Translate

01 Juni 2009

Malioberen

Awalnya Malioboro seperti jalan-jalan lain pada umumnya, keberadaan pertokoan di kanan kirin jalan seperti melengkapi daya tarik sebuah kota. Namun Malioboro menjadi lain dan mendatangkan kerinduan untuk dikunjungi karena atmosfirnya yang khas berbeda dengan kawasan sejenis di kota-kota lain.
Budaya dan keseharian orang Yogya diyakini menjadikan Malioboro berbeda. Keramahan, sikap santun dan selalu bersahaja dari masyarakat Yogya adalah sebagaian dari daya tariknya.
Dijaman revolusi fisik dimana bangsa ini sedang sigap-sigapnya mempertahankan kemerdekaan, Bung Tomo ketika di Yogya selalu menyempatkan diri untuk malioberen. Malioberen istilah untuk jalan-jalan di Malioboro, nonton bisokop yang filmnya itu-itu saja, mendengar lagu perjuangan yang sering dikumandangkan, atau mendengar ulasan Pak Besut di radio. (Daoed Joesoef, 2006)
Banyak pihak yang prihatin dengan kondisi Malioboro yang mengalami gradasi makna dan suasana. Malioboro menjadi kurang menarik jika disebut sebagai kawasan pedestrian karena ruang untuk pejalan kaki semakin terabaikan dan harus bersaing dengan kendaraan yang lewat atau yang diparkir. Belum lagi becak dan andong yang tidak mau mengalah pada para pejalan kaki.
Atamosfir Malioboro kini cenderung sama dengan kawasan pertokoan di kota-kota lain. Serba konsumtif, penuh dengan tawaran, sumpek, kotor dan serba terburu-buru. Keramahan dan senyum pedagang kaki lima semakin jarang dijumpai. Jarang ada percakapan dengan pembeli seperti tempo doeloe, walau sekedar basa-basi tetapi meninggalkan kesan.
Atmosfir Malioboro didominasi dengan perdagangan. Dipaksakan menjadi obyek wisata belanja, tidak menghiraukan nafas kehidupan lingkungan yang lekat dengan simbol budaya dengan keberadaan Kraton di salah satu ujungnya. Melupakan simbol kesederhanaan dari wajah penjual gudeg, pengemudi becak dan sais delman atau kereta kuda. Dan memarginalkan arti proses bagi seniman dan pelajar yang tinggal di Yogya.
Malioboro bukan lagi tempat favorit untuk mengumbar ide atau gagasan dalam sebuah diskusi kecil sesama mahasiswa atau seniman. Malioboro kurang menarik menjadi panggung atau kanvas untuk mengeekspresikan rasa berkesenian.
Sudah waktunya pemkot lebih menghidupkan suasana berkesenian di malam hari, supaya Malioboro menjadi eksotis dan menarik untuk dikunjungi. Dengan memberi kesempatan kepada seniman untuk melukis pintu, rolling door yang menutup toko dan etalase di sepanjang Malioboro.
Malioboro mulai lenggang dan sepi manakala toko-toko tutup. Saat itulah suasana malam Malioboro dibangunkan dengan kunjungan wisatawan yang menikmati puluhan lukisan mural sambil berjalan kaki. Acara makan sambil lesehan akan menjadi lebih memorable saat diabadikan dalam kamera dengan latar belakang lukisan mural seniman Yogya.
Malioboro tidak lepas dari perjalanan hidup seniman seperti Ebiat G Ade, WS Rendra, Emha dan yang lainnya. Apakah Malioboro akan menjadi kanvas dan panggung bagi para seniman yang dapat menghidupkan malioberen sebagai trend baru wisata malam di Yogya, yang mendampingi lesehan dan pengamen?
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change (Kompas Jogja 2 April 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar