Translate

01 Juni 2009

Gapura Trendi

Gapura bukan semata-mata bangunan fisik yang diartikan sebagai pintu gerbang, tanda bataskota, kabupaten, desa atau kampung. Menurut tradisi, gapura merupakan wujud ungkapan selamat datang yang familiar, semanak, welcome. Gapura mewakili keramahan dan rasa hormat tuan rumah kepada setiap orang atau tamu yang datang.
Umumnya gapura menjadi bangunan untuk memperingati Hari Kemerdekaan. Gapura telah menjadi simbol gotong royong, keakraban dan kebersamaan warga masyarakat. Yang menumbuhkan kerinduan setiap tahunnya khususnya menjelang peringatan Hari Kemerdekaan.
Dengan membangun atau mempercantik gapura, nilai-nilai kebersamaan dan semangat gotong royong seolah diperbaharui dalam hati setiap warga. Kegiatan menghias, membuat atau membangun gapura menjadi lebih menarik ketika pihak-pihak swasta ikut terlibat dengan cara mengadakan lomba mempercantik gapura.
Hadiah yang dijanjikan pihak swasta atau sponsor bukan menjadi tujuan utama. Semangat kebersamaan membangun atau mempercantik gapura terasa lebih menonjol. Kalah menang bukan tujuan namun ambisi untuk menjadikan gapuranya paling baik tetap ada karena keinginan untuk “pesta” bersama-sama usai memenangkan lomba.
Konsekuensinya, gapura-gapura akan lebih berwarna warni sesuai “pesanan” dari pihak sponsor yang mendanai dan menyelenggarakan lomba tersebut. Maka tidak perlu kaget jika pada akhirnya gapura-gapura tidak lagi mencantumkan tulisan Selamat Datang dan Selamat Jalan. Tidak terlihat lagi gambar pejuang dengan senjata bambu runcing di setiap gapura lengkap dengan angka 7, 8 dan 45.
Tidak tertutup kemungkinan semakin jarang dijumpai gapura berwarna merah dan putih dengan tulisan “Merdeka” karena diganti oleh gapura yang berwarna-warni dan trendi, lengkap dengan kalimat atau tag line sebuah produk barang atau jasa dari perusahaan yang mensponsori atau mendanai penyelenggara lomba menghias gapura.
Itu semua tidak salah, menjaga dan mengenang semangat kepahlawanan atau perjuangan tidak sebatas menggambar pejuang atau menuliskan kata “Merdeka ataoe Mati” di gapura.
Untuk menghormati mereka perlu tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya memerangi kemiskinan dengan membuka dan memeberi kesempatan usaha seluas-luasnya bagi rakyat kecil. Memerangi kebodohan dengan mengembangkan budaya membaca di kampung-kampung. Termasuk memerangi perilaku yang tidak sehat dengan menjaga kebersihan di lingkungannya serta menengakkan sikap disiplin di rumah atau di tempat-tempat umum.
Arti dan fungsi gapura semakin berkembang. Gapura dapat menjadi sarana ekspresi dan kreativitas kepedulian masyarakat terhadap berbagai persoalan seperti masalah kesehatan dengan menulis “Nyamuk Dilarang Masuk” di gapura kampung. Sebagai bentuk komitmen warga melawan penyakit demam berdarah.
Orang Yogya terkenal kreatif, pasti dapat membangun atau menghias gapura-gapura yang membuat orang tersenyum dan menyadarkan mereka untuk berperilaku lebih baik dalam pergaulan sosial. Merdeka. Eh, Semoga.
Eko Indarwanto (Kompas Jogja, 8 Agustus 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar