Translate

05 Agustus 2009

Sekolah Dam... Di... Dam... Di... Dam... Dam...

Proses pendidikan di sekolah mestinya berlangsung menyenangkan karena tugas sekolah memberi sesuatu yang baru bagi siswa. Interaksi guru dan murid baik jika setiap tugas dari guru tidak dimaknai sebagai beban oleh murid.
Pembelajaran di sekolah menjadi menarik jika guru dapat meciptakan atmosfir pembelajaran yang menumbuhkan antusiasme siswa dengan menempatkan obyek pelajaran seperti sebuah misteri, yang menggoda rasa ingin tahu sehingga mendorong keinginan siswa untuk memecahkannya.
Sekolah itu menyenangkan jika nampak wajah ceria pada diri siswa saat ke sekolah. Iklan sekolah gratis dimana-mana, memperlihatkan bagaimana siswa sekolah dasar dan menengah pertama gembira dengan berlari-lari kecil, menyanyi dan ceria saat berangkat ke sekolah. Sambil menari mengikuti irama lagu, dam... di... dam... di... dam... dam.....
Sementara wajah orang tua di sebuah kampung antah berantah mengekspresikan perasaan senang dengan ikut menari dan menyanyi, sambil memukul peralatan rumah tangga. Tidak ketinggalan tukang ojek ikut menari dalam gerakan yang padu dan seirama dalam iklan sekolah gratis dimana-mana. Dam... di... dam... di... dam... dam...
Iklan adalah iklan. Tugasnya membujuk, menciptakan atau menjaga citra produk yang diiklankan. Iklan yang bagus jika memiliki kekuatan untuk menghentikan atau stoping power. Memiliki konsep jelas, dibuat secara sederhana, mengandung unsur tidak terduga serta mempunyai daya bujuk agar agar konsumen tergoda membeli atau mengikuti.
Sekolah itu menyenangkan karena mengajarkan banyak hal seperti kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, menghargai setiap perbedaan dan terbuka terhadap ide, gagasan atau cita-cita muridnya. Tidak menjebaknya dalam permainan kata-kata bahwa anak pinter harus jadi dokter. Bapaknya sopir angkot, anaknya bisa jadi pilot. Atau bapaknya tukang loper koran, anaknya bisa jadi wartawan. Seperti dalam tayangan iklan sekolah gratis dimana-mana, versi percakapan dalam angkot.
Pendidikan yang menyenangkan adalah pendidikan yang menghargai arti kebebasan, memberi pengertian pentingnya memilih yang dilandasi dengan tanggungjawab. Untuk itu pendidikan mesti mendorong siswa untuk dapat mewujudkan mimpi-mimpinya.
Mengapa harus menanamkan pemahaman bahwa anak sopir ke depan juga jadi sopir. Tidak salah jika anak sopir angkot menjadi penguasaha jasa angkutan penumpang seperti travel atau juragan kendaraan angkutan kota. Pendidikan yang mencerdaskan memberi kesempatan pada siswa untuk memperoleh sesuatu yang baru. Tidak ikut-ikutan menilai pekerjaan sopir angkot sebagai pekerjaan kasar dan rendahan. Sementara pekerjaan sebagai pilot pekerjaan yang bergengsi dan prestisius, walau esensinya sama.
Sekolah akan menyenangkan jika sistem pendidikan mendorong siswa kreatif melihat setiap kemungkinan akan masa depan, tidak membelenggunya dengan sejarah pekerjaan orang tua. Anak penjual atau tukang loper koran bisa menjadi seniman besar bukan sekedar menjadi wartawan yang tugasnya mengejar, mencari berita atau membuat gosip dari dan tentang seniman besar.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak terjebak dalam kepentingan politis. Tidak memanfaatkan kepandaian atau kecerdikan untuk mengelabui orang atau pihak lain dengan menyembunyikan kebenaran. Lewat kata-kata yang bersayap dan penuh kamuflase, seperti sekolah gratis dimana-mana.
Di beberapa daerah sebagian orang tua siswa yang bersyukur anak-anaknya merasakan sekolah gratis tingkat dasar dan menengah pertama Tetapi tidak sedikit yang kecewa dengan iklan sekolah gratis dimana-mana karena mereka harus cermat memaknai arti sekolah gratis dan harus mencari dimana sekolah gratis.
Keinginan pemerintah menyelenggarakan pendidikan gratis tingkat pendidikan dasar dan menengah seperti dalam iklan sulit diwujudkan sebab sejumlah daerah mengalami keterbatasan APBD. Namun itu bukan berarti susah untuk menciptakan sekolah yang menyenangkan karena sekolah gratis tidak secara otomatis akan membentuk sistem pendidikan yang menyenangkan.
Standarisasi nilai ujian kelulusan lewat ujian nasional atau UN kerap membawa persoalan sosial baru. Sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan sebagai tempat untuk belajar, menerima kekurangan dalam memahami sebuah persoalan. Bukan lagi tempat yang “pribadi” untuk mengakui kelemahan dalam memahami salah satu mata pelajaran. Termasuk menyadari kekurangan diri sebagai siswa yang tergolong kurang teliti atau kurang mampu dalam satu pelajaran tertentu.
Sekolah terasa menjadi angkuh dan tidak lagi bersahabat ketika siswa menginjak kelas akhir. Sekolah mengkondisikan keadaan seperti akan menghadapi pertempuran. Beberapa minggu menjelang UN, sekolah seperti kamp latihan militer. Ada sekolah yang sibuk dengan memberi jam pelajaran tambahan bahkan ada yang meminta siswa menginap di sekolah.
Sekolah gratis, dalam arti yang sesungguhnya atau yang sudah sengaja dibiaskan. Tidak sepenuhnya memiliki korelasi positif dengan kualitas pendidikan di sekolah. Manfaat sekolah gratis lebih banyak dirasakan orang tua dan politisi sementara siswa kurang merasakan manfaatnya.
Tidak sedikit orang tua, pemerhati masalah pendidikan mengeluh dengan adanya sekolah gratis kualitas pendidikan tingkat dasar dan menengah pertama menurun. Ini dipicu rendahnya dana untuk keberlangsung proses belajar mengajar di sekolah.
Perhatian publik tentang sekolah gratis bersifat musiman, umumnya terjadi saat penerimaan siswa baru. Seiring dengan perjalanan waktu perhatian akan berkurang dan beralih ke persoalan lain. Apakah sekolah mampu mempertahankan keceriaan siswa-siswa yang duduk di kelas akhir seperti di iklan sekolah gratis dimana-mana? Berangkat ke sekolah bersenandung gembira, “Dam... di... dam... di... dam... dam...”.
Dari iklan sekolah gratis, nampaknya pemerintah memiliki keinginan yang baik. Tetapi pemerintah kembali dihadapkan pada persolan klasik dimana keinginan dan tujuan baik terkendala oleh jaring-jaring birokrasi, kepentingan politis, kurang seriusan dan kualitas sumberdaya manusia tingkat manajerial sampai pelaksana dalam menyikapi sebuah kebijakan yang pro rakyat.
Pemerintah mestinya bertindak tegas dan cepat dalam mewujudkan pendidikan gratis tingkat dasar. Hambatan birokrasi dan aturan di daerah yang kurang memihak pada rakyat mestinya dihilangkan. Yang ditunggu rakyat bukan sekedar sekolah gratis dimana-mana tetapi komitmen dan keseriusan dalam meweujudkan program pendidikan gratis.
Sekolah gratis bukan sekedar sekolah yang memamerkan tari dan lagu dam... di... dam... di... dam... dam....Seperti film-film India yang mengumbar mimpi lewat tari dan lagu. Sekolah itu pendidikan dan iklan sekolah gratis mestinya mendidik kejujuran. Gratis, ya... gratis tis. Bukan dam... di... dam... di... dam... dam.... (Kompas jateng DIY,3 Agustus 2009)
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change

Tidak ada komentar:

Posting Komentar