Translate

01 Juni 2009

Alun-alun dan Pohon Roti Bolu

Pohon besar di alun-alun dan sekitarnya memberikan makna dan arti khusus akan fungsi alun-alun yang lapang, terbuka dan sangat welcome. Alun-alun tanpa pohon besar tidak ubahnya seperti lapangan sepak bola atau lapangan upacara dengan kegiatan seremonialnya.
Alun-alun merupakan ruang terbuka, ruang kosong kota, bagian dari ruang publik yang dapat dimanfaatkan untuk melepaskan berbagai tekanan hidup masyarakat. Dengan konsep ebagai ruang kosong, di alun-alun tidak diperbolehkan berdiri bangunan permanen kecuali pohon besar, seperti pohon beringin.
Saat ini alun-alun selatan dan utara Yogya mengalami gradasi makna karena tidak nyaman untuk melepas kepenatan dan katarsis hidup. Kawasan alun-alun cenderung panas, kumuh dan tidak tertata. Pohon-pohon besar di alun-alun yang diharapkan mampu memberikan kesejukan, rindang sekaligus menjadi tempat berteduh dan kesempatan kepada mata untuk memandang jauh dan bebas.
Saat ini, pohon besar di tengah alun-alun tidak ubahnya seperti roti bolu raksasa berwarna hijau. Pohon beringin di alun-alun Utara dipangkas rapi dan melingkar sehingga menyerupai roti bolu. Tidak enak dilihat, tidak natural sebagaimana layaknya pohon beringin. Dahan dan daunnya tumbuh melebar seperti payung dengan akar serabut yang menggelantung disana-sini.
Di alun-alun selatan lebih parah lagi. Hanya ada lima pohon beringin. Dua pohon terletak di tengah yang biasa di pakai untuk lomba masuk diantara dua beringin atau masangin. Dua lagi, di sebelah selatan menuju ke plengkung dan satu pohon berada di depan kandang gajah. Sementara di pinggirnya ditempatkan sejumlah pot dengan tanaman palem yang mengelilingi alun-alun. Hal ini semakin menegaskan ketidak jelasan akan penataan kawasan alun-alun. Masih beruntung, di seberang jalannya ditanami pohon tanjung (Mimusops eleng) yang banyak dimanfaatkan oleh pedagang klithikan untuk menggelar dagangannya karena cukup memberi keteduhan.
Pohon tanjung jenis tanaman keras yang tahan hidup puluhan tahun. Di depan istana Puro Pakualaman banyak ditumbuhi pohon tanjung yang menciptakan kesejukan dan kerindangan. Kehadirannya mampu menciptakan keteduhan melengkapi kehadiran tiga pohon beringin besar.
Di alun-alun utara ada sekitar 30 pohon beringin, sebagai kawasan publik yang sering dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat, sudah saatnya pemerintah melakukan pemeliharaan dan perawatan serius terhadap pohon-pohon beringin tersebut. Lucu, jika Yogya yang terkenal sebagai gudangnya para ilmuwan tidak mampu memelihara pohon-pohon beringin di tengah kota yang memberikan dampak positif bagi kota.
Semestinya pemerintah dapat melakukan pendataan dan pengarsipan, usia, ciri-ciri setiap pohon, lokasi, jarak antar pohon dan ketinggian sampai kesehatan setiap pohon. Pendataan dan informasi yang lengkap satu per satu pohon memberikan manfaat dalam upaya menciptakan tata ruang sekitar alun-alun yang rindang dan nyaman.
Upaya regenerasi pohon dan pemangkasan dahan atau pohon diperlukan untuk menjaga keamanan bangunan di sekitar pohon dan keselamatan warga dari ambruk atau robohnya pohon-pohon tua. Untuk itu diperlukan pola pemotongan, pemangkasan dan penanaman yang terencana sehingga tidak terjadi ketimpangan yang mencolok di alun-alun utara dimana sisi timur rindang sementara sisi barat kelihatan gersang.
Saatnya Keraton dan Puro Pakualaman mendorong pemerintah dan masyarakat untuk menanam tanaman keras, yang mampu menciptakan kerindangan dan keteduhan. Dimana, daun-daun pohon menciptakan keteduhan sehingga burung betah bersarang, dan akar-akar pohonnya mampu mengikat air sehingga krisis air bersih di Yogya dapat terhindarkan.
Saatnya pemerintah, pengelola hotel, dan kantor-kantor swasta menanam pohon karena fungsi. Menghindari kebiasaan menanam pohon hanya demi gengsi dan citra estetis.
Menanam pohon hias seperti pohon palem bukan sesuatu yang salah. Namum patut dipertanyakan kembali fungsi dari penanaman pohon-pohon palem di sepanjang jalan, seperti Jalan Magelang dari perempatan Jomber ke selatan.
Jika hanya ingin mencitrakan kota yang bersetetika tetapi melupakan kondisi kota di negara tropis. Tak aneh jika selama ini kita sering mendapat senyum sinis karena memakai jaket tebal dalam cuaca yang terik dan panas.

Eko Indarwanto(Kompas Jogja, 29 Desember 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar