Translate

01 Juni 2009

Pasar Ngasem, Bagian dari Eksotisme Jogja

Penataan sebuah kawasan seperti Pasar Ngasem mengapa selalu dibumbui dengan kata-kata manis, ndakik-ndakik dan utopis. Ide atau gagasan penataan kawasan datangnya selalu tiba-tiba bagaikan bintang jatuh, kemudian baru dicarikan alasan dan latar belakang perlunya tindakan penataan.
Kebijakan penataan layaknya seperti pekerjaan kerajinan tangan yang menggabungkan potongan-potongan kain untuk dijadikan lembaran yang utuh atau patchwork. Mengumpulkan potongan-potongan permasalahan untuk kemudian membuat permasalahan baru. Bukannya menerapkan kebijakan yang berpijak pada upaya memenuhi kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat tetapi lebih pada upaya memamerkan prestasi kerja instansi atau pemerintah.
Penataan pasar Ngasem bertujuan untuk memulihkan dan melindungi kawasan wisata pasar ngasem sebagai kawasan budaya Keraton Yogyakarta. Simbol sejarah budaya yang dimiliki pasar Ngasem adanya situs Pulau Kenanga atau Pulau Cemethi yang terletak di selatan pasar. (Kompas,4/6)
Kita sepakat bahwa simbol dan peninggalan budaya memang harus dijaga dan dipelihara sebagai bagian dari aktivitas reflektif manusia lewat bangunan bersejarah seperti Kraton, Benteng Vredeburg, Taman Sari, candi-candi dan situs-situs sejarah lainnya. Termasuk situs Pulau Kenanga yang dibangun pada tahun 1765. Kita sependapat, penataan itu untuk melindungi kawasan Ngasem sebagai kawasan budaya Keraton.
Tetapi penataan itu menjadi absurd dan kehilangan nilai budayanya jika pada akhirnya Ngasem menjadi pasar budaya dan wisata. Tidak ada bedanya antara pasar Ngasem baru dan pasar Ngasem lama. Tidak ada perbedaan esensial dalam menyikapi sebuah penataan dengan mendengungkan pasar yang memiliki nilai budaya tinggi.
Keduanya memiliki tujuan ekonomis. Pasar Ngasem lama dipenuhi aktivitas ekonomi corak pasar tradisonal yang kumuh, tidak tertata, bau dan macet. Sementara pasar Ngasem baru juga melibatkan kegiatan ekonomi sebagai pasar wisata dan budaya. Bedanya, pasar Ngasem saat ini adalah gambaran ketahanan ekonomi rakyat bukan ekonomi kapitalis. Yang mampu bertahan dengan kesederhanaan dan ketradisionalannya. Apakah pasar Ngasem baru sebagai pasar budaya dan wisata dapat membuka kesadaran reflektif masyarakat akan situs Pulau Kenanga dan kawasan Keraton?
Pasar Ngasem adalah potret kehidupan tradisional yang lekat dengan nama Yogyakarta itu sendiri. Aktivitas pedagang, pembeli, masyarakat sekitar atau pengunjung yang sekedar berjalan-jalan dan menghilangkan penat cukup dengan melihat kesibukan orang melakukan tawar menawar, memilik-milih ikan, mendengar kicauan burung, atau membelai-belai hewan-hewan lucu lainnya secara gratis. Adalah daya tarik sendiri yang menyenangkan. Yang tidak dapat digantikan dan ditemui di mall-mall.
Pemerintah mestinya belajar dari beberapa kesalahan, kegagalan dan kekurangan dalam melakukan penataan. Seperti di pasar Beringharjo, taman Senopati, dan Shoping. Salah satunya, bagaimana lift barang di pasar Beringharjo yang mubazir, Gedung Societet yang kurang representatif untuk menggelar kegiatan berkesenian. Seniman malah mengalihkan panggilan kegitan berkeseniannya di plaza Monumen SO termasuk pemkot. Kawasan Senopati yang dijanjikan menjadi hutan kota malah menjadi taman parkir bus wisata. Dan kawasan shopping yang semakin tidak jelas akan menjadi apa.
Penataan yang tidak berakar pada budaya, tradisi, kebiasaan keseharian masyarakat setempat dan menggantungkan pada ide atau gagasan budaya yang bersifat kagetan akan merusak tatanan budaya yang tumbuh dan berkembang secara alami bersama masyarakat itu sendiri.
Penataan kawasan yang mencabut akar budaya masyarakat akan menimbulkan permasalahan sosial baru dan menghilangkan ciri, citra masyarakat tradisional Yogyakarta. Pada akhirnya, Yogyakarta kehilangan eksotismenya karena perencanaan penataan kawasan, seperti pasar Ngasem didasari dari gagasan atau ide kagetan.
Lucunya, ide lengkap penataan dikembalikan ke masyarakat dengan embel-embel partisipasi masyarakat lewat lomba-lomba. Sebagai legalitas peran masyarakat dalam penataan kawasan pasar Ngasem. Sudah saatnya pemerintah merubah cara berpikir dan kerja kagetan yang hanya merusak eksotisme Yogyakarta.

Eko Indarwanto, warga Yogya(Kompas Jogja 4 Agustus 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar