Translate

31 Juli 2009

Rusunawa, Jemuran dan Kota Budaya

Keberadaan rumah susun sedehana sewa atau rusunawa di Cokrodirjan mudah sekali menarik perhatian bagi orang yang sedang melintas di atas jembatan Juminahan atau jembatan Jambu. Karena bangunannya paling menonjol dan tinggi dibanding dengan bangunan lain di sekitarnya, di pinggir sungai Code.
Mestinya keberadaan rusunawa tiga tahun lalu, memberi nilai lebih bagi Yogya. Tidak dibiarkan menjadi bangunan yang tanpa memiliki sentuhan cita rasa seni, “kosong”, kurang menyatu dengan atmosfir Yogya.
Andaikan dinding rusunawa Cokrodirjan dihiasi lukisan mural seperti di tembok-tembok di beberapa sudut kota dan di tiang-tiang penyangga jembatan layang Lempuyangan. Tentunya keberadaan rusunawa di pinggir sungai Code menambah daya tarik kawasan pinggir sungai Code.
Sebagaimana pernah dilakukan Romo Mangun, yang tidak sekedar menata pemukiman pinggir sungai Code. Tetapi juga memberi sentuhan seni pada rumah-rumah yang terbuat dari anyaman bambu dengan memberi lukisan atau gambar yang berwarna-warni sehingga rumah-rumah sederhana itu nampak indah dan lebih humanis.
Rusunawa Cokrodirjan diresmikan tahun 2004 bersamaan dengan rusunawa di Cimahi, Gresik, Tangerang, Batam, dan Surabaya. Seyogyanya konsep membangun rusunawa di Yogya tidak sebatas pada upaya menyediakan tempat tinggal sewa yang murah dan tertata rapi. Sewa perbulan antara Rp 75 ribu sampai Rp 85 ribu, kamar mandi dan WC di dalam. Atau peduli lingkungan dengan menyediakan kamar mandi atau WC umum untuk warga sekitar rusunawa.
Tetapi bagaimana menjadikan bangunan itu unik, menarik, selaras dengan lingkungan. Penghuni sadar menjaga kebersihan, keamanan dan kenyamanan bersama. Serta tidak gagap dalam proses akulutrasi budaya.
Peraturan Pemerintah no 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun salah satu pasalnya menyebutkan rumah susun harus dilengkapi alat pemadam kebakaran dan tempat jemuran. Di rusunawa Cokrodirjan ada tempat pemadam kebakaran tetapi alatnya tidak ada ditempat. Entah memang tidak dilengkapi atau disimpan oleh pengelola rusanunawa karena takut hilang.
Persoalan jemuran, warga rusunawa harus kreatif membuat jemuran sendiri di depan kamarnya. Jika kurang cermat saat menjemur bisa jadi baju atau yang lainnya diterbangkan angin dan jatuh di sungai Code. Jika demikian jangan berharap pakaian itu mudah ditemukan. Karena itu pembangunan rusunawa Juminahan yang mulai dikerjakaan saat ini mesti memperhatikan persoalan-persoalan sepele seperti tempat jemuran, sistem alarm, dan tempat sampah.
Penyewa rusunawa terdiri dari berbagai latar belakang budaya dan sosial. Tidak semuanya lahir dan besar di Yogya, mereka mencari nafkah di Yogya. Untuk itu dalam membangun rusunawa mesti memperhatikan nilai kelokalan dan kultur Yogya. Karena tidak tersedianya jemuran maka dengan mudah dilihat lambaian jemuran celana dalam dari jalan raya. Tentu hal itu akan merusak citra kota budaya.(Kompas Jogja.13/2/2008)
P Daryono(*)
Komunitas Cemara Tujuh

22 Juli 2009

Selamat Tinggal Lampu Bangjo ?

Pemerintah Kota Yogya tengah mengembangkan budaya baru dalam berlalulintas dengan menempatkan alat hitung mundur atau down counter yang menampilkan angka-angka digital di tiang-tiang lampu bangjo atau traffic light.
Dan secara perlahan tapi pasti, perhatian pengguna jalan di Yogya mulai fokus serta membiasakan diri untuk memperhatikan angka penunjuk lamanya lampu warna hijau atau merah menyala. Ketimbang lampu bangjo itu sendiri.
Pemkot beralasan pemasangan down counter untuk menciptakan tertib lalulintas khususnya di perempatan-perempatan. Namun apakah hal itu tidak menggeser makna dari lampu traffic light yang telah menjadi kesepakatan tidak tertulis secara internasional. Dimana warna lampu merah artinya berhenti, hijau jalan dan kuning hati-hati atau siap berhenti.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, pasal 32 menyebutkan setiap orang dilarang menempelkan atau memasang sesuatu yang menyerupai, menambah atau mengurangi arti dari rambu-rambu, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas.
Dalam bahasa hukum kehadiran down counter jelas bertentangan dengan isi dari PP tersebut. Walau tidak sedikit pengguna jalan yang merasa terbantu dengan adanya down counter dalam memperkirakan kapan harus memperlambat kendaaraannya untuk siap berhenti di perempatan. Termasuk bersiap untuk menginjak atau menarik gas kendaraannya beberapa detik sebelum lampu berwarna hijau.
Pemasangan alat tambahan atau down conuter pada tiang pengatur lampu lalu lintas menunjukkan adanya keinginan untuk berubah. Ada intepretasi baru terhadap pola manajemen berlalulintas khususnya di perempatan-perempatan. Warna kuning sebagai simbol dan tanda hati-hati atau siap untuk berhenti kurang populer. Dan tidak sedikit pengguna jalan yang sering menyerobot lampu saat sudah menyala merah. Semakin menegaskan down counter menjadi pilihan yang tidak dapat ditunda.
Apakah down counter akan menjadi tanda atau simbol baru dalam upaya menciptakan tertib berlalulintas masyarakat di Yogya? Jika demikian, tidak ada salahnya untuk menghemat energi dan biaya. Semua lampu isyarat traffic light atau lampu bangjo di perempatan-perempatan jalan di kota Yogya diganti dengan down counter. Menurut Wakil Walikota harganya tidak terlalu mahal sekitar Rp 6 juta.
Mahal atau tidak itu relatif. Mahal karena down counter tidak menyajikan tulisan angka dengan warna kuning. Dan terlalu mahal karena kurang signifikan dalam upaya mengajak masyarakat untuk tertib berlalulintas. Malam hari saat jalan sepi, lampu traffic light yang konvensional, biasanya warna kuningnya menyala berkedip-kedip. Ini sangat membantu pengguna jalan untuk berhati-hati dan mengurangi kecepatannya saat melintasi perempatan jalan.
Apakah masyarakat Yogya memang memerlukan dua alat bantu atau simbol seperti lampu traffic light dan down counter, untuk lebih beretika dalam berlalulintas? Atau memang sudah waktunya lampu traffic light diganti dengan down counter. Sehingga kita perlu segera mengucapkan selamat tinggal pada lampu bangjo.

20 Juli 2009

Jogjambret

Sepeda motor moda transpotasi yang tergolong hemat dan efisien. Jalan-jalan di Jogja terasa penuh oleh sepeda motor, khususnya saat jam-jam sibuk seperti pagi dan sore hari atau siang hari waktu pulang sekolah.
Naik sepeda motor menyusuri jalan-jalan di Jogja dengan membawa tas dicangklong dipundak, relatif berbahaya. Bukan karena tali tas nyangkut di spion kendaraan lain, yang dapat membuat pengendara jatuh tetapi memudahkan pejambret untuk melakukan aksinya.
Tidak sedikit aksi jambret membuat korbannya terluka karena saat tas korban ditarik, tali tidak putus sehingga korban terjatuh. Pada saat kaget, takut dan kesakitan jambret mengambil tas korban yang berisi barang-barang berharga dan penting. Menjadi korban jambret mengguncangkan hati, apalagi sampai terluka. Mengakibatkan trauma dan butuh memulihkan keberanian dan kepercayaan dalam mengendarai sepeda motor.
Pejambret meggembangkan banyak teknik dalam melakukan pejambretan. Dari memilih korban, pengamatan yang cukup, aksi yang cepat, nekad, berani dan melarikan diri. Sampai cara-cara yang simpel penuh improvisasi. Cuma sebentar membuntuti calon korban, beraksi dan kabur.
Banyak faktor yang mengakibatkan frekuensi kejahatan jambret di Jogja meningkat akhir-akhir ini, korbannya kebanyakan perempuan. Sebagai warga Jogja terasa sudah kehilangan rasa nyaman dan aman karena menjadi korban pejambretan. Belum satu minggu peristiwa penjambretan, istri teman jadi korban jambret di sekitar perempatan Tugu, keponakan kawan yang lain di daerah Tahunan.
Apa yang sudah dilakukan aparat untuk menjaga Jogja aman dan nyaman? Polisi di Jogja mestinya punya cara cerdik dalam menekan kejahatan pejambretan. Jogja adalah daerah tujuan wisata, apa jadinya jika korban jambret adalah wisatawan.
Kehadiran polisi pariwisata kurang maksimal, peran yang dirasakan masyarakat hanya menjadi pengawal iring-iringan mobil atau bus wisatawan. Setiap markas polisi tingkat sektor memiliki standar operasional dalam menjaga keamanan wilayah yang menjadi tanggungjawabnya dan memiliki peta daerah-daerah yang rawan kejahatan. Tugas polisi terasa berat jika fokus mengejar penjahat, perampok, pejambret atau pencopet.
Tugas polisi terasa ringan jika mampu membangun komunikasi yang baik dan sehat dengan masyarakat, bekerja lebih profesional, selalu meningkatkan kemampuan dan pengetahuan. Sehingga ketika ada laporan peristiwa kejahatan, polisi bertindak cepat karena tanggungjawab dan profesionalisme bukan karena lipservice supaya kelihatan bekerja. Sibuk di tempat kejadian perkara, menggali informasi dengan mencatat dan bertanya sana-sini. Tetapi setelah itu semuanya tinggal menjadi laporan dan arsip.
Jangan samai kota tercinta Jogja menjadi Jogjambret karena tingginya kasus kejahatan jambret dan selalu naik turun kasusnya. Apalagi jika sampai meminta nyawa karena korban jambret jatuh dari motornya hingga luka parah dan meninggal. Ceritanya akan lain jika korban itu anak pejabat atau turis asing.
Tidak lucu memberantas jambret cukup memasang sapanduk bertuliskan “Awas, Jambret” di pinggir jalan atau di sudut-sudut perempatan. Seperti memasang spanduk bertuliskan “Awas, Copet...!, maksudnya mengingatkan masyarakat atau mengancam copet? Atau malah kedua-duanya.

16 Juli 2009

Kindergarten Cop dan Manajemen Bencana di Sekolah

Pejabat dan masyarakat terlalu mudah menyimpulkan bahwa banjir dan tanah longsor akibat dari gundulnya hutan dan adanya praktek illegal logging. Ini menunjukkan belum adanya pemahaman yang komperehensif dalam memahami apa dan bagaimana bencana itu terjadi.
Bukti lain diperlihatkan oleh media yang mudah memberitakan dan menyiarkan statement pejabat tentang sumber bencana. Yang menilai dan menyimpulkan terjadinya bencana hanya dengan sekali kunjungan ke lokasi bencana. Sebagaimana musibah banjir dan longsor di Banjarnegara atau Jember yang ditengarai oleh pejabat sebagai akibat penggundulan hutan dan illegal loging.
Pihak Perhutani seperti disalahkan sehingga perlu memberi penjelasan bahwa banjir atau tanah longsor bukan akibat dari adanya illegal logging tetapi karena curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan lapisan tanah latosol yang ditumbuhi rosamala mengelupas karena adanya pergeseran tanah.
Penjelasan ilmiah semacam itu yang didukung oleh penelitian dan studi lapangan cukup lama biasanya kurang mendapat perhatian baik oleh pejabat atau masyarakat. Alasan tersebut kadang dianggap sebagai upaya bela diri dan lepas tanggungjawab.
Upaya mencari kambing hitam masih menjadi sikap arogan pejabat karena perlu ada pihak yang harus disalahkan untuk memuaskan publik terkait terjadinya bencana banjir atau longsor. Kambing hitam itu adalah penduduk sekitar akibat ketidak tahuannya dan kurangnya informasi bahwa pegunungan atau lereng yang curam dan terjal tidak boleh ditanami dengan tanaman umur pendek seperti kopi dimana akarnya kurang mampu mengikat tanah sebagaimana pohon-pohon keras.
Jamak budaya lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan di masyarakat sementara kemauan belajar dan meninggalkan kebiasaan buruk enggan dilakukan oleh pejabat dan masyarakat kita. Mereka kurang menyadari adanya kesalahan berpikir dalam menyimpulkan penyebab terjadinya banjir dan longsor.
Salah satu penyebabnya adalah sistem pendidikan lingkungan yang tidak berubah. Dari dulu hingga sekarang di sekolah dasar masih mengajarkan bahwa banjir dan tanah longsor disebabkan oleh sampah yang menyumbat sungai dan selokan. Atau karena penebangan pohon di hutan.
Penyebab lain seperti tingginya curah hujan, sifat tanah yang berbeda dan ketidak mampuan manusia untuk menghindari tempat-tempat potensial yang memungkinkan terjadinya bencana hampir tidak pernah diajarkan di sekolah. Semestinya hal itu menjadi pengetahuan umum yang harus dipahami sepanjang hidup masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
Kurikulum berbasis kompetensi ternyata belum mampu menangkap kebutuhan peserta didik untuk memahami kondisi lingkungannya. Ketika laut tiba-tiba surut masyarakat di pantai malah beramai-ramai menangkap ikan sehingga tidak melihat fenomena itu sebagai tanda akan datangnya tsunami.
Sebagai negara kepulauan dan daerah rawan bencana gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor dan tsunami. Pendidikan di Indonesia belum mengajarkan siswanya untuk akrab dan peka dengan tanda-tanda alam penyebab munculnya bencana. Penulis yakin belum ada sekolah, baik tingkat dasar atau menengah yang mengajar bagaimana siswa harus bertindak atau bersikap, saat mereka ada di kelas tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh atau meja dan papan tulis bergoyang sendiri.
Sekolah belum mengajar siswa berbagi tanggungjawab jika terjadi bencana termasuk yang diakibatkan oleh kesalahan manusia seperti kebakaran atau kecelakaaan. Sekolah semestinya memiliki jadual tetap untuk melakukan simulasi menghadapi bencana yang dibantu petugas terkait seperti PMI, pemadam kebakaran, satkorlak bencana alam, atau tim SAR setempat.
Selama ini, penunjukkan siswa sebagai ketua kelas cenderung berfungsi seperti pembantu. Demikian halnya dengan piket atau pembagian kelompok sebatas upaya mengenalkan kebersihan kelas. Pengenalan tanggungjawab terasa tanggung, tidak konsisten, terkesan seadanya dan hanya formalitas. Dan masih rendah memberi kepercayaan pada siswa untuk berinisiatif, memiliki kepedulian, mampu memimpin dan dipimpin.
Belajarlah dari film Kindergarten Cop yang dibintangi Arnold. Semua berjalan sesuai dengan standar manajemen bencana. Ketika alarm bahaya berbunyi, guru dan siswa keluar dari ruangannya masing-masing dengan tertib sebagaimana saat latihan.
Korban bencana umumnya mengalami shock, tidak berdaya baik secara fisik atau psikis dan panik. Secara naluriah mereka berupaya menyelamatkan diri, mencari pertolongan dan mengesampingkan orang lain. Namun disaat itu juga ada naluri sosial untuk berkumpul dan berkelompok dalam mengahadapi keadaan yang rentan.
Naluri ini merupakan kunci keberhasilan menanamkan rasa kebersamaan dan bersatu pasca bencana. Dalam kondisi serba chaos akibat bencana, diperlukan seseorang yang mampu tampil menjadi koordinator sekaligus motivator disamping kemauan untuk menjadi orang yang dipimpin.
Saat ini adalah moment tepat untuk mengajarkan manajemen bencana kepada siswa. Kurikulum berbasis kompetesni (KBK) seharusnya mampu memancing kreativitas guru dalam memahami kebutuhan riil masyarakat. Ada banyak hal terkait dengan bencana yang dapat disampaikan guru kepada murid.
Tidak semua aparat lambat bekerja dan tidak semua masyarakat pasrah terhadap bencana. Hal ini ditunjukkan oleh aparat Kesbanglinmas di Magelang yang antusias mempelajari penelitian pakar geologi tentang bencana. Hebatnya lagi, dia sendiri yang menyosialisasikannya ke masyarakat. Sementara warga di lereng bukit Menoreh, Salaman Magelang sudah memiliki sistem peringatan dini terhadap bencana. Dimana saat hujan turun, seorang pemuda dengan mengendarai sepeda motor trail berteriak kepada warga untuk turun ke tempat aman. (Kompas,14/1)
Kapan guru-guru memiliki antusiasme dalam mengajar sistem peringatan dini bencana dan menikmati pekerjaannya dengan menjelaskan tanda-tanda alam? Kapan pendekatan manajemen bencana menjadi bagian dari pendidikan di sekolah? Pertanyaan tersebut bukan sekedar gugatan tetapi juga harapan.(Kompas Jateng DIY, 25/1/2006)
Eko Indarwanto,
Koordinator Komunitas Cemara Tujuh

11 Juli 2009

Dinamika Perempatan Gramedia

Perempatan Gramedia tumbuh dan berkembang, tidak hanya berfungsi sebagai ruang publik yang mengatur lalu lalang kendaraan dengan ciri khasnya melarang semua jenis kendaraan untuk melintas ke arah timur serta jalan kecil khusus bagi kendaraan yang akan berbelok ke kiri. Tetapi tengah tumbuh dan cenderung ingin menjadikan dirinya magnit.Yang berupaya menarik persepsi baru terhadap sebuah kawasan, yang bernama perempatan.
Pada mulanya monumen Tentara Keamanan Rakyat yang dilengkapi dengan patung Jendral Sudirman dan Jendral Urip Sumoharjo, sebagai tetenger atau peringatan akan jasa mereka berdua yang berperan besar akan lahirnya TNI.
Selanjutnya, patung Si Polan di depan pos polisi adalah korban dari sebuah kebijakan atau perintah untuk membuat dan mendirikan patung Si Polan di depan pos-pos polisi atau perempatan. Sehingga mengecil artikan nilai-nilai seni patung, mengabaikan makna simbolik sebuah patung, dan mengesampingkan kemampuan seniman. Karena yang nampak seniman seolah-olah hanya mampu membuat patung polisi.
Kemudian monumen Jogja Kota Pendidikan mengisi titik sudut lainnya. Monumen ini dilengkapi dengan patung Ki Hadjar Dewantara dan sesanti yang ditulis Sultan HB X berisi harapan agar dunia pendidikan bisa mencerahkan kehidupan bangsa.
Namun sayang kehadirannya terkesan dipaksakan dan tidak representatif. Patung Ki Hadjar Dewantara dengan ukuran kacamata yang terkesan kurang proporsional, terlihat lebih besar. Coba bandingkan dengan patung Ki Hadjar Dewantara yang terletak di didepan pendapa Tamansiswa.
Disamping itu, monumen Jogja Kota Pendidikan harus bersaing dengan baliho-baliho atau papan reklame dalam upaya menarik perhatian masyarakat yang melewati perempatan tersebut. Belum lagi dengan kabel-kabel telpon yang menjulur didepan monumen sehingga semakin membuat mata malas untuk memandang.
Masih ada satu titik yang belum terisi dengan patung atau monumen, yaitu di depan kantor DPD Golkar. Dari sisi keberimbangan komposisi, titik sudut di depan kantor DPD Golkar merupakan sumber dari ketimpangan simbol, ketimpangan memahami sebuah ruang publik dan ketimpangan dalam membangun kesadaran kawasan yang beradan serta berbudaya.
Sah-sah saja untuk menutupi kelemahan tersebut dengan menghadirikan sebuah patung. Apakah dalam bentuk patung pohon beringin, patung satgas Golkar, patung Polwan atau patung lainnya? Namun itu semua tidak menjawab persoalan mendasar tentang pemanfaatan ruang publik dan visi pembangunan monumen atau patung.
Menanamkan kesadaran serta menjaga kesegaran ingatan akan moment-moment penting perjalanan sejarah bangsa tidak cukup dengan membangun monumen. Monumen tidak lebih sekedar tumpukan batu dan jejeran patung jika prakarsa pembangunannya didominasi oleh prakarsa pribadi serta institusi.
Tengok, bagaimana merananya patung atau tugu Garuda di depan pangkalan TNI AU Jl. Adi Sucipto. Tidak terawat, ditumbuhi lumut dan rumput-rumput liar, tulisan sebagai satu-satunya sumber informasi tentang gugurnya belasan pahlawan yang mempertahankan pangkalan TNI AU nyaris tidak dapat dibaca.
Monumen SO 1 Maret di perempatan Kantor Pos Besar masih beruntung karena terawat, dikelilingi pagar serta adanya ruang yang cukup luas sehingga mampu menarik perhatian mata dan menggoda untuk mengingat-ingat sejarah perjuangan. Sekaligus membangun imaji yang lain tentang perempatan itu sendiri. Sebagai tempat nongkrong, kongkow-kongkow, melepas kepenatan walau hanya dengan memandang hilir mudiknya kendaraan.
Lain dengan perempatan Gramedia, monumen Tentara Keamanan Rakyat tidak ubahnya tumpukan batu dan jejeran patung. Akses bagi pejalan kaki kurang nyaman. Berhenti dan membaca informasi yang tertulis di monumen tersebut seperti menempatkan diri menjadi patung ketiga, yang patut ditonton oleh para pengguna jalan yang kebetulan menunggu lampu lalu lintas berubah warna. Sementara monumen Jogja Kota Pendidikan, kurang menarik untuk dilihat dan dinikmati sentuhan seninya.
Perempatan ini akan terus berkembang dan berubah. Satu-satunya perubahan yang tidak diharapkan jika dibangun jalan layang di atas perempatan ini. Karena akan merubah ke khasannya, daya tariknya, yang merupakan bagian dari ke khasan Yogya sebagai kota pendidikan.(Kompas Jogja,4/5/2005)
Veronika Kusuma Wijayanti (*)

09 Juli 2009

Bank Syariah, antara Tantangan dan Strategi

Bank syariah, bank yang ingin mebumikan nilai-nilai agama dalam praktek ekonomi sehari-hari. Bank yang membujuk dan mengajak orang untuk melaksanakan kegiatan ekonomi secara santun, bermoral dan berdasar ajaran Islam.
Untuk mencapainya tidak mudah, perlu perjuangan panjang dan keseriusan. Kehadiran bank memiliki arti penting bagi keberlangsungan kegiatan ekonomi. Tetapi tidak jarang bank menjadi alat dalam upaya memperoleh keuntungan ekonomis secara cepat. Sebaliknya, tidak sedikit bank yang terperangkap dalam jurang kerugian karena melakukan aktivitas ekonomi yang penuh resiko. Diantaranya mengelola dana nasabah dalam perdagangan mata uang atau valas, saham dan yang lainnya.
Bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Perbedaan itu yang menempatkan bank syariah dalam posisi khusus. Artinya, kegiatan atau aktivitasnya memiliki ciri pada aktivitas ekonomi yang berdasarkan nilai agama Islam. Dimana nilai atau ajaran agama menjadi prinsip utama dalam menjalankan prinsip-prinisip ekonomi.
Beberapa produk perbankan syariah hampir menyerupai produk bank konvensional. Tetapi produk perbankan syariah tidak semata-mata pada keuntungan ekonomi tetapi juga berdasar pada nilai agama. Salah satunya dengan meletakkan prinsip bagi hasil, yang dinaungi oleh UU no 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan kemudian dipertegas dengan keluarnya Peraturan Pemerintah nomer 72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Untuk menjaring nasabah yang bersedia menanamkan atau memanfaatkan dana di bank syariah ternyata tidak mudah. Walau menurut berbagai laporan bahwa peningkatan nasabah bank syariah terus mengalami peningkatan namun jumlah tersebut masih jauh dari harapan mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Menurut Republika online, total nasabah tabungan bank syariah mencapai 3,9 juta orang. Sementara penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) per bulan April dana dari giro sebesar Rp 6,3 triliun, tabungan Rp 13,4 triliun dan deposito Rp19,3 triliun. Sedangkan data publikasi BI menyebutkan jumlah rekening bank syariah sebanyak 4,7 juta orang. Dengan rincian nasabah giro 74 ribu orang, tabungan 4,5 juta orang dan deposito sebanyak 122 ribu orang .
Untuk itu para pengelola bank syariah di tanah air mestinya tidak cepat puas diri dengan data-data yang menunjukkan peningkatan karena tidak sedikit pelayanan terhadap calon nasabah atau nasabah bank syariah jauh dari memuaskan.
Ketika berkunjung ke salah satu bank syariah di Jogja. Kesan pertama adalah pelayanan yang kurang memuaskan walau mendapat sapaan ramah dan siap menawarkan bantuan dari satpam bank syariah. Ketika bermaksud bertemu dengan costumer service terpaksa harus menunggu cukup lama. Bukannya karena antri tetapi karena pegawai costumer servisnya yang tidak ada di tempat. Entah kemana, sementara satpam yang ramah tadi harus menerima telpon. Setelah menunggu cukup lama, terpaksa angkat kaki dari bank yang bersih dan sejuk oleh pendingin ruangan. Tanpa mendapatkan penjelasan apapun dan sapaan ramah dari satpam karena masih sibuk menerima telpon.
Apa saja produk bank syariah tetap menjadi pertanyaan? Keluar dari bank tersebut yang tertanam dalam kepala bahwa bank syariah itu bank yang tidak memberikan bunga atau riba. Itu saja.
Ini salah satu tantangan mengapa bank syariah belum populer dan belum dilirik oleh masyarakat. Konsumen atau calon nasabah yang pro aktif mencari informasi seputar bank syariah harus menelan kekecewaan.
Jika mendapat informasi, jangan berharap mudah mencernanya. Karena istilah dan produk perbankan syariah kurang familiar ditelinga. Sementara masyarakat tidak memiliki budaya untuk membuat catatan apa yang telah dijelaskan dan kemudian mencernanya di rumah.
Selain itu masyarakat belum teredukasi dengan baik tentang bank syariah oleh karena minimnya promosi dan informasi seputar bank syariah. Disamping tidak sedikit ustaz yang belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang ilmu ekonomi Islam. Dan masih ada ustaz yang bersikap apriori terhadap bank syariah.
Pelayanan yang kurang baik, lemahnya edukasi terhadap pemuka agama dan umat tentang bank syariah persoalan yang harus cepat diselesaikan. Diantaranya dengan menyusun sebuah kerangka besar tentang strategi bagaimana mempercepat gerak perkembangan bank syariah di tanah air.
Pertama, melakukan workshop atau pelatihan bagi jajaran bank syariah secara berkesinambungan untuk menjaga semangat dalam upaya meningkatkan nasabah bank syariah. Diskusi atau tukar pengalaman sesama bank syariah perlu dikembangkan untuk mencapai gerakan bersama dalam mengembangkan bank syariah secara keseluruhan.
Kedua, melakukan edukasi secara berkelanjutan bagi ulama atau ustaz tentang seluk beluk bank syariah. Dengan harapan dari mereka dapat menularkan pengatahuan tersebut ke umat. Dan yang tidak kalah penting adalah melibatkan cendikaiawan muslim dalam menyusun modul, bentuk eduksi atau pelatihan dan memberikan materi dalam memberikan pemahaman yang sederhana dan mudah dimengerti mengenai bank syariah termasuk produk-produknya.
Ketiga, jangan terlalu banyak menggantungkan bantuan pemerintah atau pihak lain dalam melakukan edukasi, promosi atau sosialisasi tentang bank syariah. Hal ini akan menumbuhkan kebiasaan saling menunggu.
Yang dibutuhkan adalah membentuk komunitas-komunitas kecil dengan memanfaatkan sumberdaya lokal untuk memulai gerakan memahami bank syariah secara benar. Salah satu cara, membangun kerjasama dengan ulama di tingkat kecamatan dimana bank syariah itu berada.
Dan yang terakhir adalah membangun budaya mendengar dan menerima berbagai bentuk keluhan atau kekurangan terkait dengan keberadaan bank syariah. Informasi itu akan menjadi bahan yang sangat berharga jika pihak pengelola bank syariah memiliki kejelian dalam melihat peluang, mampu berpikir kritis terhadap setiap persoalan dan dapat memaksimalkan sumberdaya yang ada untuk menangani pekerjaan secara profesional.
Tantangan dan upaya strategis untuk mengembangkan bank syariah kurang bermanfaat jika memahami bank syariah sebatas memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Bank syariah adalah salah satu garda depan dalam menjalankan kegiatan ekonomi yang ideal, memiliki roh keagamaan tanpa harus meninggalkan pijakan berupa kegiatan ekonomi praktis
Bank syariah adalah bank yang dibangun dengan semangat dan tujuan menyelamatkan pelaku-pelaku ekonomi, manusia. Tanpa bermaksud mempersulit dengan kaedah atau aturan-aturan agama. Tetapi bukan berarti membiarkan diri bank syariah bangkrut karena terlalu condong pada nilai-nilai religi.
Akan terjadi friksi yang tidak pernah selesai antara kepentingan duniawi dan rohani. Bank syariah akan terus menerus berdiri diantara dua kekuatan yang saling tarik menarik. Bank syariah dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan.
Inilah tantangan yang sesungguhnya bagi bank syariah jika sudah mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Melakukan edukasi sehingga masyarakat mengerti apa adan bagaimana bank syariah. Kemudian dengan mudah menemukan bank syariah karena promosi yang menarik.
Tugas bank bank syariah kedepan adalah menjaga kelancaran aktivitas ekonomi nasabah sehingga memberi manfaat bagi banyak orang secara ekonomis. Sekaligus bertugas menjaga jiwa agar tidak terjebak dalam dunia yang materialis dengan mengorbankan kehidupan rohaninya.
Peran bank syariah menjadi sangat strategis untuk menjaga keberlangsungan kegiatan ekonomi dan moral pelaku ekonomi. Karena itu bank syariah membutuhkan orang-orang yang memiliki kualitas di atas rata-rata bukan tempat buangan bagi pegawai bank yang kurang berprestasi.
Tidak mudah memberikan pemahaman dan penjelasan yang sederhana tentang tabungan atau giro wadiah dan mudharabah, termasuk deposito mudharabah. Sehingga calon nasabah tertarik untuk menggunakan salah satu produk perbankan syariah tersebut.
Perlu orang-orang khusus yang mampu melakukan komunikasi dengan baik sehingga citra produk bank syariah bernilai karena kebermanfaatannya. Bukan baik karena terwakili oleh citra pegawai bank syariah yang kosmetis. Cantik, memakai jilbab dan murah senyum.

Http://www.ekoindarwanto.blogspot.com
www.facebook.com/ekoind

03 Juli 2009

Jajan, Wisata atau Tour de Rumah Sakit

Trend wisata kuliner yang ditayangkan televisi ikut menggairahkan dinamika warung-warung makan. Jajan dengan cara lesehan atau nongkrong di depan gerobak soto, bakso dan angkringan menjadi bagian dari budaya kota. Jajan di pinggir jalan tidak lagi memalukan.
Sekolah pernah mengajarkan bahaya kebiasaan jajan di pinggir jalan kepada siswa karena dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti diare dan desentri. Ilustrasi dalam buku pelajaran selalu menggambarkan warung di pinggir jalan tidak lepas dari debu dan lalat.
Sayang ajaran itu kurang kreatif sehingga kurang tertatanam di hati dan pikiran siswa. Sementara media massa dengan teknologi dan kreativitasnya mengajarkan masyarakat untuk gemar jajan sebagai bagian dari gaya hidup lewat acara wisata kuliner.
Belum semua penjual makanan dan minuman sadar dan mengedepankan pentingnya kebersihan. Tidak sedikit pedagang makanan dan minuman yang menggunakan air cucian piring, gelas atau sendok secara berulang. Ini menjadi media yang efektif untuk menularkan penyakit seperti diare, disentri, tipus dan hepatitis.
Mahasiswa dan pelajar terbiasa jajan di warung yang murah sesuai dengan selera dan ukuran kenyamanan menurut mereka. Namun tidak jarang mereka harus membayar mahal kebiasaan itu untuk mengeluarkan biaya kesehatan, seperti biaya obat dan perawatan di rumah sakit yang jumlahnya tidak sebanding dengan harga makanan dan minuman yang sudah dikonsumsinya.
Asiang Tenggara wilayah berisiko terjadinya penyebaran virus hepatitis karena rendahnya kondisi higienis lingkungan. Masyarakat masih menganggap remeh serangan hepatitis dan dikira hanya serangan flu biasa. Seperti nafsu makan hilang, demam, pegal sekujur tubuh, mual dan muntah serta nyeri pada perut. Pada beberapa kasus, air seni berwarna gelap dan kulit serta mata yang menguning.
Salah satu tipe virus virus hepatitis, tipe A yang mudah menyerang anak dan kaum muda. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit kuning (jaundice). Penularannya lewat makanan atau minuman yang terkontaminasi feces penderita. Misalnya makan buah-buahan, sayur yang tidak dimasak atau makan kerang yang setengah matang. Atau minum dengan es batu yang prosesnya terkontaminasi.
Di rumah sakit Panti Rapih di bulan Juni kasus penderita hepatitis A jumlahnya meningkat. Beberapa penderita masuk dalam daftar tunggu untuk dirawat karena rumah sakit penuh. Meningkatnya jumlah pasien hepatitis A mengakibatkan beberapa rumah sakit mengalami keterlambatan pasokan obat .
Bukan mejustifikasi warung makan di Yogya sebagai sumber penularan penyakit hepatitis, diare, disentri, tipus dan lainnya. Tetapi coba amati cara penjual memasak atau menyiapkan makanan dan minuman yang dipesan. Cara mereka mencuci atau membersihkan gelas, piring atau sendok. Bagaimana cara mereka dalam menyajikan makanan higienis atau tidak?
Wisata kuliner boleh jadi merupakan sebutan keren untuk kebiasaan jajan. Tetapi jangan sampai jajan menjadi tour de rumah sakit. Menikmati “wisata” dengan istirahat di tempat tidur di bawah pengawasan dokter dan perawat. (Kompas Jogja,16/7/2008)
M Bagus Setyawan, (*)
Masyarakat peduli lingkungan “Seribu Daun”