Translate

11 Juli 2009

Dinamika Perempatan Gramedia

Perempatan Gramedia tumbuh dan berkembang, tidak hanya berfungsi sebagai ruang publik yang mengatur lalu lalang kendaraan dengan ciri khasnya melarang semua jenis kendaraan untuk melintas ke arah timur serta jalan kecil khusus bagi kendaraan yang akan berbelok ke kiri. Tetapi tengah tumbuh dan cenderung ingin menjadikan dirinya magnit.Yang berupaya menarik persepsi baru terhadap sebuah kawasan, yang bernama perempatan.
Pada mulanya monumen Tentara Keamanan Rakyat yang dilengkapi dengan patung Jendral Sudirman dan Jendral Urip Sumoharjo, sebagai tetenger atau peringatan akan jasa mereka berdua yang berperan besar akan lahirnya TNI.
Selanjutnya, patung Si Polan di depan pos polisi adalah korban dari sebuah kebijakan atau perintah untuk membuat dan mendirikan patung Si Polan di depan pos-pos polisi atau perempatan. Sehingga mengecil artikan nilai-nilai seni patung, mengabaikan makna simbolik sebuah patung, dan mengesampingkan kemampuan seniman. Karena yang nampak seniman seolah-olah hanya mampu membuat patung polisi.
Kemudian monumen Jogja Kota Pendidikan mengisi titik sudut lainnya. Monumen ini dilengkapi dengan patung Ki Hadjar Dewantara dan sesanti yang ditulis Sultan HB X berisi harapan agar dunia pendidikan bisa mencerahkan kehidupan bangsa.
Namun sayang kehadirannya terkesan dipaksakan dan tidak representatif. Patung Ki Hadjar Dewantara dengan ukuran kacamata yang terkesan kurang proporsional, terlihat lebih besar. Coba bandingkan dengan patung Ki Hadjar Dewantara yang terletak di didepan pendapa Tamansiswa.
Disamping itu, monumen Jogja Kota Pendidikan harus bersaing dengan baliho-baliho atau papan reklame dalam upaya menarik perhatian masyarakat yang melewati perempatan tersebut. Belum lagi dengan kabel-kabel telpon yang menjulur didepan monumen sehingga semakin membuat mata malas untuk memandang.
Masih ada satu titik yang belum terisi dengan patung atau monumen, yaitu di depan kantor DPD Golkar. Dari sisi keberimbangan komposisi, titik sudut di depan kantor DPD Golkar merupakan sumber dari ketimpangan simbol, ketimpangan memahami sebuah ruang publik dan ketimpangan dalam membangun kesadaran kawasan yang beradan serta berbudaya.
Sah-sah saja untuk menutupi kelemahan tersebut dengan menghadirikan sebuah patung. Apakah dalam bentuk patung pohon beringin, patung satgas Golkar, patung Polwan atau patung lainnya? Namun itu semua tidak menjawab persoalan mendasar tentang pemanfaatan ruang publik dan visi pembangunan monumen atau patung.
Menanamkan kesadaran serta menjaga kesegaran ingatan akan moment-moment penting perjalanan sejarah bangsa tidak cukup dengan membangun monumen. Monumen tidak lebih sekedar tumpukan batu dan jejeran patung jika prakarsa pembangunannya didominasi oleh prakarsa pribadi serta institusi.
Tengok, bagaimana merananya patung atau tugu Garuda di depan pangkalan TNI AU Jl. Adi Sucipto. Tidak terawat, ditumbuhi lumut dan rumput-rumput liar, tulisan sebagai satu-satunya sumber informasi tentang gugurnya belasan pahlawan yang mempertahankan pangkalan TNI AU nyaris tidak dapat dibaca.
Monumen SO 1 Maret di perempatan Kantor Pos Besar masih beruntung karena terawat, dikelilingi pagar serta adanya ruang yang cukup luas sehingga mampu menarik perhatian mata dan menggoda untuk mengingat-ingat sejarah perjuangan. Sekaligus membangun imaji yang lain tentang perempatan itu sendiri. Sebagai tempat nongkrong, kongkow-kongkow, melepas kepenatan walau hanya dengan memandang hilir mudiknya kendaraan.
Lain dengan perempatan Gramedia, monumen Tentara Keamanan Rakyat tidak ubahnya tumpukan batu dan jejeran patung. Akses bagi pejalan kaki kurang nyaman. Berhenti dan membaca informasi yang tertulis di monumen tersebut seperti menempatkan diri menjadi patung ketiga, yang patut ditonton oleh para pengguna jalan yang kebetulan menunggu lampu lalu lintas berubah warna. Sementara monumen Jogja Kota Pendidikan, kurang menarik untuk dilihat dan dinikmati sentuhan seninya.
Perempatan ini akan terus berkembang dan berubah. Satu-satunya perubahan yang tidak diharapkan jika dibangun jalan layang di atas perempatan ini. Karena akan merubah ke khasannya, daya tariknya, yang merupakan bagian dari ke khasan Yogya sebagai kota pendidikan.(Kompas Jogja,4/5/2005)
Veronika Kusuma Wijayanti (*)

2 komentar:

  1. Siapa yang bertugas merawat patung? Dinas Pertamanan atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Pariwisata? Kalau orang berani menganggarkan untuk membuat patung, ya harus berani menganggarkan untuk merawatnya juga dong.

    BalasHapus
  2. Terimakasih atensinya. Benar juga ya, kita terbiasa pandai membuat dan membangun tetapi malas dan gak mikir gimana ngrawatnya.

    BalasHapus