Translate

16 Juli 2009

Kindergarten Cop dan Manajemen Bencana di Sekolah

Pejabat dan masyarakat terlalu mudah menyimpulkan bahwa banjir dan tanah longsor akibat dari gundulnya hutan dan adanya praktek illegal logging. Ini menunjukkan belum adanya pemahaman yang komperehensif dalam memahami apa dan bagaimana bencana itu terjadi.
Bukti lain diperlihatkan oleh media yang mudah memberitakan dan menyiarkan statement pejabat tentang sumber bencana. Yang menilai dan menyimpulkan terjadinya bencana hanya dengan sekali kunjungan ke lokasi bencana. Sebagaimana musibah banjir dan longsor di Banjarnegara atau Jember yang ditengarai oleh pejabat sebagai akibat penggundulan hutan dan illegal loging.
Pihak Perhutani seperti disalahkan sehingga perlu memberi penjelasan bahwa banjir atau tanah longsor bukan akibat dari adanya illegal logging tetapi karena curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan lapisan tanah latosol yang ditumbuhi rosamala mengelupas karena adanya pergeseran tanah.
Penjelasan ilmiah semacam itu yang didukung oleh penelitian dan studi lapangan cukup lama biasanya kurang mendapat perhatian baik oleh pejabat atau masyarakat. Alasan tersebut kadang dianggap sebagai upaya bela diri dan lepas tanggungjawab.
Upaya mencari kambing hitam masih menjadi sikap arogan pejabat karena perlu ada pihak yang harus disalahkan untuk memuaskan publik terkait terjadinya bencana banjir atau longsor. Kambing hitam itu adalah penduduk sekitar akibat ketidak tahuannya dan kurangnya informasi bahwa pegunungan atau lereng yang curam dan terjal tidak boleh ditanami dengan tanaman umur pendek seperti kopi dimana akarnya kurang mampu mengikat tanah sebagaimana pohon-pohon keras.
Jamak budaya lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan di masyarakat sementara kemauan belajar dan meninggalkan kebiasaan buruk enggan dilakukan oleh pejabat dan masyarakat kita. Mereka kurang menyadari adanya kesalahan berpikir dalam menyimpulkan penyebab terjadinya banjir dan longsor.
Salah satu penyebabnya adalah sistem pendidikan lingkungan yang tidak berubah. Dari dulu hingga sekarang di sekolah dasar masih mengajarkan bahwa banjir dan tanah longsor disebabkan oleh sampah yang menyumbat sungai dan selokan. Atau karena penebangan pohon di hutan.
Penyebab lain seperti tingginya curah hujan, sifat tanah yang berbeda dan ketidak mampuan manusia untuk menghindari tempat-tempat potensial yang memungkinkan terjadinya bencana hampir tidak pernah diajarkan di sekolah. Semestinya hal itu menjadi pengetahuan umum yang harus dipahami sepanjang hidup masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
Kurikulum berbasis kompetensi ternyata belum mampu menangkap kebutuhan peserta didik untuk memahami kondisi lingkungannya. Ketika laut tiba-tiba surut masyarakat di pantai malah beramai-ramai menangkap ikan sehingga tidak melihat fenomena itu sebagai tanda akan datangnya tsunami.
Sebagai negara kepulauan dan daerah rawan bencana gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor dan tsunami. Pendidikan di Indonesia belum mengajarkan siswanya untuk akrab dan peka dengan tanda-tanda alam penyebab munculnya bencana. Penulis yakin belum ada sekolah, baik tingkat dasar atau menengah yang mengajar bagaimana siswa harus bertindak atau bersikap, saat mereka ada di kelas tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh atau meja dan papan tulis bergoyang sendiri.
Sekolah belum mengajar siswa berbagi tanggungjawab jika terjadi bencana termasuk yang diakibatkan oleh kesalahan manusia seperti kebakaran atau kecelakaaan. Sekolah semestinya memiliki jadual tetap untuk melakukan simulasi menghadapi bencana yang dibantu petugas terkait seperti PMI, pemadam kebakaran, satkorlak bencana alam, atau tim SAR setempat.
Selama ini, penunjukkan siswa sebagai ketua kelas cenderung berfungsi seperti pembantu. Demikian halnya dengan piket atau pembagian kelompok sebatas upaya mengenalkan kebersihan kelas. Pengenalan tanggungjawab terasa tanggung, tidak konsisten, terkesan seadanya dan hanya formalitas. Dan masih rendah memberi kepercayaan pada siswa untuk berinisiatif, memiliki kepedulian, mampu memimpin dan dipimpin.
Belajarlah dari film Kindergarten Cop yang dibintangi Arnold. Semua berjalan sesuai dengan standar manajemen bencana. Ketika alarm bahaya berbunyi, guru dan siswa keluar dari ruangannya masing-masing dengan tertib sebagaimana saat latihan.
Korban bencana umumnya mengalami shock, tidak berdaya baik secara fisik atau psikis dan panik. Secara naluriah mereka berupaya menyelamatkan diri, mencari pertolongan dan mengesampingkan orang lain. Namun disaat itu juga ada naluri sosial untuk berkumpul dan berkelompok dalam mengahadapi keadaan yang rentan.
Naluri ini merupakan kunci keberhasilan menanamkan rasa kebersamaan dan bersatu pasca bencana. Dalam kondisi serba chaos akibat bencana, diperlukan seseorang yang mampu tampil menjadi koordinator sekaligus motivator disamping kemauan untuk menjadi orang yang dipimpin.
Saat ini adalah moment tepat untuk mengajarkan manajemen bencana kepada siswa. Kurikulum berbasis kompetesni (KBK) seharusnya mampu memancing kreativitas guru dalam memahami kebutuhan riil masyarakat. Ada banyak hal terkait dengan bencana yang dapat disampaikan guru kepada murid.
Tidak semua aparat lambat bekerja dan tidak semua masyarakat pasrah terhadap bencana. Hal ini ditunjukkan oleh aparat Kesbanglinmas di Magelang yang antusias mempelajari penelitian pakar geologi tentang bencana. Hebatnya lagi, dia sendiri yang menyosialisasikannya ke masyarakat. Sementara warga di lereng bukit Menoreh, Salaman Magelang sudah memiliki sistem peringatan dini terhadap bencana. Dimana saat hujan turun, seorang pemuda dengan mengendarai sepeda motor trail berteriak kepada warga untuk turun ke tempat aman. (Kompas,14/1)
Kapan guru-guru memiliki antusiasme dalam mengajar sistem peringatan dini bencana dan menikmati pekerjaannya dengan menjelaskan tanda-tanda alam? Kapan pendekatan manajemen bencana menjadi bagian dari pendidikan di sekolah? Pertanyaan tersebut bukan sekedar gugatan tetapi juga harapan.(Kompas Jateng DIY, 25/1/2006)
Eko Indarwanto,
Koordinator Komunitas Cemara Tujuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar