulur didepan monumen sehingga semakin membuat mata malas untuk memandang.
Masih ada satu titik yang belum terisi dengan patung atau monumen, yaitu di depan kantor DPD Golkar. Dari sisi keberimbangan komposisi, titik sudut di depan kantor DPD Golkar merupakan sumber dari ketimpangan simbol, ketimpangan memahami sebuah ruang publik dan ketimpangan dalam membangun kesadaran kawasan yang beradan serta berbudaya.
Sah-sah saja untuk menutupi kelemahan tersebut dengan menghadirikan sebuah patung. Apakah dalam bentuk patung pohon beringin, patung satgas Golkar, patung Polwan atau patung lainnya? Namun itu semua tidak menjawab persoalan mendasar tentang pemanfaatan ruang publik dan visi pembangunan monumen atau patung.
Menanamkan kesadaran serta menjaga kesegaran ingatan akan moment-moment penting perjalanan sejarah bangsa tidak cukup dengan membangun monumen. Monumen tidak lebih sekedar tumpukan batu dan jejeran patung jika prakarsa pembangunannya didominasi oleh prakarsa pribadi serta institusi.
Tengok, bagaimana merananya patung atau tugu Garuda di depan pangkalan TNI AU Jl. Adi Sucipto. Tidak terawat, ditumbuhi lumut dan rumput-rumput liar, tulisan sebagai satu-satunya sumber informasi tentang gugurnya belasan pahlawan yang mempertahankan pangkalan TNI AU nyaris tidak dapat dibaca.
Monumen SO 1 Maret di perempatan Kantor Pos Besar masih beruntung karena terawat, dikelilingi pagar serta adanya ruang yang cukup luas sehingga mampu menarik perhatian mata dan menggoda untuk mengingat-ingat sejarah perjuangan. Sekaligus membangun imaji yang lain tentang perempatan itu sendiri. Sebagai tempat nongkrong, kongkow-kongkow, melepas kepenatan walau hanya dengan memandang hilir mudiknya kendaraan.
Lain dengan perempatan Gramedia, monumen Tentara Keamanan Rakyat tidak ubahnya tumpukan batu dan jejeran patung. Akses bagi pejalan kaki kurang nyaman. Berhenti dan membaca informasi yang tertulis di monumen tersebut seperti menempatkan diri menjadi patung ketiga, yang patut ditonton oleh para pengguna jalan yang kebetulan menunggu lampu lalu lintas berubah warna. Sementara monumen Jogja Kota Pendidikan, kurang menarik untuk dilihat dan dinikmati sentuhan seninya.
Perempatan ini akan terus berkembang dan berubah. Satu-satunya perubahan yang tidak diharapkan jika dibangun jalan layang di atas perempatan ini. Karena akan merubah ke khasannya, daya tariknya, yang merupakan bagian dari ke khasan Yogya sebagai kota pendidikan.(Kompas Jogja,4/5/2005)
Veronika Kusuma Wijayanti (*)

09 Juli 2009

Bank Syariah, antara Tantangan dan Strategi

Bank syariah, bank yang ingin mebumikan nilai-nilai agama dalam praktek ekonomi sehari-hari. Bank yang membujuk dan mengajak orang untuk melaksanakan kegiatan ekonomi secara santun, bermoral dan berdasar ajaran Islam.
Untuk mencapainya tidak mudah, perlu perjuangan panjang dan keseriusan. Kehadiran bank memiliki arti penting bagi keberlangsungan kegiatan ekonomi. Tetapi tidak jarang bank menjadi alat dalam upaya memperoleh keuntungan ekonomis secara cepat. Sebaliknya, tidak sedikit bank yang terperangkap dalam jurang kerugian karena melakukan aktivitas ekonomi yang penuh resiko. Diantaranya mengelola dana nasabah dalam perdagangan mata uang atau valas, saham dan yang lainnya.
Bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Perbedaan itu yang menempatkan bank syariah dalam posisi khusus. Artinya, kegiatan atau aktivitasnya memiliki ciri pada aktivitas ekonomi yang berdasarkan nilai agama Islam. Dimana nilai atau ajaran agama menjadi prinsip utama dalam menjalankan prinsip-prinisip ekonomi.
Beberapa produk perbankan syariah hampir menyerupai produk bank konvensional. Tetapi produk perbankan syariah tidak semata-mata pada keuntungan ekonomi tetapi juga berdasar pada nilai agama. Salah satunya dengan meletakkan prinsip bagi hasil, yang dinaungi oleh UU no 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan kemudian dipertegas dengan keluarnya Peraturan Pemerintah nomer 72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Untuk menjaring nasabah yang bersedia menanamkan atau memanfaatkan dana di bank syariah ternyata tidak mudah. Walau menurut berbagai laporan bahwa peningkatan nasabah bank syariah terus mengalami peningkatan namun jumlah tersebut masih jauh dari harapan mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Menurut Republika online, total nasabah tabungan bank syariah mencapai 3,9 juta orang. Sementara penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) per bulan April dana dari giro sebesar Rp 6,3 triliun, tabungan Rp 13,4 triliun dan deposito Rp19,3 triliun. Sedangkan data publikasi BI menyebutkan jumlah rekening bank syariah sebanyak 4,7 juta orang. Dengan rincian nasabah giro 74 ribu orang, tabungan 4,5 juta orang dan deposito sebanyak 122 ribu orang .
Untuk itu para pengelola bank syariah di tanah air mestinya tidak cepat puas diri dengan data-data yang menunjukkan peningkatan karena tidak sedikit pelayanan terhadap calon nasabah atau nasabah bank syariah jauh dari memuaskan.
Ketika berkunjung ke salah satu bank syariah di Jogja. Kesan pertama adalah pelayanan yang kurang memuaskan walau mendapat sapaan ramah dan siap menawarkan bantuan dari satpam bank syariah. Ketika bermaksud bertemu dengan costumer service terpaksa harus menunggu cukup lama. Bukannya karena antri tetapi karena pegawai costumer servisnya yang tidak ada di tempat. Entah kemana, sementara satpam yang ramah tadi harus menerima telpon. Setelah menunggu cukup lama, terpaksa angkat kaki dari bank yang bersih dan sejuk oleh pendingin ruangan. Tanpa mendapatkan penjelasan apapun dan sapaan ramah dari satpam karena masih sibuk menerima telpon.
Apa saja produk bank syariah tetap menjadi pertanyaan? Keluar dari bank tersebut yang tertanam dalam kepala bahwa bank syariah itu bank yang tidak memberikan bunga atau riba. Itu saja.
Ini salah satu tantangan mengapa bank syariah belum populer dan belum dilirik oleh masyarakat. Konsumen atau calon nasabah yang pro aktif mencari informasi seputar bank syariah harus menelan kekecewaan.
Jika mendapat informasi, jangan berharap mudah mencernanya. Karena istilah dan produk perbankan syariah kurang familiar ditelinga. Sementara masyarakat tidak memiliki budaya untuk membuat catatan apa yang telah dijelaskan dan kemudian mencernanya di rumah.
Selain itu masyarakat belum teredukasi dengan baik tentang bank syariah oleh karena minimnya promosi dan informasi seputar bank syariah. Disamping tidak sedikit ustaz yang belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang ilmu ekonomi Islam. Dan masih ada ustaz yang bersikap apriori terhadap bank syariah.
Pelayanan yang kurang baik, lemahnya edukasi terhadap pemuka agama dan umat tentang bank syariah persoalan yang harus cepat diselesaikan. Diantaranya dengan menyusun sebuah kerangka besar tentang strategi bagaimana mempercepat gerak perkembangan bank syariah di tanah air.
Pertama, melakukan workshop atau pelatihan bagi jajaran bank syariah secara berkesinambungan untuk menjaga semangat dalam upaya meningkatkan nasabah bank syariah. Diskusi atau tukar pengalaman sesama bank syariah perlu dikembangkan untuk mencapai gerakan bersama dalam mengembangkan bank syariah secara keseluruhan.
Kedua, melakukan edukasi secara berkelanjutan bagi ulama atau ustaz tentang seluk beluk bank syariah. Dengan harapan dari mereka dapat menularkan pengatahuan tersebut ke umat. Dan yang tidak kalah penting adalah melibatkan cendikaiawan muslim dalam menyusun modul, bentuk eduksi atau pelatihan dan memberikan materi dalam memberikan pemahaman yang sederhana dan mudah dimengerti mengenai bank syariah termasuk produk-produknya.
Ketiga, jangan terlalu banyak menggantungkan bantuan pemerintah atau pihak lain dalam melakukan edukasi, promosi atau sosialisasi tentang bank syariah. Hal ini akan menumbuhkan kebiasaan saling menunggu.
Yang dibutuhkan adalah membentuk komunitas-komunitas kecil dengan memanfaatkan sumberdaya lokal untuk memulai gerakan memahami bank syariah secara benar. Salah satu cara, membangun kerjasama dengan ulama di tingkat kecamatan dimana bank syariah itu berada.
Dan yang terakhir adalah membangun budaya mendengar dan menerima berbagai bentuk keluhan atau kekurangan terkait dengan keberadaan bank syariah. Informasi itu akan menjadi bahan yang sangat berharga jika pihak pengelola bank syariah memiliki kejelian dalam melihat peluang, mampu berpikir kritis terhadap setiap persoalan dan dapat memaksimalkan sumberdaya yang ada untuk menangani pekerjaan secara profesional.
Tantangan dan upaya strategis untuk mengembangkan bank syariah kurang bermanfaat jika memahami bank syariah sebatas memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Bank syariah adalah salah satu garda depan dalam menjalankan kegiatan ekonomi yang ideal, memiliki roh keagamaan tanpa harus meninggalkan pijakan berupa kegiatan ekonomi praktis
Bank syariah adalah bank yang dibangun dengan semangat dan tujuan menyelamatkan pelaku-pelaku ekonomi, manusia. Tanpa bermaksud mempersulit dengan kaedah atau aturan-aturan agama. Tetapi bukan berarti membiarkan diri bank syariah bangkrut karena terlalu condong pada nilai-nilai religi.
Akan terjadi friksi yang tidak pernah selesai antara kepentingan duniawi dan rohani. Bank syariah akan terus menerus berdiri diantara dua kekuatan yang saling tarik menarik. Bank syariah dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan.
Inilah tantangan yang sesungguhnya bagi bank syariah jika sudah mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Melakukan edukasi sehingga masyarakat mengerti apa adan bagaimana bank syariah. Kemudian dengan mudah menemukan bank syariah karena promosi yang menarik.
Tugas bank bank syariah kedepan adalah menjaga kelancaran aktivitas ekonomi nasabah sehingga memberi manfaat bagi banyak orang secara ekonomis. Sekaligus bertugas menjaga jiwa agar tidak terjebak dalam dunia yang materialis dengan mengorbankan kehidupan rohaninya.
Peran bank syariah menjadi sangat strategis untuk menjaga keberlangsungan kegiatan ekonomi dan moral pelaku ekonomi. Karena itu bank syariah membutuhkan orang-orang yang memiliki kualitas di atas rata-rata bukan tempat buangan bagi pegawai bank yang kurang berprestasi.
Tidak mudah memberikan pemahaman dan penjelasan yang sederhana tentang tabungan atau giro wadiah dan mudharabah, termasuk deposito mudharabah. Sehingga calon nasabah tertarik untuk menggunakan salah satu produk perbankan syariah tersebut.
Perlu orang-orang khusus yang mampu melakukan komunikasi dengan baik sehingga citra produk bank syariah bernilai karena kebermanfaatannya. Bukan baik karena terwakili oleh citra pegawai bank syariah yang kosmetis. Cantik, memakai jilbab dan murah senyum.

Http://www.ekoindarwanto.blogspot.com
www.facebook.com/ekoind

03 Juli 2009

Jajan, Wisata atau Tour de Rumah Sakit

Trend wisata kuliner yang ditayangkan televisi ikut menggairahkan dinamika warung-warung makan. Jajan dengan cara lesehan atau nongkrong di depan gerobak soto, bakso dan angkringan menjadi bagian dari budaya kota. Jajan di pinggir jalan tidak lagi memalukan.
Sekolah pernah mengajarkan bahaya kebiasaan jajan di pinggir jalan kepada siswa karena dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti diare dan desentri. Ilustrasi dalam buku pelajaran selalu menggambarkan warung di pinggir jalan tidak lepas dari debu dan lalat.
Sayang ajaran itu kurang kreatif sehingga kurang tertatanam di hati dan pikiran siswa. Sementara media massa dengan teknologi dan kreativitasnya mengajarkan masyarakat untuk gemar jajan sebagai bagian dari gaya hidup lewat acara wisata kuliner.
Belum semua penjual makanan dan minuman sadar dan mengedepankan pentingnya kebersihan. Tidak sedikit pedagang makanan dan minuman yang menggunakan air cucian piring, gelas atau sendok secara berulang. Ini menjadi media yang efektif untuk menularkan penyakit seperti diare, disentri, tipus dan hepatitis.
Mahasiswa dan pelajar terbiasa jajan di warung yang murah sesuai dengan selera dan ukuran kenyamanan menurut mereka. Namun tidak jarang mereka harus membayar mahal kebiasaan itu untuk mengeluarkan biaya kesehatan, seperti biaya obat dan perawatan di rumah sakit yang jumlahnya tidak sebanding dengan harga makanan dan minuman yang sudah dikonsumsinya.
Asiang Tenggara wilayah berisiko terjadinya penyebaran virus hepatitis karena rendahnya kondisi higienis lingkungan. Masyarakat masih menganggap remeh serangan hepatitis dan dikira hanya serangan flu biasa. Seperti nafsu makan hilang, demam, pegal sekujur tubuh, mual dan muntah serta nyeri pada perut. Pada beberapa kasus, air seni berwarna gelap dan kulit serta mata yang menguning.
Salah satu tipe virus virus hepatitis, tipe A yang mudah menyerang anak dan kaum muda. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit kuning (jaundice). Penularannya lewat makanan atau minuman yang terkontaminasi feces penderita. Misalnya makan buah-buahan, sayur yang tidak dimasak atau makan kerang yang setengah matang. Atau minum dengan es batu yang prosesnya terkontaminasi.
Di rumah sakit Panti Rapih di bulan Juni kasus penderita hepatitis A jumlahnya meningkat. Beberapa penderita masuk dalam daftar tunggu untuk dirawat karena rumah sakit penuh. Meningkatnya jumlah pasien hepatitis A mengakibatkan beberapa rumah sakit mengalami keterlambatan pasokan obat .
Bukan mejustifikasi warung makan di Yogya sebagai sumber penularan penyakit hepatitis, diare, disentri, tipus dan lainnya. Tetapi coba amati cara penjual memasak atau menyiapkan makanan dan minuman yang dipesan. Cara mereka mencuci atau membersihkan gelas, piring atau sendok. Bagaimana cara mereka dalam menyajikan makanan higienis atau tidak?
Wisata kuliner boleh jadi merupakan sebutan keren untuk kebiasaan jajan. Tetapi jangan sampai jajan menjadi tour de rumah sakit. Menikmati “wisata” dengan istirahat di tempat tidur di bawah pengawasan dokter dan perawat. (Kompas Jogja,16/7/2008)
M Bagus Setyawan, (*)
Masyarakat peduli lingkungan “Seribu Daun”

21 Juni 2009

Gamelan Sound of Jogja

Yogya terkesan eksotis, salah satunya karena ada gamelan, alat musik tradisional yang telah menjadi bagian dari kultur masyarakat Yogya. Setiap tahun, seminggu menjelang perayaan Garebek Maulud sampai satu hari sebelum perayaan, terdengar bunyi gamelan di sekitar alun-alun utara.
Suara itu berasal dari seperangkat gamelan milik Keraton Yogya. Yaitu gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Naga Wiloyo yang dimainkan secara bergantian oleh para abdi dalem Keraton. Mulai pukul 08.00 sampai 12.00, kemudian pukul 14.00 sampai 17.00 dan pukul 20.00 sampai pukul 24.00 di pagongan Lor dan pagongan Kidul kompleks masjid Besar.
Suara gamelan juga terdengar dari lobby hotel-hotel berbintang yang menyambut tamu-tamu dari berbagai penjuru dunia. Gema suara gamelan itu memenuhi lorong-lorong hingga dan sayup-sayup terdengar sampai di kamar-kamar tempat tamu menginap. Sehingga menciptakan atmosfir tradisional di tengah-tengah komunitas yang mengglobal.
Setiap tahun Yogya menjadi tuan rumah festival gamelan. Andaikan sanggar seni, sekolahan, kampus, kantor pemerintah atau swasta dan warga yang memiliki gamelan, memainkannya dalam waktu bersamaan. Gamelan menjadi sound of Yogya sekaligus sarana untuk mengekspresikan rasa berkesenian warga.
Gamelan menjadi media yang menunjukkan kepedulian dan semangat persaudaraan antar seniman. Sejumlah seniman seni tradisional yang menjadi korban gempa di Yogya dan Jawa Tengah, memperoleh bantuan peralatan gamelan dari Yayasan Bagong Kussudihardja dan Komite Masyarakat Perbankan. (Kompas, 23/11)
Ketika bangunan dan komunitas tradisional seperti pasar, sanggar, balai-balai seni budaya dan bangunan yang eksotis tergusur oleh mall atau perumahan karena tuntutan modernitas. Maka suara gamelan berpotensi untuk menggantikan nilai eksotisme yang hilang.
Seni tradisi berasing dengan seni populer maka gamelan harus menjadi entitas yang menciptakan suasana Yogya semakin eksotis. Untuk itu diperlukan kecintaan masyarakat pada gamelan. Tidak harus memiliki atau memainkan semua instrumen gamelan tetapi cukup satu atau dua instrumen saja.
Campursari adalah contoh kecil bagaimana memanfaatkan beberapa instrumen gamelan sekaligus menyelaraskan selera masyarakat akan musik tradisional, populer dan kontemporer.
Sinetron Losmen yang pernah di tayangkan TVRI. Baju sorjan pak Broto dan kebaya bu Broto serta mbak Pur dapat menghadirkan atmosfir Yogya. Dan sound of Yogya timbul dari suara gender atau slenthem milik pak Broto. Jika orang Yogya terbiasa memainkan gender, gambang atau saron secara solo. Maka Yogya yang modern tidak akan kehilangan nilai ekosotismenya.
Menyambut tahun baru, Pemkot dapat menampilkan musik gamelan yang diarransemen secara dinamis dan kreatif oleh para senimannya. Sehingga nuansa tahun baru kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Tidak hanya menampilkan band saja atau meniup terompet secara bersama-sama. (Kompas Jogja,20/12/2006)
Ady Pratama,(*)
Komunitas Anak Bawang

19 Juni 2009

Wusss.... Hour

Menandai hari dengan nama seperti Senin, Selasa, rabu dan seterusnya terkait dengan waktu atau terbit serta tenggelamnya matahari. Hari seperti halaman buku yang penuh dengan berbagai catatan peristiwa kehidupan.
Termasuk catatan untuk kejadian atau peristiwa yang berlangsung pagi hari. Tidak sedikit pelajar sekolah menengah pertama atau atas yang mengawali hari dengan bergaya seperti pembalap. Mengendarai kendaraannya kencang di jalan raya agar sampai di sekolah lebih awal, terburu-buru karena ingin mengejar waktu supaya tidak terlambat. Atau karena secara psikologis tertanam dalam mind set bahwa orang harus bersemangat sebab masih segar dan bugar.
Akibatnya, orang melakukan aktivitas pagi hari dengan serba terburu-buru dan serba cepat. Termasuk pelajar putra atau putri yang memacu kendarannya dengan kecepatan tinggi. Ini kerap membuat kaget, tiba-tiba ada kendaraan yang menyalib dengan kecepatan tinggi. Wusss....
Di Amerika, padatnya jalan karena dipenuhi oleh kendaraan pribadi atau umum saat jam-jam sibuk disebut rush hour. Ini terjadi pada waktu orang dalam waktu hampir bersamaan berangkat ke kantor di pagi hari atau pulang dari kantor di sore hari.
Di Jogja, traffic jam atau kemacetan terjadi di persimpangan atau perempatan pada jam sibuk, saat pelajar atau pekerja berangkat dan pulang sekolah atau kerja. Tidak sedikit diantara pengendara yang berusaha saling mendahului sehingga kerap terjadi kecelakaan.
Kecelakaan berat atau ringan kerap terjadi di pagi hari yang melibatkan pelajar karena sikap kurang hati-hati dari pengguna jalan yang ingin serba cepat sampai tujuan. Jalan bukan lagi menjadi sarana dan prasarana yang memudahkan orang mencapai suatu tempat. Tetapi menjadi arena adu cepat untuk mencapai tujuan.
Jalan menjadi tempat untuk menunjukkan keegoisan, jalan menjadi arena untuk saling memperebutkan ruang yang sempit dengan mengandalkan kecepatan atau ketrampilan dalam mengendarai kendaraan bermotor. Pengguna jalan terkesan saling bersaing, sikap untuk mengalah dan memberi kesempatan pada pengguna jalan lain semakin jarang ditemui.
Jalan-jalan di Jogja kini sibuk dan sering macet, menjadi rush hour. Seperti di Jalan Kaliurang dari selokan Mataram sampai perempatan ring road. Jalan Sudirman, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Suryotomo, jalan Godean dari depan Mirota Godean sampai perempatan Ring Road barat, Jalan Magelang, Jalan Parangtritis, Jalan Bantul, Jalan Samas dan yang lainnya.
Jackie Chan dan Chris Tucker dalam membintangi film action komedi Rush Hour sampai beberapa seri tidak pernah mengalami kecelakaan atau luka serius apalagi sampai mengorbankan nyawanya. Film Rush Hour memberikan hiburan dan gelak tawa.
Tetapi dalam wuss... hour, yang diperankan pelajar berseragam abu-abu, tidak sedikit dari mereka luka dan cidera berat bahkan sampai meninggal dunia karena kecelakaan di jalan akibat ngebut saat akan berangkat ke sekolah. Aksi itu membuahkan duka dan luka, apalagi gelak tawa.
Keberadaan polisi di persimpangan atau perempatan pada pagi hari belum meningkatkan kesadaran pelajar untuk tidak ngebut. Peran guru dalam memberikan pendidikan berlalulintas yang santun masih kurang. Orang tua tidak cukup memberi pesan atau nasehat agar berhati-hati di jalan dan tidak ngebut, saat anak minta diri, pamit atau ijin untuk berangkat sekolah. Siapa yang bertanggungjawab dengan tumbuhnya budaya wuss...hour?

P Daryono (*)
Komunitas Cemara Tujuh

Ibu Ruswo, Ibu Pawiyatan dan Ibu Kota

Menghargai orang yang berjasa atas perannya dalam perjuangan kemerdekaan tidak cukup dengan memakamnya di taman makam pahlawan atau memberi nama jalan dengan namanya.
Ibu Ruswo warga Yudonegaran pada jaman kemerdekaan mengkoordinir ibu-ibu kampung untuk menyediakan ransum makanan bagi para pejuang dan menjadikan rumahnya sebagai dapur umum. Rumah yang menghadap ke barat terletak di gang sempit paling timur di Jalan Yudonegaran atau Jalan Ibu Ruswo, menjadi saksi kegiatan ibu-ibu memasak dan datang perginya para pejuang yang makan dan mengambil ransum makanan untuk pejuang lainnya.
Lewat gang tersebut masih dapat dijumpai tulisan “ROESWO” di tembok rumah yang kini bertingkat, sedangkan rumah sisi selatan masih dibiarkan seperti semula oleh penghuninya.
Dalam buku-buku sejarah tidak banyak informasi yang menjelaskan peran ibu Ruswo, siapa ibu Ruswo dan sejarah keluarganya. Tidak banyak yang tahu siapa nama aslinya, apakah nama Ruswo itu nama suami atau nama keluarga. Apakah mempunyai keturunan atau tidak. Warga setempat mengetahui ibu Ruswo bersama ibu Moeridan, orang tua dari Fardian M Noto yang gugur dalam pertempuran di Kotabaru, aktif menggerakkan ibu-ibu di dapur umum.
Yogya bangga memiliki sosok ibu seperti ibu Ruswo, yang tanpa pamrih, welas asih memikirkan perut para pejuang.. Pejabat walikota lama pernah memiliki rencana membuat prasasti atau tetenger di rumah bekas kediaman ibu Ruswo, sayang ide itu belum terwujud karena pergantian pejabat. Beruntung masih ada tulisan Roeswo, bekas tempat tinggal ibu Ruswo, sehingga memudahkan memberi penjelasan jika ada yang menanyakan siapa ibu Ruwo dan kaitannya dengan Jalan Ibu Ruswo.
Di Yogya ada SMA Ibu Pawiyatan yang letaknya di komplek Tamansiswa. Mencari tahu siapa atau apa Ibu Pawiyatan akan dengan mudah dijelaskan oleh salah seorang pegawai museum Dewantara Kirti Griya.
Ibu Pawiyatan bukan nama seseorang atau ibu sebagai pasangan dari bapak. Ibu Pawiyatan kata yang berasal dari bahasa Jawa Kawi yang diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Ibu artinya induk dan pawiyatan berarti pengajaran, pendidikan atau sekolah. Maka Ibu Pawiyatan artinya induk atau pusat pengajaran atau pusat pendidikan.
Ada kata ibu dan beberapa kata yang bermakna serupa terpampang di ruang publik kota Yogya, masing-masing memiliki arti dan makna yang berbeda. Ibu Ruswo dan Ibu Pawiyatan ada kesamaan dalam cita-cita yaitu merdeka dari penjajah dan kebodohan walau caranya berbeda.
Namun berbeda untuk Mbok Berek, Mbok Sabar, Nyonya Suharti dan masih banyak lagi. Tetapi intinya adalah memberi penghormatan dan penghargaan pada sosok ibu. Maka Yogya jangan seperti Jakarta yang belum bisa menghormati ibu, ibukota negara RI. Dimana-mana macet, angka kriminal tinggi dan menatakota harus tedengar tangisan dan jeritan hati dari yang miskin dan kurang mampu.
Yogya jangan seperti Jakarta. (Kompas Jogja,24/12/2008)
Ady Pratama(*)
Komunitas Anak Bawang

14 Juni 2009

RT, Rukun Tetangga atau Rukun-rukunan

Rapat rukun tetangga (RT) atau pertemuan ibu-ibu yang dikemas dalam kumpulan dasawisma, PKK atau arisan di kota atau desa. Fungsinya membicarakan berbagai permasalahan, membahas berbagai ide atau gagasan sehingga lingkungan menjadi nyaman untuk ditinggali.
Pertemuan tersebut mestinya menjadi media yang membangun kerukunan antar warga. Namun tidak jarang kumpulan atau pertemuan tersebut berubah menjadi arena penghakiman bagi warga yang dinilai jarang bersosialisasi.
Rapat atau kumpulan tingkat RT, menjadi pertemuan yang kekanak-kanakan. Yang hadir tiba-tiba menjadi orang yang merasa paling benar dan berhak menyalahkan dan memberikan penilaian buruk terhadap warga yang dimaksud.
Arah pembicaraan dipenuhi dengan prasangka negatif dan tidak sehat. Akibatnya tercipta mindset bahwa menghadiri pertemuan rapat RT, kumpulan PKK, dasawisma, kegiatan gotongroyong adalah wajib dengan dasar keterpaksaan. Takut dihakimi, takut menjadi obyek pembicaraan dan takut dikucilkan oleh warga.
Ini terjadi karena kita membiarkan semangat kerukunan semu. Mementingkan kumpul-kumpul, sekedar duduk-duduk, ngobrol sana-sini, tidak terlibat nyata dalam rapat RT, kumpulan dasawisma atau kegiatan gotongroyong.
Yang penting setor muka dalam setiap kegiatan di kampung atau tingkat RT. Bukan pada kerelaan, kesahajaan dan keinginan menolong serta membangun relasi yang akrab dan rukun sesama tetangga. Tetapi sekedar rukun-rukunan
Tidak sedikit warga yang terlalu mendewakan rapat RT atau kumpulan namun tidak berusaha mengerti akan kesibukan dan kerepotan warga lain yang tidak dapat hadir oleh kesibukan pekerjaan. Ada orang yang berkerja dengan sistem upah harian. Jika tidak bekerja maka tidak mendapat upah.
Sadar atau tidak ada kumpulan RT yang terjebak dalam formalitas ubyang-ubyung, ke sana ke mari yang berkedok kerukunan atau keguyuban. Dimanjakan oleh kesamaan pendapat sehingga merasa paling benar dan menutup diri terhadap informasi, perbedaan atau sesuatu yang baru.
Semangat gotongroyong adalah semangat untuk menolong dalam kebersamaan. Semangat kumpulan adalah semangat memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Menjadi tugas semua untuk mengembalikan esensi dari semangat kumpulan, pertemuan tingkat RT atau kampung. Membangun kerukunan bukan seperti membangun gapura. Walau kerukunan dapat ditumbuhkan dengan cara membangun gapura, memperbaiki jalan kampung yang rusak atau bermain kartu saat ronda.
Kerukunan antar warga tidak dapat diukur dari kebiasaan saling memberi makanan, mengunjungi tetangga yang sakit dan mengucapkan belasungkawa saat tetangga meninggal. Atau dengan memberi sumbangan saat tetangga melangsungkan hajatan seperti pernikahan, sunatan atau kelahiran bayi.
Kerukunan sejati atau rukunan tenanan, tumbuh dari sikap yang didasari oleh ketulusan hati untuk mendengar dan memahami keunikan tetangganya. Jangan sampai keguyuban warga digerogoti oleh virus kerukunan semu. (Eko Indarwanto)

Tetangga

Pepetah mengatakan, tetangga adalah saudara terdekat. Ada kemalangan, kesusahan, kesenangan dibagi bersama dengan tetangga. Menolong tetangga yang sedang tertimpa kemalangan adalah wajib sebagai manusia sosial. Apalagi jika disertai dengan ketulusan dan keikhlasan.
Namun tidak sedikit tetangga yang menyebalkan sikapnya. Entah karena iri hati dan dengki, sulit bergaul, kurang memiliki kepatutan sosial atau karena kurang enggan dan sulit diajak belajar dari pengalaman hidup.
Repot memiliki tetangga yang selalu mengusik ketenangan rumah tangga kita. Melakukan provokasi dengan melanggar wilayah, menggeser batas tanah, memandang dengan penuh kebencian, membuang sampah di halaman rumah kita, nyindir, menyebar gosip ke tetangga lain sampai mulutnya tidak lagi gedobleh tapi ember dan banyak lagi.
Malaysia dan Australia adalah sebagian dari tetangga terdekat. Keduanya sering membuat jengkel. Demikian juga dengan tetangga sebelah rumah. Entah apa yang membuat mereka begitu benci, iri, sirik dan dengki.
Tidak salah, tidak suka dengan sikap tetangga tetapi bukan berarti tidak suka dengan manusianya. Memahami kekurangan, kesalahan tetangga itu penting sehingga jangan sampai ketidak senangan atau tidak suka sampai tertoreh di hati. Kalau sudah demikian wuuh sulit untuk memaafkan. Untuk bisa mengerti dan memahami diperlukan kebesaran hati dan kedewasaan.
Bagaimana jika tetangga itu sulit untuk dimengerti walau kita sudah mengalah dan menerima perlakuannya yang tidak bermutu? Membuat malu di depan banyak orang sepertinya bukan penyelesaian yang baik. Apalagi disampaikan dalam pertemuan warga tingkat RT. Bukankah akan membuat tetangga ini sakit hati dan kebenciannya bertambah?
Melaporkan ke polisi sesuai dengan tindakannya yang melanggar hukum. Sepertinya berlebihan tetapi mujarab untuk memberinya pelajaran. Namun rasa benci tetangga kita seperti api disiram bensin.
Kadangkala kita ingin merubah atau mengajak tetangga untuk menjadi lebih baik, bersikap dewasa, bersedaia belajar dari banyak hal. Namun itu keinginan kita belum tentu keinginannya. Ada kalanya jalan terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah meminta kepada Yang Kasih untuk membuka telinga dan mata hati tetangga kita. Bagaimanapun kita dan tetangga memiliki kesalahan.
Memang menjengkelkan ketika waktu sekian lama belum berubah tetapi bukankah itu waktu menurut kita. Karena semuanya nanti ada waktunya dan bukan hak preogatif kita untuk menentukan kapan tetangga berubah. Kita bukan pemilik waktu. Kita hanya mengarungi waktu tinggal bagaimana kita menjalaninya.
Nah, yang perlu adalah medoakan tetangga kita bisa berubah dan tidak lupa kita menjaga semangat untuk tetap memiliki harapan. Semoga

01 Juni 2009

Nguu...ung

Dinas Pariwisata Kota Yogya bekerja sama dengan Puspar dan Pustral UGM pernah mengembangkan becak wisata untuk mengangkat citra dan menjadikan becak ikon wisata serta maskot alat transpotasi kota Yogya.
Model becak ini berbeda dengan becak umumnya karena dirancang agar pengemudi tidak merasa berat saat mengayuh dan slebornya ramping. Dilengkapi tape yang siap memutar lagu-lagu tentang Yogya, seperti karya Katon Bagaskara. Becak ini ada peta wisata, pengemudinya dibekali dengan pengetahuan kepariwisataan, bahasa Inggris dan etika.
Sayang upaya ini belum nampak hasilnya. Becak di Yogya masih seperti biasa. Slebor becak cembung, bergambar hewan sepertiharimau dan elang. Atau bergambar pemandangan alam ada gunung, sawah, danau atau sungai. Dominasi warna kerangka, badan dan slebor masih merah atau putih. Ini dampak dari kebijakan waktu itu untuk membedakan becak yang beroperasi malam dan siang.
Sisa-sisa jejak kebijakan tersebut masih dapat dilihat sampai sekarang. Jika ada yang berubah pada slebor yang dimanfaatkan oleh hotel, toko buku dan perusahaan rokok untuk beriklan.
Ini menunjukkan pengusaha, hotel, toko, Pemkot dan perguruan tinggi masih berjalan sendiri-sendiri dalam menangani becak. Ada hotel dan toko buku yang puas mengorganisir pengemudi dengan memberi kaos dan menulis slebor becak dengan nama hotel, nama toko atau mewarnai slebor dengan warna khas warna logo hotel.
Ada pemilik becak yang menjadikan slebor becaknya sebagai tempat untuk mengekspresikan diri dengan menggambar lingkungan sehari-hari yang dijumpai. Seperti menggambar perempatan tugu lengkap dengan Tugu di tengah-tengahnya. Becak ini biasa mangkal di sekitar pasar Kranggan, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Mangkubumi dan Gowongan. Atau menggambari dengan kuda lumping dan tokoh-tokoh wayang karena pemiliknya menyukai seni tradisonal jathilan dan wayang kulit. Gambar-gambar itu memang tidak indah tetapi menarik.
Jika Pemkot ingin becak di Yogya lebih menarik, menjadi daya tarik wisata. Pemkot mesti mendorong pemilik becak lebih kreatif dalam menghias dan merawat becaknya.. Pemkot perlu bekerjasama dengan banyak pihak. Diam-diam menilai setiap becak kemudian memberi pengghargaan dan hadiah kepada pengemudi atau pemilik becak yang paling menarik dan unik. Ini dapat dilakukan setahun dua kali atau tiga kali.
Sehingga becak di Yogya nampak bersih, tidak kusam dan indah karena dihiasi berbagai pernak-pernik seperti rumbai-rumbai, lampu, spion atau bendera-bendera kecil yang berwarna-warni. Tidak lupa karet yang direntangkan di bawah tempat duduk supaya mengeluarkan bunyi “nguuu...ung”. Jadul, tetapi itu salah satu daya tariknya.
Becak jaman dulu dihiasi dengan bulu-bulu ayam, di bawah tempat duduk dipasang karet sehingga saat berjalan terkena angin, karet akan mengeluarkan bunyi yang mendengung. Becak di malam hari, dilengkapi dengan lampu ting di kanan kirinya.
Masih banyak yang menarik dari becak. Namun sayang, nampaknya Pemkot belum serius untuk menjadikan becak sebagai salah satu ikon wisata Yogya. Semoga ini tidak benar.
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change(Kompas Jogja, 4 Februari 2009)

Alun-alun dan Pohon Roti Bolu

Pohon besar di alun-alun dan sekitarnya memberikan makna dan arti khusus akan fungsi alun-alun yang lapang, terbuka dan sangat welcome. Alun-alun tanpa pohon besar tidak ubahnya seperti lapangan sepak bola atau lapangan upacara dengan kegiatan seremonialnya.
Alun-alun merupakan ruang terbuka, ruang kosong kota, bagian dari ruang publik yang dapat dimanfaatkan untuk melepaskan berbagai tekanan hidup masyarakat. Dengan konsep ebagai ruang kosong, di alun-alun tidak diperbolehkan berdiri bangunan permanen kecuali pohon besar, seperti pohon beringin.
Saat ini alun-alun selatan dan utara Yogya mengalami gradasi makna karena tidak nyaman untuk melepas kepenatan dan katarsis hidup. Kawasan alun-alun cenderung panas, kumuh dan tidak tertata. Pohon-pohon besar di alun-alun yang diharapkan mampu memberikan kesejukan, rindang sekaligus menjadi tempat berteduh dan kesempatan kepada mata untuk memandang jauh dan bebas.
Saat ini, pohon besar di tengah alun-alun tidak ubahnya seperti roti bolu raksasa berwarna hijau. Pohon beringin di alun-alun Utara dipangkas rapi dan melingkar sehingga menyerupai roti bolu. Tidak enak dilihat, tidak natural sebagaimana layaknya pohon beringin. Dahan dan daunnya tumbuh melebar seperti payung dengan akar serabut yang menggelantung disana-sini.
Di alun-alun selatan lebih parah lagi. Hanya ada lima pohon beringin. Dua pohon terletak di tengah yang biasa di pakai untuk lomba masuk diantara dua beringin atau masangin. Dua lagi, di sebelah selatan menuju ke plengkung dan satu pohon berada di depan kandang gajah. Sementara di pinggirnya ditempatkan sejumlah pot dengan tanaman palem yang mengelilingi alun-alun. Hal ini semakin menegaskan ketidak jelasan akan penataan kawasan alun-alun. Masih beruntung, di seberang jalannya ditanami pohon tanjung (Mimusops eleng) yang banyak dimanfaatkan oleh pedagang klithikan untuk menggelar dagangannya karena cukup memberi keteduhan.
Pohon tanjung jenis tanaman keras yang tahan hidup puluhan tahun. Di depan istana Puro Pakualaman banyak ditumbuhi pohon tanjung yang menciptakan kesejukan dan kerindangan. Kehadirannya mampu menciptakan keteduhan melengkapi kehadiran tiga pohon beringin besar.
Di alun-alun utara ada sekitar 30 pohon beringin, sebagai kawasan publik yang sering dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat, sudah saatnya pemerintah melakukan pemeliharaan dan perawatan serius terhadap pohon-pohon beringin tersebut. Lucu, jika Yogya yang terkenal sebagai gudangnya para ilmuwan tidak mampu memelihara pohon-pohon beringin di tengah kota yang memberikan dampak positif bagi kota.
Semestinya pemerintah dapat melakukan pendataan dan pengarsipan, usia, ciri-ciri setiap pohon, lokasi, jarak antar pohon dan ketinggian sampai kesehatan setiap pohon. Pendataan dan informasi yang lengkap satu per satu pohon memberikan manfaat dalam upaya menciptakan tata ruang sekitar alun-alun yang rindang dan nyaman.
Upaya regenerasi pohon dan pemangkasan dahan atau pohon diperlukan untuk menjaga keamanan bangunan di sekitar pohon dan keselamatan warga dari ambruk atau robohnya pohon-pohon tua. Untuk itu diperlukan pola pemotongan, pemangkasan dan penanaman yang terencana sehingga tidak terjadi ketimpangan yang mencolok di alun-alun utara dimana sisi timur rindang sementara sisi barat kelihatan gersang.
Saatnya Keraton dan Puro Pakualaman mendorong pemerintah dan masyarakat untuk menanam tanaman keras, yang mampu menciptakan kerindangan dan keteduhan. Dimana, daun-daun pohon menciptakan keteduhan sehingga burung betah bersarang, dan akar-akar pohonnya mampu mengikat air sehingga krisis air bersih di Yogya dapat terhindarkan.
Saatnya pemerintah, pengelola hotel, dan kantor-kantor swasta menanam pohon karena fungsi. Menghindari kebiasaan menanam pohon hanya demi gengsi dan citra estetis.
Menanam pohon hias seperti pohon palem bukan sesuatu yang salah. Namum patut dipertanyakan kembali fungsi dari penanaman pohon-pohon palem di sepanjang jalan, seperti Jalan Magelang dari perempatan Jomber ke selatan.
Jika hanya ingin mencitrakan kota yang bersetetika tetapi melupakan kondisi kota di negara tropis. Tak aneh jika selama ini kita sering mendapat senyum sinis karena memakai jaket tebal dalam cuaca yang terik dan panas.

Eko Indarwanto(Kompas Jogja, 29 Desember 2004)

Mati ala Yuliet dan Romeo

Kisah Romeo dan Yuliet drama cinta yang menempatkan kematian sebagai sebuah permainan sekaligus tragedi. Shakespeare menyampaikan pesan tersembunyi tentang kematian, jangan sekali-kali mempermainkan kematian jika tidak ingin dipermainkan oleh kematian itu sendiri.
Kematian sesuatu yang tidak dapat ditawar, kematian sebuah keharusan yang tidak terbantahkan, das sein. Sejatinya kematian bukan tragedi walau selalu membawa kesedihan bagi orang-orang yang ditinggalkannya. Kematian menjadi tragedi jika cara atau jalan kematian itu tidak lepas dengan hal-hal yang memilukan. Seperti karena kecelakaan, korban kejahatan, gagal menyelamatkan diri dalam sebuah bencana seperti kebakaran, banjir, tanah longsor dan sebagainya.
Kematian mestinya tidak disangkutkan dengan maut karena ada orang yang dengan bulat hati menghadapi kematian. Kematian merupakan proses yang harus dialami setiap orang dengan cara yang beraneka macam. Dari sakit, kecelakaan, korban perang, hukuman mati sampai usia lanjut. Kematian sesuatu yang pasti dan tidak terbantahkan. Kapan, dimana dan bagaimana kematian itu datang tetap menjadi misteri yang sulit ditemukan jawabannya. Hanya Maha Penyayang yang mengetahui kunci dari misteri tersebut.
Yuliet mempermainkan kematian dengan pura-pura mati. Skenario itu nyaris sempurna untuk melapangkan jalan kisah percintaannya dengan Romeo. Dengan minum racun Yuliet akan terlihat mati sebagaimana umumnya orang yang meninggal. Racun yang diminum Yuliet berkualitas, dengan takaran yang tepat maka dalam jangka waktu tertentu Yuliet akan hidup kembali.
Atas nama cinta strategi ini cukup heroik dan melankolis. Namun Yuliet kurang memperhitungkan bahwa rencananya yang harus diketahui Romeo, ternyata tidak pernah sampai ke telinga Romeo. Melihat Yuliet mati setelah minum racun, Romeo kehilangan asa sehingga kesedihan memuncak. Kematian Yuliet akhir dari segalanya, hidup menjadi hampa, cita-cita dan harapan dalam mengarungi kehidupan bersama Yuliet pupus. Romeo merasa tidak ada lagi yang diperjuangkan, hidup tidak lagi memiliki tantangan. Kematian adalah satu-satunya hiburan untuk bertemu lagi dengan Yuliet.
Romeo minum sisa racun milik Yuliet. Tanpa takaran Romeo langsung menegak racun hingga akhirnya kematian yang sesungguhnya menjemput. Ketika Yuliet sadar dari kematian semu dan mengetahui Romeo meninggal akibat minum racun yang sama. Yuliet kembali bunuh diri dan kali ini Yuliet tidak pernah bangun lagi. Disinilah kemenangan kematian, tidak ada adegan ulang untuk memperbaiki kesalahan.
Kematian adalah tragedi, babak yang memilukan, menyeret berbagai penyesalan. Dan kematian meledek Yuliet karena telah berani mempermainkannya. Sumiasih dan Sugeng seperti Yuliet yang menghadapi ledekan dari kematian dengan cara ditembak akibat ulahnya sendiri.
Membunuh keluarga Kolonel Purwanto yang kemudian direkayasa seolah-olah sebagai kecelakaan adalah permainan terhadap kematian untuk menyelesaiakan persoalan hutang piutang. Pada akhirnya Sumiasih dan Sugeng menjadi orang terakhir yang harus dipermainkan oleh kematian.
Hampir dua puluh tahun mereka dipermainkan oleh kematian, selama itu belum ada kejelasan kapan dan dimana kematian akan menyapanya. Hingga akhirnya sabtu dini hari (19/7), mereka berdua bertemu dengan kematian.
Perbuatan sadis dan kejam yang dilakukan Sumiasih dan Sugeng, Astini yang memotong-motong korbannya setelah ditagih hutangnya. Adalah cermin dari kemarahan pelaku terhadap situasi sosial. Mereka marah karena merasa kalah dengan keadaan yang membuat mereka terhimpit hutang.
Tidak jauh beda dengan dukun santet Usep di Banten yang memainkan delapan korbannya sebagai permainan kematian. Membunuh bagaikan candu, hingga akhirnya aparat kepolisian berhasil membongkar kasus tersebut dan kemudian Usep dieksekusi mati belum lama ini.
Robot Gedek pelaku sodomi terhadap anak-anak, yang korbannya dipotong-potong. Kematian seperti ritual yang menimbulkan kesenangan. Nasib Robot Gedek sedikit lebih beruntung, kematian berbaik hati dengan tidak menyebarkan rasa penasaran kapan dan dimana kematian akan menjemputnya. Kedatangan kematian yang menjemput nyawa Robot gedek bukan dari peluru senjata eksekutor tetapi karena sakit.
Beda lagi dengan Ahmad Suradji alias Datuk atau yang lebih dikenal dengan julukan dukun AS, dalam kasus pembunuhan 42 wanita antara tahun 1984-1994 di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Dukun ini tidak hanya mempermainkan kematian dengan cara membunuhi wanita. Kematian menjanjikan ilmu kesaktian hingga akhirnya dirinya menjadi budak kematian. Selamanya kematian tidak tulus memberi ilmu kesaktian. Kesetiaan kematiaan pada tuntutan akan permintaan nyawa, kali ini yang diminta nyawanya sendiri dalam sebuah esekusi mati.
Masih ada beberapa orang yang menunggu eksekusi mati akibat mempermainkan atau bercanda dengan kematian seperti para pelaku bom Bali. Beberapa pelaku penyelundupan narkoba nasibnya tidak jauh berada yang mendapat vonis mati dan tinggal menunggu eksekusi. Mereka adalah Yuliet-Yuliet masa kini yang bermain-main dengan “racun” kematian.
Kematian ala Yuliet adalah kematian akibat mempermainkan kematian itu sendiri. Yang disertai dengan penyesalan, kesedihan dan kepedihan. Sementara kematian ala Romeo adalah korban permainan kematian walau dilandasi atas nama pengorbanan, ideologi dan kebenaran atas nama “cinta”.
Terpidana mati kasus bom Bali, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron alias Muklas adalah Romeo-Romeo masa kini. Dengan tangannya mereka menjadi korban kematian dengan mengorbankan orang-orang yang ada di Bali, Marriot dan depan kantor Kedutaan Australi. Mereka merasa menjadi Romeo, yang menjemput kematian karena nilai atau ideologi yang diyakini itu benar dan mulia.
Perdebatan akan terus berlangsung seputar pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku tindak kejahatan. Cina menuai kritikan dari masyarakat internasional terkait dengan seringnya diberlakukan hukuman mati terhadap para pelaku kejahatan. Baik kejahatan kriminal, korupsi atau terhadap lawan politik.
Dan perdebatan masih akan terus berlanjut selama manusia masih gemar memainkan kematian layaknya Yuliet. Siapa yang akan menjadi korban dan dikorbankan oleh kematian? Yang jelas bukan hanya Yuliet dan Romeo tetapi kehidupan.

Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change ( Kompas Jateng DIY, 2 Agustus 2008)

Secodiningratan, Dr. Yap dan Kwee Tjoen An

Jalan Senopati dari depan kantor pos besar sampai perempatan Gondomanan, dahulu bernama Jalan Secodiningratan. Nama itu wujud penghargaan kepada seorang warga Tionghoa, Tan Jie Sing yang menjadi abdidalem Kraton Yogya semasa pemerintahan Sultan HB II dan III.
Gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secadiningrat diberikan kepada Tan Jie Sing atas jasa dan ketrampilannya dalam menguasai empat bahasa sehingga kerap mendapat tugas sebagai juru bahasa Kraton.
Kraton sudah memberikan teladan bagaimana menghargai jasa seseorang. Sayang Pemda Yogya tidak belajar dari hal itu dengan mengganti nama Jalan Secodiningratan dengan jalan Penembahan Senopati. Tidak jelas apa alasannya, kemungkinan terkait dengan politik asimilasi yang diberlakukan pemerintahan Orde Baru, yang mewajibkan masyarakat keturunan Tionghoa mengganti namanya dengan nama Indonesia. Dan Jalan Secodiningratan terkena imbasnya.
Sebuah kota terasa ramah dan memiliki keunikan jika pemerintah dan masyarakat dapat mengelola dengan baik berbagai perbedaan yang ada. Kraton sudah meletakkan fondasi bagi Yogya sebagai kota yang berbudaya lewat pemberian gelar KRT kepada Tan Jie Sing.
Andai Pemda Yogya waktu itu mengganti nama Jalan Secodiningratan dengan Jalan Tan Jie Sing. Yogya akan menjadi satusatunya kota yang meletakkan pondasi kuat pada warganya akan pentingnya menghargai setiap perbedaan.
Keberadaan rumah sakit mata Dr. Yap di Jalan Cik Di Tiro, akan semakin menegaskan bahwa Yogya sebagai satu-satunya kota yang dapat mengimplementasikan nilai kebhinekaan dalam keseharian masyarakatnya.
Rumah sakit mata Dr. Yap didirikan oleh Dr. Yap Hong Tjoen tahun 1922. Rumah sakit itu kemudian diwariskan ke anaknya, Dr. Yap Kie Tiong. Selanjutnya Yap Kie Tiong dalam surat wasiatnya, yang salah satunya ditujukan pada Paku Alam VIII menyebutkan, terkait dengan keberlangsungan Rumah Sakit Mata Dr. Yap supaya diambil alih guna kepentingan masyarakat.
Yogya menjadi kota yang berbudaya karena tidak mudah mereduksi setiap perbedaan. Membangun kota yang berbudaya tidak terletak pada berapa banyak karya seniman yang dipamerkan dan seberapa sering pertunjukan seni digelar atau ditayangkan di televisi. Tetapi pada bagaimana pemerintah dan masyarakat memaknai setiap perbedaan sebagai oase budaya yang akan memperkaya citra sebuah kota.
Kwee Tjoen An tidak sembarangan mereduksi perbedaan yang ada dalam dirinya. Kecintaannya pada seni tari, tidak membuat pria ini jengah dengan peran perempuan dalam membawakan tariannya karena yang dilakukan bukan sekedar tuntutan skenario, biar beda atau mencari popularitas.
Di akte kelahirannya, terlahir Kwee Tjoen Lian dari pasangan Kwee Yoe Tiang dan Suminah. Karena sering sakit-sakitan namanya diganti menjadi Kwee Tjoen An. (Herry Gendut Janarto, 2005). Tjoen An ikut menjaga ruh budaya kota Yogya dengan tariannya yang lucu. Dan kita mengenalnya sebagai Didik Nini Thowok.
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change (Kompas Jogja, 21 Mei 2008)

Malioberen

Awalnya Malioboro seperti jalan-jalan lain pada umumnya, keberadaan pertokoan di kanan kirin jalan seperti melengkapi daya tarik sebuah kota. Namun Malioboro menjadi lain dan mendatangkan kerinduan untuk dikunjungi karena atmosfirnya yang khas berbeda dengan kawasan sejenis di kota-kota lain.
Budaya dan keseharian orang Yogya diyakini menjadikan Malioboro berbeda. Keramahan, sikap santun dan selalu bersahaja dari masyarakat Yogya adalah sebagaian dari daya tariknya.
Dijaman revolusi fisik dimana bangsa ini sedang sigap-sigapnya mempertahankan kemerdekaan, Bung Tomo ketika di Yogya selalu menyempatkan diri untuk malioberen. Malioberen istilah untuk jalan-jalan di Malioboro, nonton bisokop yang filmnya itu-itu saja, mendengar lagu perjuangan yang sering dikumandangkan, atau mendengar ulasan Pak Besut di radio. (Daoed Joesoef, 2006)
Banyak pihak yang prihatin dengan kondisi Malioboro yang mengalami gradasi makna dan suasana. Malioboro menjadi kurang menarik jika disebut sebagai kawasan pedestrian karena ruang untuk pejalan kaki semakin terabaikan dan harus bersaing dengan kendaraan yang lewat atau yang diparkir. Belum lagi becak dan andong yang tidak mau mengalah pada para pejalan kaki.
Atamosfir Malioboro kini cenderung sama dengan kawasan pertokoan di kota-kota lain. Serba konsumtif, penuh dengan tawaran, sumpek, kotor dan serba terburu-buru. Keramahan dan senyum pedagang kaki lima semakin jarang dijumpai. Jarang ada percakapan dengan pembeli seperti tempo doeloe, walau sekedar basa-basi tetapi meninggalkan kesan.
Atmosfir Malioboro didominasi dengan perdagangan. Dipaksakan menjadi obyek wisata belanja, tidak menghiraukan nafas kehidupan lingkungan yang lekat dengan simbol budaya dengan keberadaan Kraton di salah satu ujungnya. Melupakan simbol kesederhanaan dari wajah penjual gudeg, pengemudi becak dan sais delman atau kereta kuda. Dan memarginalkan arti proses bagi seniman dan pelajar yang tinggal di Yogya.
Malioboro bukan lagi tempat favorit untuk mengumbar ide atau gagasan dalam sebuah diskusi kecil sesama mahasiswa atau seniman. Malioboro kurang menarik menjadi panggung atau kanvas untuk mengeekspresikan rasa berkesenian.
Sudah waktunya pemkot lebih menghidupkan suasana berkesenian di malam hari, supaya Malioboro menjadi eksotis dan menarik untuk dikunjungi. Dengan memberi kesempatan kepada seniman untuk melukis pintu, rolling door yang menutup toko dan etalase di sepanjang Malioboro.
Malioboro mulai lenggang dan sepi manakala toko-toko tutup. Saat itulah suasana malam Malioboro dibangunkan dengan kunjungan wisatawan yang menikmati puluhan lukisan mural sambil berjalan kaki. Acara makan sambil lesehan akan menjadi lebih memorable saat diabadikan dalam kamera dengan latar belakang lukisan mural seniman Yogya.
Malioboro tidak lepas dari perjalanan hidup seniman seperti Ebiat G Ade, WS Rendra, Emha dan yang lainnya. Apakah Malioboro akan menjadi kanvas dan panggung bagi para seniman yang dapat menghidupkan malioberen sebagai trend baru wisata malam di Yogya, yang mendampingi lesehan dan pengamen?
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change (Kompas Jogja 2 April 2008)

Bastion Benteng

Sebuah kota menjadi menarik dan eksotis jika kepala daerahnya memiliki kebijakan yang kompromis dalam melestarikan bangunan-bangunan kuno yang unik dan antik. Tetapi tidak mentabukan kehadiran bangunan-bangunan baru yang dilengkapi dengan berbagai prasarana dan sarana modern.
Langkah itu belum cukup jika pada akhirnya kebijakan berhenti pada tataran yuridis formal. Puas dengan memasang papan pengumuman bahwa sebuah bangunan telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh undang-undang. Seperti tiga papan yang terpasang di tiga pojok Benteng Kraton.
Sayangnya hanya papan pengumuman di Jokteng Wetan yang jelas terbaca , yang menyebutkan Benteng Kraton sebagai cagar budaya disertai dengan berbagai larangan dan ancaman sanksi denda atau pidana bagi mereka yang melanggar undang-undang. Dua papan lainnya yang terletak di Jokteng Kulon dan Jokteng Ngabean tidak dapat dibaca karena tulisannya mengelupas.
Mestinya masih ada satu lagi pojok beteng yang letaknya di sekitar Gondomanan, tepatnya ditikungan antara Jl. Ibu Ruswo dan Jl. Brigjen Katamso. Sayangnya benteng itu sudah hancur. Hanya sisa reruntuhan yang dapat ditemui, di gang sempit yang menghubungkan tikungan tersebut dengan Jl. Kenekan.
Bekas reruntuhan benteng itu dipagari besi dengan ukuran sekitar satu kali satu meter persegi, lengkap dengan prasasti yang menjelaskan sedikit sejarah reruntuhan tersebut. Reruntuhan ini adalah sisa Bastion Benteng Kraton Ngayogyakarta, hancur diserang tentara Inggris tahun 1812 pada masa pemerintahan Sultan HB II. Peritiwa tersebut dikenal sebutan Geger Sepoy atau Geger Spei. Reruntuhan itu dipugar 10 November 2000.
Pemerintah menyadari pentingnya nilai historis sebuah perjuangan dan terbentuknya bangsa dan negara ini dengan merenovasi reruntuhan benteng Kraton. Bangunan itu sebenarnya kurang menarik karena letaknya yang berhimpitan dengan dinding rumah penduduk dan tepat dipinggir gang yang sempit.
Jika ada tiga orang berdiri di depan reruntuhan itu, sudah pasti akan menggangu orang yang lewat. Tetapi itu bukan hambatan untuk membangkitkan dan menumbuhkan nilai nasionalisme serta semakin mengukuhkan Yogya sebagai daerah tujuan wisata sejarah dan budaya.
Jokteng akan lebih menarik andaikan ada prajurit yang berjaga di atas benteng lengkap dengan senjata dan pakaian prajurit Kraton jaman dahulu. Andaikan ide ini dilaksanakan antar warga Kadipaten, Nagan, Patehan, Langenarjan, Siliran dan kerjasama dengan Kraton serta Pemkot. Tidak tertutup kemungkinan benteng Kraton akan menjadi obyek wisata yang unik dan menarik. Dan tidak hanya menjadi obyek tirakatan dengan ritual mubeng benteng setiap malam satu Suro.
Sehingga nasibnya tidak merana seperti joteng Ngabean yang sebagian didingnya menghitam terkena jamur dan entah kapan mendapat perhatian setelah sebagian rusak akibat gempa.
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change (Kompas Jogja, 12 Desember 2007)

Gapura Trendi

Gapura bukan semata-mata bangunan fisik yang diartikan sebagai pintu gerbang, tanda bataskota, kabupaten, desa atau kampung. Menurut tradisi, gapura merupakan wujud ungkapan selamat datang yang familiar, semanak, welcome. Gapura mewakili keramahan dan rasa hormat tuan rumah kepada setiap orang atau tamu yang datang.
Umumnya gapura menjadi bangunan untuk memperingati Hari Kemerdekaan. Gapura telah menjadi simbol gotong royong, keakraban dan kebersamaan warga masyarakat. Yang menumbuhkan kerinduan setiap tahunnya khususnya menjelang peringatan Hari Kemerdekaan.
Dengan membangun atau mempercantik gapura, nilai-nilai kebersamaan dan semangat gotong royong seolah diperbaharui dalam hati setiap warga. Kegiatan menghias, membuat atau membangun gapura menjadi lebih menarik ketika pihak-pihak swasta ikut terlibat dengan cara mengadakan lomba mempercantik gapura.
Hadiah yang dijanjikan pihak swasta atau sponsor bukan menjadi tujuan utama. Semangat kebersamaan membangun atau mempercantik gapura terasa lebih menonjol. Kalah menang bukan tujuan namun ambisi untuk menjadikan gapuranya paling baik tetap ada karena keinginan untuk “pesta” bersama-sama usai memenangkan lomba.
Konsekuensinya, gapura-gapura akan lebih berwarna warni sesuai “pesanan” dari pihak sponsor yang mendanai dan menyelenggarakan lomba tersebut. Maka tidak perlu kaget jika pada akhirnya gapura-gapura tidak lagi mencantumkan tulisan Selamat Datang dan Selamat Jalan. Tidak terlihat lagi gambar pejuang dengan senjata bambu runcing di setiap gapura lengkap dengan angka 7, 8 dan 45.
Tidak tertutup kemungkinan semakin jarang dijumpai gapura berwarna merah dan putih dengan tulisan “Merdeka” karena diganti oleh gapura yang berwarna-warni dan trendi, lengkap dengan kalimat atau tag line sebuah produk barang atau jasa dari perusahaan yang mensponsori atau mendanai penyelenggara lomba menghias gapura.
Itu semua tidak salah, menjaga dan mengenang semangat kepahlawanan atau perjuangan tidak sebatas menggambar pejuang atau menuliskan kata “Merdeka ataoe Mati” di gapura.
Untuk menghormati mereka perlu tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya memerangi kemiskinan dengan membuka dan memeberi kesempatan usaha seluas-luasnya bagi rakyat kecil. Memerangi kebodohan dengan mengembangkan budaya membaca di kampung-kampung. Termasuk memerangi perilaku yang tidak sehat dengan menjaga kebersihan di lingkungannya serta menengakkan sikap disiplin di rumah atau di tempat-tempat umum.
Arti dan fungsi gapura semakin berkembang. Gapura dapat menjadi sarana ekspresi dan kreativitas kepedulian masyarakat terhadap berbagai persoalan seperti masalah kesehatan dengan menulis “Nyamuk Dilarang Masuk” di gapura kampung. Sebagai bentuk komitmen warga melawan penyakit demam berdarah.
Orang Yogya terkenal kreatif, pasti dapat membangun atau menghias gapura-gapura yang membuat orang tersenyum dan menyadarkan mereka untuk berperilaku lebih baik dalam pergaulan sosial. Merdeka. Eh, Semoga.
Eko Indarwanto (Kompas Jogja, 8 Agustus 2007)

Kota yang Rindang dan Kepala Daerah Terpilih

Jalan Sudirman dari depan Bathesda sampai pertigaan Terban, jalan Suroto, jalan Gayam dan jalan Senopati adalah sedikit jalan di Kota Yogya yang masih menawarkan keteduhan bagi warga Yogya dengan pohon-pohon yang rindang.
Tumbuhnya pohon-pohon jelas tidak begitu saja ada. Tetapi nampak terencana oleh kebijakan kepala daerah yang menyadari pentingnya kualitas lingkungan. Yang jelas bukan oleh kepala daerah yang menjabat dalam kurun dua puluh tahun terakhir. Yang memiliki kepedulian untuk mendukung kualitas lingkungan kota supaya berkualitas.
Jalan jalan tersebut nampak belum “disentuh” oleh kebijakan ekonomis yang gemar mengganti pohon-pohon dengan tiang-tiang besar dan tinggi untuk menopang papan reklame.
Kota berasal dari bahasa Sanskerta, kotta atau kita yang berarti kubu atau perbentengan. Di jaman dulu, kota dibentengi oleh pepohonan yang rindang dan tinggi. Benteng hidup ini berfungsi untuk menjaga kelestarian lingkungan, menjaga cadangan air dan udara bersih bagi penduduknya serta sebagai sarana untuk mengantisipasi perubahan cuaca yang ekstrim seperti kemarau atau musim hujan yang berkepanjangan dan adanya bencana lain seperti angin ribut atau badai.
Kondisi seperti itu saat ini masih banyak ditemui di desa-desa dimana pemukiman penduduknya dicirikan oleh keberadaan pohon-pohon yang tinggi dan rindang seperti pohon kelapa dan bambu. Sementara sawah atau ladang terhampar luas mengelilingi pemukiman mereka.
Beda dengan kondisi kota-kota besar termasuk Yogya. Kota lebih banyak dibentengi oleh papan reklame dan simbol-simbol pembangunan seperti tugu atau gapura. Saat memasuki kota, jarang ada sambutan dari rindangnya pepohonan yang ada di kiri kanan jalan. Tetapi disambut oleh beraneka ragam papan atau spanduk reklame.
Pejabat walikota Yogya telah silih berganti. Namun keteduhan di jalan Suroto, jalan Gayam oleh pohon tanjung dan rindangnya pohon kenari (Canarium amboinense) di depan Balai Yasa jalan Kusbini serta pohon angsana (Pterocarpus indicus) di jalan Senopati. Atau asrinya jalan Sudirman dari depan Bathesda sampai pertigaan Terban. Ternyata belum mampu menggugah kemauan politik para kepala daerah yang pernah memimpin Yogya untuk menjadikan Kota Yogya lebih rindang.
Adakah kepala daerah kota Yogya yang terpilih berani membuat keputusan dan kebijakan untuk menjadikan Yogya rindang. Dengan melakukan penataan kembali tiang listrik, telpon, papan-papan reklame yang ada di tepi jalan. Tidak khawatir adanya penurunan anggaran pendapatan daerah dan takut mendapat kritikan dari sebagian atau sekelompok orang yang terganggu kepentingannya, demi menciptakan kota Yogya dengan lingkungan yang berkualitas.
Ketika kualitas lingkungan kota mengalami degradasi, upaya mengembalikannya tidak cukup dengan meneyelenggarakan lomba melukis atau menulis dengan tema lingkungan. Menanam ribuan bibit pohon dan berkampanye tentang lingkungan secara seremonial. Walikota terpilih mesti tegas dan arif dalam mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian dan peningkatan kualitas lingkungan kota Yogya. Warga Yogya menunggu.
Eko Indarwanto, (Kompas Jogja, 6 Desember 2006)

Lempuyangan Potret Buram Ketidakpedulian

Dipindahkannya aktivitas keberangkatan dan kedatangan penumpang kereta kelas ekonomi dari stasiun Tugu ke stasiun Lempuyangan tahun 1990an telah membawa dampak perubahan sosial baru di sekitar kawasan stasiun Lempuyangan.
Perubahan yang cukup cepat ini, jika tidak segera diantisipasi dan dipikirkan secara cermat akan menimbulkan persoalan klasik sebagaiman sering ditemui di kota besar. Yaitu, praktek gusur-menggusur dengan alasan demi ketertiban, keindahan bahkan tidak jarang ditambahi dengan kata sakti “supaya lebih manusiawi”. Yang hanya akan menandatangkan tangis dan pilu di satu sisi. Dan pamer kekuasaan, kecongkakan serta kesombongan di sisi yang lainnya.
Masyarakat sekitar stasiun Lempuyangan sangat responsif dengan perubahan. Mereka menangkap adanya peluang serta kebutuhan akibat dari pemindahan aktivitas keberangkatan dan kedatangan penumpang di Lempuyangan. Sebagaimana awal proses tumbuhnya pedagang kaki lima dimulai dengan berdirinya satu kios kecil penjual rokok atau gorengan yang buka pada jam-jam tertentu. Berkembang menjadi warung-warung dengan beraneka sajian yang jumlahnya semakin banyak, tidak teratur ukuran dan penggunaan atau pemanfaatan tempat. Bahkan ada yang buka 24 atau buka bergantian dari warung atau kios yang satu dengan yang lainnya.
Lempuyangan telah menjadi potret buram akan ketidak pedulian pemkot, Daop VI, kepala stasiun Lempuyangan dan masyarakat setempat. Adalah tugas Pemkot untuk mengantisipasi dan mengatur setiap perkembangan sisi-sisi kotanya termasuk perkembangan dan perubahan di kawasan stasiun Lempuyangan. Daop VI dan kepala stasiun Lempuyangan tidak dapat mengelak tanggungjawab akan adanya dampak sosial dari kebijakan perubahan keberangkatan dan kedatangan penumpang. Mereka tidak dapat beralasan tugas dan wewenangnya hanya mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perkereta apian, kemudian melimpahkan persolan PKL ke pihak Pemkot.
Manajemen kepimpinan yang kritis dan kreatif memiliki kepedulian, kepekaan serta bersifat visioner dalam menangkap setiap perubahan di lingkungannya. Pemimpin yang baik tidak berpikir dan bersikap sektoral tetapi lintas sektoral.
Masyarakat sekitar stasiun Lempuyangan mestinya tidak hanya bepikir ekonomis yang hanya memikirkan keuntungan lewat kegiatan membuka usaha PKL yang menghabiskan trotoar dan mengancam kelangsungan hidup pohon. Atau membuka jasa parkir di rumah dinas atau jasa ojek. Tanpa memperhatikan kenyamanan dan keseimbangan daya dukung lingkungan atau kawasan Lempuyangan yang sempit.
Pemerintah terbiasa melakukan reaksi bukan aksi. Pemerintah terbiasa bereaksi setiap ada aksi spontan dan responsif dari masyarakat, yang berupa memberdayakan diri seperti dalam bidang ekonomi dengan menjadi PKL atau membuka jasa-jasa pelayanan lainnya.
Pemerintah lamban dalam melakukan aksi. Baik dalam perencanaan, sosialisasi atau eksekusi. Pembangunan pembatas seperti di tengah jalan Diponegoro, Magelang, dan jalan Tentara Pelajar merupakan bukti lemahnya perencanaan pengembangan dan pembangunan tata kota.
Sekaligus bukti lemahnya sosialisasi fungsi marka jalan dan eksekusi terhadap pelanggar hukum. Ketika permasalahan sudah menjadi sangat kompleks dan rumit seperti benang kusut. Pemerintah selalu menggunakan kebijakan main pangkas yang tidak memecahkan persoalan tetapi malahan menimbulkan persoalan baru.
Kawasan Lempuyangan adalah kawasan bom waktu yang akan memunculkan konflik sosial antara Pemkot, Daop VI, Kepala Stasiun Lempuyangan dan masyarakat. Kawasan Lempuyangan tengah berubah menjadi kawasan yang menyimpan konflik. Apakah Pemkot, Daop VI, Kepala Stasiun Lempuyangan dan masyarakat mampu menyelesaikannya secara baik-baik?
Lempuyangan telah mengikat berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ekonomis yang sangat diharapkan oleh tukang ojek, PKL, tukang parkir, dan sopir-sopir taksi. Belum terlambat untuk melakukan aksi manusiawi dalam menata kawasan Lempuyangan dengan melakukan dialog khas Yogya yang saling bertatap muka, saling mendengar dan saling memahami. Jauh dari rekayasa, yang penuh dengan istilah “katanya”. Katanya sudah ada dialog. Katanya sudah ada himbauan. Katanya sudah diberi ganti rugi. Dan katanya sudah di beri tenggang waktu.


Eko Indarwanto (Kompas Jogja, 29 September 2004)

Pasar Ngasem, Bagian dari Eksotisme Jogja

Penataan sebuah kawasan seperti Pasar Ngasem mengapa selalu dibumbui dengan kata-kata manis, ndakik-ndakik dan utopis. Ide atau gagasan penataan kawasan datangnya selalu tiba-tiba bagaikan bintang jatuh, kemudian baru dicarikan alasan dan latar belakang perlunya tindakan penataan.
Kebijakan penataan layaknya seperti pekerjaan kerajinan tangan yang menggabungkan potongan-potongan kain untuk dijadikan lembaran yang utuh atau patchwork. Mengumpulkan potongan-potongan permasalahan untuk kemudian membuat permasalahan baru. Bukannya menerapkan kebijakan yang berpijak pada upaya memenuhi kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat tetapi lebih pada upaya memamerkan prestasi kerja instansi atau pemerintah.
Penataan pasar Ngasem bertujuan untuk memulihkan dan melindungi kawasan wisata pasar ngasem sebagai kawasan budaya Keraton Yogyakarta. Simbol sejarah budaya yang dimiliki pasar Ngasem adanya situs Pulau Kenanga atau Pulau Cemethi yang terletak di selatan pasar. (Kompas,4/6)
Kita sepakat bahwa simbol dan peninggalan budaya memang harus dijaga dan dipelihara sebagai bagian dari aktivitas reflektif manusia lewat bangunan bersejarah seperti Kraton, Benteng Vredeburg, Taman Sari, candi-candi dan situs-situs sejarah lainnya. Termasuk situs Pulau Kenanga yang dibangun pada tahun 1765. Kita sependapat, penataan itu untuk melindungi kawasan Ngasem sebagai kawasan budaya Keraton.
Tetapi penataan itu menjadi absurd dan kehilangan nilai budayanya jika pada akhirnya Ngasem menjadi pasar budaya dan wisata. Tidak ada bedanya antara pasar Ngasem baru dan pasar Ngasem lama. Tidak ada perbedaan esensial dalam menyikapi sebuah penataan dengan mendengungkan pasar yang memiliki nilai budaya tinggi.
Keduanya memiliki tujuan ekonomis. Pasar Ngasem lama dipenuhi aktivitas ekonomi corak pasar tradisonal yang kumuh, tidak tertata, bau dan macet. Sementara pasar Ngasem baru juga melibatkan kegiatan ekonomi sebagai pasar wisata dan budaya. Bedanya, pasar Ngasem saat ini adalah gambaran ketahanan ekonomi rakyat bukan ekonomi kapitalis. Yang mampu bertahan dengan kesederhanaan dan ketradisionalannya. Apakah pasar Ngasem baru sebagai pasar budaya dan wisata dapat membuka kesadaran reflektif masyarakat akan situs Pulau Kenanga dan kawasan Keraton?
Pasar Ngasem adalah potret kehidupan tradisional yang lekat dengan nama Yogyakarta itu sendiri. Aktivitas pedagang, pembeli, masyarakat sekitar atau pengunjung yang sekedar berjalan-jalan dan menghilangkan penat cukup dengan melihat kesibukan orang melakukan tawar menawar, memilik-milih ikan, mendengar kicauan burung, atau membelai-belai hewan-hewan lucu lainnya secara gratis. Adalah daya tarik sendiri yang menyenangkan. Yang tidak dapat digantikan dan ditemui di mall-mall.
Pemerintah mestinya belajar dari beberapa kesalahan, kegagalan dan kekurangan dalam melakukan penataan. Seperti di pasar Beringharjo, taman Senopati, dan Shoping. Salah satunya, bagaimana lift barang di pasar Beringharjo yang mubazir, Gedung Societet yang kurang representatif untuk menggelar kegiatan berkesenian. Seniman malah mengalihkan panggilan kegitan berkeseniannya di plaza Monumen SO termasuk pemkot. Kawasan Senopati yang dijanjikan menjadi hutan kota malah menjadi taman parkir bus wisata. Dan kawasan shopping yang semakin tidak jelas akan menjadi apa.
Penataan yang tidak berakar pada budaya, tradisi, kebiasaan keseharian masyarakat setempat dan menggantungkan pada ide atau gagasan budaya yang bersifat kagetan akan merusak tatanan budaya yang tumbuh dan berkembang secara alami bersama masyarakat itu sendiri.
Penataan kawasan yang mencabut akar budaya masyarakat akan menimbulkan permasalahan sosial baru dan menghilangkan ciri, citra masyarakat tradisional Yogyakarta. Pada akhirnya, Yogyakarta kehilangan eksotismenya karena perencanaan penataan kawasan, seperti pasar Ngasem didasari dari gagasan atau ide kagetan.
Lucunya, ide lengkap penataan dikembalikan ke masyarakat dengan embel-embel partisipasi masyarakat lewat lomba-lomba. Sebagai legalitas peran masyarakat dalam penataan kawasan pasar Ngasem. Sudah saatnya pemerintah merubah cara berpikir dan kerja kagetan yang hanya merusak eksotisme Yogyakarta.

Eko Indarwanto, warga Yogya(Kompas Jogja 4 Agustus 2004)