Translate

01 Juni 2009

Secodiningratan, Dr. Yap dan Kwee Tjoen An

Jalan Senopati dari depan kantor pos besar sampai perempatan Gondomanan, dahulu bernama Jalan Secodiningratan. Nama itu wujud penghargaan kepada seorang warga Tionghoa, Tan Jie Sing yang menjadi abdidalem Kraton Yogya semasa pemerintahan Sultan HB II dan III.
Gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secadiningrat diberikan kepada Tan Jie Sing atas jasa dan ketrampilannya dalam menguasai empat bahasa sehingga kerap mendapat tugas sebagai juru bahasa Kraton.
Kraton sudah memberikan teladan bagaimana menghargai jasa seseorang. Sayang Pemda Yogya tidak belajar dari hal itu dengan mengganti nama Jalan Secodiningratan dengan jalan Penembahan Senopati. Tidak jelas apa alasannya, kemungkinan terkait dengan politik asimilasi yang diberlakukan pemerintahan Orde Baru, yang mewajibkan masyarakat keturunan Tionghoa mengganti namanya dengan nama Indonesia. Dan Jalan Secodiningratan terkena imbasnya.
Sebuah kota terasa ramah dan memiliki keunikan jika pemerintah dan masyarakat dapat mengelola dengan baik berbagai perbedaan yang ada. Kraton sudah meletakkan fondasi bagi Yogya sebagai kota yang berbudaya lewat pemberian gelar KRT kepada Tan Jie Sing.
Andai Pemda Yogya waktu itu mengganti nama Jalan Secodiningratan dengan Jalan Tan Jie Sing. Yogya akan menjadi satusatunya kota yang meletakkan pondasi kuat pada warganya akan pentingnya menghargai setiap perbedaan.
Keberadaan rumah sakit mata Dr. Yap di Jalan Cik Di Tiro, akan semakin menegaskan bahwa Yogya sebagai satu-satunya kota yang dapat mengimplementasikan nilai kebhinekaan dalam keseharian masyarakatnya.
Rumah sakit mata Dr. Yap didirikan oleh Dr. Yap Hong Tjoen tahun 1922. Rumah sakit itu kemudian diwariskan ke anaknya, Dr. Yap Kie Tiong. Selanjutnya Yap Kie Tiong dalam surat wasiatnya, yang salah satunya ditujukan pada Paku Alam VIII menyebutkan, terkait dengan keberlangsungan Rumah Sakit Mata Dr. Yap supaya diambil alih guna kepentingan masyarakat.
Yogya menjadi kota yang berbudaya karena tidak mudah mereduksi setiap perbedaan. Membangun kota yang berbudaya tidak terletak pada berapa banyak karya seniman yang dipamerkan dan seberapa sering pertunjukan seni digelar atau ditayangkan di televisi. Tetapi pada bagaimana pemerintah dan masyarakat memaknai setiap perbedaan sebagai oase budaya yang akan memperkaya citra sebuah kota.
Kwee Tjoen An tidak sembarangan mereduksi perbedaan yang ada dalam dirinya. Kecintaannya pada seni tari, tidak membuat pria ini jengah dengan peran perempuan dalam membawakan tariannya karena yang dilakukan bukan sekedar tuntutan skenario, biar beda atau mencari popularitas.
Di akte kelahirannya, terlahir Kwee Tjoen Lian dari pasangan Kwee Yoe Tiang dan Suminah. Karena sering sakit-sakitan namanya diganti menjadi Kwee Tjoen An. (Herry Gendut Janarto, 2005). Tjoen An ikut menjaga ruh budaya kota Yogya dengan tariannya yang lucu. Dan kita mengenalnya sebagai Didik Nini Thowok.
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change (Kompas Jogja, 21 Mei 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar