Sebuah kota menjadi menarik dan eksotis jika kepala daerahnya memiliki kebijakan yang kompromis dalam melestarikan bangunan-bangunan kuno yang unik dan antik. Tetapi tidak mentabukan kehadiran bangunan-bangunan baru yang dilengkapi dengan berbagai prasarana dan sarana modern.
Langkah itu belum cukup jika pada akhirnya kebijakan berhenti pada tataran yuridis formal. Puas dengan memasang papan pengumuman bahwa sebuah bangunan telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh undang-undang. Seperti tiga papan yang terpasang di tiga pojok Benteng Kraton.
Sayangnya hanya papan pengumuman di Jokteng Wetan yang jelas terbaca , yang menyebutkan Benteng Kraton sebagai cagar budaya disertai dengan berbagai larangan dan ancaman sanksi denda atau pidana bagi mereka yang melanggar undang-undang. Dua papan lainnya yang terletak di Jokteng Kulon dan Jokteng Ngabean tidak dapat dibaca karena tulisannya mengelupas.
Mestinya masih ada satu lagi pojok beteng yang letaknya di sekitar Gondomanan, tepatnya ditikungan antara Jl. Ibu Ruswo dan Jl. Brigjen Katamso. Sayangnya benteng itu sudah hancur. Hanya sisa reruntuhan yang dapat ditemui, di gang sempit yang menghubungkan tikungan tersebut dengan Jl. Kenekan.
Bekas reruntuhan benteng itu dipagari besi dengan ukuran sekitar satu kali satu meter persegi, lengkap dengan prasasti yang menjelaskan sedikit sejarah reruntuhan tersebut. Reruntuhan ini adalah sisa Bastion Benteng Kraton Ngayogyakarta, hancur diserang tentara Inggris tahun 1812 pada masa pemerintahan Sultan HB II. Peritiwa tersebut dikenal sebutan Geger Sepoy atau Geger Spei. Reruntuhan itu dipugar 10 November 2000.
Pemerintah menyadari pentingnya nilai historis sebuah perjuangan dan terbentuknya bangsa dan negara ini dengan merenovasi reruntuhan benteng Kraton. Bangunan itu sebenarnya kurang menarik karena letaknya yang berhimpitan dengan dinding rumah penduduk dan tepat dipinggir gang yang sempit.
Jika ada tiga orang berdiri di depan reruntuhan itu, sudah pasti akan menggangu orang yang lewat. Tetapi itu bukan hambatan untuk membangkitkan dan menumbuhkan nilai nasionalisme serta semakin mengukuhkan Yogya sebagai daerah tujuan wisata sejarah dan budaya.
Jokteng akan lebih menarik andaikan ada prajurit yang berjaga di atas benteng lengkap dengan senjata dan pakaian prajurit Kraton jaman dahulu. Andaikan ide ini dilaksanakan antar warga Kadipaten, Nagan, Patehan, Langenarjan, Siliran dan kerjasama dengan Kraton serta Pemkot. Tidak tertutup kemungkinan benteng Kraton akan menjadi obyek wisata yang unik dan menarik. Dan tidak hanya menjadi obyek tirakatan dengan ritual mubeng benteng setiap malam satu Suro.
Sehingga nasibnya tidak merana seperti joteng Ngabean yang sebagian didingnya menghitam terkena jamur dan entah kapan mendapat perhatian setelah sebagian rusak akibat gempa.
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change (Kompas Jogja, 12 Desember 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar