Translate

20 Juli 2009

Jogjambret

Sepeda motor moda transpotasi yang tergolong hemat dan efisien. Jalan-jalan di Jogja terasa penuh oleh sepeda motor, khususnya saat jam-jam sibuk seperti pagi dan sore hari atau siang hari waktu pulang sekolah.
Naik sepeda motor menyusuri jalan-jalan di Jogja dengan membawa tas dicangklong dipundak, relatif berbahaya. Bukan karena tali tas nyangkut di spion kendaraan lain, yang dapat membuat pengendara jatuh tetapi memudahkan pejambret untuk melakukan aksinya.
Tidak sedikit aksi jambret membuat korbannya terluka karena saat tas korban ditarik, tali tidak putus sehingga korban terjatuh. Pada saat kaget, takut dan kesakitan jambret mengambil tas korban yang berisi barang-barang berharga dan penting. Menjadi korban jambret mengguncangkan hati, apalagi sampai terluka. Mengakibatkan trauma dan butuh memulihkan keberanian dan kepercayaan dalam mengendarai sepeda motor.
Pejambret meggembangkan banyak teknik dalam melakukan pejambretan. Dari memilih korban, pengamatan yang cukup, aksi yang cepat, nekad, berani dan melarikan diri. Sampai cara-cara yang simpel penuh improvisasi. Cuma sebentar membuntuti calon korban, beraksi dan kabur.
Banyak faktor yang mengakibatkan frekuensi kejahatan jambret di Jogja meningkat akhir-akhir ini, korbannya kebanyakan perempuan. Sebagai warga Jogja terasa sudah kehilangan rasa nyaman dan aman karena menjadi korban pejambretan. Belum satu minggu peristiwa penjambretan, istri teman jadi korban jambret di sekitar perempatan Tugu, keponakan kawan yang lain di daerah Tahunan.
Apa yang sudah dilakukan aparat untuk menjaga Jogja aman dan nyaman? Polisi di Jogja mestinya punya cara cerdik dalam menekan kejahatan pejambretan. Jogja adalah daerah tujuan wisata, apa jadinya jika korban jambret adalah wisatawan.
Kehadiran polisi pariwisata kurang maksimal, peran yang dirasakan masyarakat hanya menjadi pengawal iring-iringan mobil atau bus wisatawan. Setiap markas polisi tingkat sektor memiliki standar operasional dalam menjaga keamanan wilayah yang menjadi tanggungjawabnya dan memiliki peta daerah-daerah yang rawan kejahatan. Tugas polisi terasa berat jika fokus mengejar penjahat, perampok, pejambret atau pencopet.
Tugas polisi terasa ringan jika mampu membangun komunikasi yang baik dan sehat dengan masyarakat, bekerja lebih profesional, selalu meningkatkan kemampuan dan pengetahuan. Sehingga ketika ada laporan peristiwa kejahatan, polisi bertindak cepat karena tanggungjawab dan profesionalisme bukan karena lipservice supaya kelihatan bekerja. Sibuk di tempat kejadian perkara, menggali informasi dengan mencatat dan bertanya sana-sini. Tetapi setelah itu semuanya tinggal menjadi laporan dan arsip.
Jangan samai kota tercinta Jogja menjadi Jogjambret karena tingginya kasus kejahatan jambret dan selalu naik turun kasusnya. Apalagi jika sampai meminta nyawa karena korban jambret jatuh dari motornya hingga luka parah dan meninggal. Ceritanya akan lain jika korban itu anak pejabat atau turis asing.
Tidak lucu memberantas jambret cukup memasang sapanduk bertuliskan “Awas, Jambret” di pinggir jalan atau di sudut-sudut perempatan. Seperti memasang spanduk bertuliskan “Awas, Copet...!, maksudnya mengingatkan masyarakat atau mengancam copet? Atau malah kedua-duanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar