Translate

21 Juni 2009

Gamelan Sound of Jogja

Yogya terkesan eksotis, salah satunya karena ada gamelan, alat musik tradisional yang telah menjadi bagian dari kultur masyarakat Yogya. Setiap tahun, seminggu menjelang perayaan Garebek Maulud sampai satu hari sebelum perayaan, terdengar bunyi gamelan di sekitar alun-alun utara.
Suara itu berasal dari seperangkat gamelan milik Keraton Yogya. Yaitu gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Naga Wiloyo yang dimainkan secara bergantian oleh para abdi dalem Keraton. Mulai pukul 08.00 sampai 12.00, kemudian pukul 14.00 sampai 17.00 dan pukul 20.00 sampai pukul 24.00 di pagongan Lor dan pagongan Kidul kompleks masjid Besar.
Suara gamelan juga terdengar dari lobby hotel-hotel berbintang yang menyambut tamu-tamu dari berbagai penjuru dunia. Gema suara gamelan itu memenuhi lorong-lorong hingga dan sayup-sayup terdengar sampai di kamar-kamar tempat tamu menginap. Sehingga menciptakan atmosfir tradisional di tengah-tengah komunitas yang mengglobal.
Setiap tahun Yogya menjadi tuan rumah festival gamelan. Andaikan sanggar seni, sekolahan, kampus, kantor pemerintah atau swasta dan warga yang memiliki gamelan, memainkannya dalam waktu bersamaan. Gamelan menjadi sound of Yogya sekaligus sarana untuk mengekspresikan rasa berkesenian warga.
Gamelan menjadi media yang menunjukkan kepedulian dan semangat persaudaraan antar seniman. Sejumlah seniman seni tradisional yang menjadi korban gempa di Yogya dan Jawa Tengah, memperoleh bantuan peralatan gamelan dari Yayasan Bagong Kussudihardja dan Komite Masyarakat Perbankan. (Kompas, 23/11)
Ketika bangunan dan komunitas tradisional seperti pasar, sanggar, balai-balai seni budaya dan bangunan yang eksotis tergusur oleh mall atau perumahan karena tuntutan modernitas. Maka suara gamelan berpotensi untuk menggantikan nilai eksotisme yang hilang.
Seni tradisi berasing dengan seni populer maka gamelan harus menjadi entitas yang menciptakan suasana Yogya semakin eksotis. Untuk itu diperlukan kecintaan masyarakat pada gamelan. Tidak harus memiliki atau memainkan semua instrumen gamelan tetapi cukup satu atau dua instrumen saja.
Campursari adalah contoh kecil bagaimana memanfaatkan beberapa instrumen gamelan sekaligus menyelaraskan selera masyarakat akan musik tradisional, populer dan kontemporer.
Sinetron Losmen yang pernah di tayangkan TVRI. Baju sorjan pak Broto dan kebaya bu Broto serta mbak Pur dapat menghadirkan atmosfir Yogya. Dan sound of Yogya timbul dari suara gender atau slenthem milik pak Broto. Jika orang Yogya terbiasa memainkan gender, gambang atau saron secara solo. Maka Yogya yang modern tidak akan kehilangan nilai ekosotismenya.
Menyambut tahun baru, Pemkot dapat menampilkan musik gamelan yang diarransemen secara dinamis dan kreatif oleh para senimannya. Sehingga nuansa tahun baru kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Tidak hanya menampilkan band saja atau meniup terompet secara bersama-sama. (Kompas Jogja,20/12/2006)
Ady Pratama,(*)
Komunitas Anak Bawang

19 Juni 2009

Wusss.... Hour

Menandai hari dengan nama seperti Senin, Selasa, rabu dan seterusnya terkait dengan waktu atau terbit serta tenggelamnya matahari. Hari seperti halaman buku yang penuh dengan berbagai catatan peristiwa kehidupan.
Termasuk catatan untuk kejadian atau peristiwa yang berlangsung pagi hari. Tidak sedikit pelajar sekolah menengah pertama atau atas yang mengawali hari dengan bergaya seperti pembalap. Mengendarai kendaraannya kencang di jalan raya agar sampai di sekolah lebih awal, terburu-buru karena ingin mengejar waktu supaya tidak terlambat. Atau karena secara psikologis tertanam dalam mind set bahwa orang harus bersemangat sebab masih segar dan bugar.
Akibatnya, orang melakukan aktivitas pagi hari dengan serba terburu-buru dan serba cepat. Termasuk pelajar putra atau putri yang memacu kendarannya dengan kecepatan tinggi. Ini kerap membuat kaget, tiba-tiba ada kendaraan yang menyalib dengan kecepatan tinggi. Wusss....
Di Amerika, padatnya jalan karena dipenuhi oleh kendaraan pribadi atau umum saat jam-jam sibuk disebut rush hour. Ini terjadi pada waktu orang dalam waktu hampir bersamaan berangkat ke kantor di pagi hari atau pulang dari kantor di sore hari.
Di Jogja, traffic jam atau kemacetan terjadi di persimpangan atau perempatan pada jam sibuk, saat pelajar atau pekerja berangkat dan pulang sekolah atau kerja. Tidak sedikit diantara pengendara yang berusaha saling mendahului sehingga kerap terjadi kecelakaan.
Kecelakaan berat atau ringan kerap terjadi di pagi hari yang melibatkan pelajar karena sikap kurang hati-hati dari pengguna jalan yang ingin serba cepat sampai tujuan. Jalan bukan lagi menjadi sarana dan prasarana yang memudahkan orang mencapai suatu tempat. Tetapi menjadi arena adu cepat untuk mencapai tujuan.
Jalan menjadi tempat untuk menunjukkan keegoisan, jalan menjadi arena untuk saling memperebutkan ruang yang sempit dengan mengandalkan kecepatan atau ketrampilan dalam mengendarai kendaraan bermotor. Pengguna jalan terkesan saling bersaing, sikap untuk mengalah dan memberi kesempatan pada pengguna jalan lain semakin jarang ditemui.
Jalan-jalan di Jogja kini sibuk dan sering macet, menjadi rush hour. Seperti di Jalan Kaliurang dari selokan Mataram sampai perempatan ring road. Jalan Sudirman, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Suryotomo, jalan Godean dari depan Mirota Godean sampai perempatan Ring Road barat, Jalan Magelang, Jalan Parangtritis, Jalan Bantul, Jalan Samas dan yang lainnya.
Jackie Chan dan Chris Tucker dalam membintangi film action komedi Rush Hour sampai beberapa seri tidak pernah mengalami kecelakaan atau luka serius apalagi sampai mengorbankan nyawanya. Film Rush Hour memberikan hiburan dan gelak tawa.
Tetapi dalam wuss... hour, yang diperankan pelajar berseragam abu-abu, tidak sedikit dari mereka luka dan cidera berat bahkan sampai meninggal dunia karena kecelakaan di jalan akibat ngebut saat akan berangkat ke sekolah. Aksi itu membuahkan duka dan luka, apalagi gelak tawa.
Keberadaan polisi di persimpangan atau perempatan pada pagi hari belum meningkatkan kesadaran pelajar untuk tidak ngebut. Peran guru dalam memberikan pendidikan berlalulintas yang santun masih kurang. Orang tua tidak cukup memberi pesan atau nasehat agar berhati-hati di jalan dan tidak ngebut, saat anak minta diri, pamit atau ijin untuk berangkat sekolah. Siapa yang bertanggungjawab dengan tumbuhnya budaya wuss...hour?

P Daryono (*)
Komunitas Cemara Tujuh

Ibu Ruswo, Ibu Pawiyatan dan Ibu Kota

Menghargai orang yang berjasa atas perannya dalam perjuangan kemerdekaan tidak cukup dengan memakamnya di taman makam pahlawan atau memberi nama jalan dengan namanya.
Ibu Ruswo warga Yudonegaran pada jaman kemerdekaan mengkoordinir ibu-ibu kampung untuk menyediakan ransum makanan bagi para pejuang dan menjadikan rumahnya sebagai dapur umum. Rumah yang menghadap ke barat terletak di gang sempit paling timur di Jalan Yudonegaran atau Jalan Ibu Ruswo, menjadi saksi kegiatan ibu-ibu memasak dan datang perginya para pejuang yang makan dan mengambil ransum makanan untuk pejuang lainnya.
Lewat gang tersebut masih dapat dijumpai tulisan “ROESWO” di tembok rumah yang kini bertingkat, sedangkan rumah sisi selatan masih dibiarkan seperti semula oleh penghuninya.
Dalam buku-buku sejarah tidak banyak informasi yang menjelaskan peran ibu Ruswo, siapa ibu Ruswo dan sejarah keluarganya. Tidak banyak yang tahu siapa nama aslinya, apakah nama Ruswo itu nama suami atau nama keluarga. Apakah mempunyai keturunan atau tidak. Warga setempat mengetahui ibu Ruswo bersama ibu Moeridan, orang tua dari Fardian M Noto yang gugur dalam pertempuran di Kotabaru, aktif menggerakkan ibu-ibu di dapur umum.
Yogya bangga memiliki sosok ibu seperti ibu Ruswo, yang tanpa pamrih, welas asih memikirkan perut para pejuang.. Pejabat walikota lama pernah memiliki rencana membuat prasasti atau tetenger di rumah bekas kediaman ibu Ruswo, sayang ide itu belum terwujud karena pergantian pejabat. Beruntung masih ada tulisan Roeswo, bekas tempat tinggal ibu Ruswo, sehingga memudahkan memberi penjelasan jika ada yang menanyakan siapa ibu Ruwo dan kaitannya dengan Jalan Ibu Ruswo.
Di Yogya ada SMA Ibu Pawiyatan yang letaknya di komplek Tamansiswa. Mencari tahu siapa atau apa Ibu Pawiyatan akan dengan mudah dijelaskan oleh salah seorang pegawai museum Dewantara Kirti Griya.
Ibu Pawiyatan bukan nama seseorang atau ibu sebagai pasangan dari bapak. Ibu Pawiyatan kata yang berasal dari bahasa Jawa Kawi yang diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Ibu artinya induk dan pawiyatan berarti pengajaran, pendidikan atau sekolah. Maka Ibu Pawiyatan artinya induk atau pusat pengajaran atau pusat pendidikan.
Ada kata ibu dan beberapa kata yang bermakna serupa terpampang di ruang publik kota Yogya, masing-masing memiliki arti dan makna yang berbeda. Ibu Ruswo dan Ibu Pawiyatan ada kesamaan dalam cita-cita yaitu merdeka dari penjajah dan kebodohan walau caranya berbeda.
Namun berbeda untuk Mbok Berek, Mbok Sabar, Nyonya Suharti dan masih banyak lagi. Tetapi intinya adalah memberi penghormatan dan penghargaan pada sosok ibu. Maka Yogya jangan seperti Jakarta yang belum bisa menghormati ibu, ibukota negara RI. Dimana-mana macet, angka kriminal tinggi dan menatakota harus tedengar tangisan dan jeritan hati dari yang miskin dan kurang mampu.
Yogya jangan seperti Jakarta. (Kompas Jogja,24/12/2008)
Ady Pratama(*)
Komunitas Anak Bawang

14 Juni 2009

RT, Rukun Tetangga atau Rukun-rukunan

Rapat rukun tetangga (RT) atau pertemuan ibu-ibu yang dikemas dalam kumpulan dasawisma, PKK atau arisan di kota atau desa. Fungsinya membicarakan berbagai permasalahan, membahas berbagai ide atau gagasan sehingga lingkungan menjadi nyaman untuk ditinggali.
Pertemuan tersebut mestinya menjadi media yang membangun kerukunan antar warga. Namun tidak jarang kumpulan atau pertemuan tersebut berubah menjadi arena penghakiman bagi warga yang dinilai jarang bersosialisasi.
Rapat atau kumpulan tingkat RT, menjadi pertemuan yang kekanak-kanakan. Yang hadir tiba-tiba menjadi orang yang merasa paling benar dan berhak menyalahkan dan memberikan penilaian buruk terhadap warga yang dimaksud.
Arah pembicaraan dipenuhi dengan prasangka negatif dan tidak sehat. Akibatnya tercipta mindset bahwa menghadiri pertemuan rapat RT, kumpulan PKK, dasawisma, kegiatan gotongroyong adalah wajib dengan dasar keterpaksaan. Takut dihakimi, takut menjadi obyek pembicaraan dan takut dikucilkan oleh warga.
Ini terjadi karena kita membiarkan semangat kerukunan semu. Mementingkan kumpul-kumpul, sekedar duduk-duduk, ngobrol sana-sini, tidak terlibat nyata dalam rapat RT, kumpulan dasawisma atau kegiatan gotongroyong.
Yang penting setor muka dalam setiap kegiatan di kampung atau tingkat RT. Bukan pada kerelaan, kesahajaan dan keinginan menolong serta membangun relasi yang akrab dan rukun sesama tetangga. Tetapi sekedar rukun-rukunan
Tidak sedikit warga yang terlalu mendewakan rapat RT atau kumpulan namun tidak berusaha mengerti akan kesibukan dan kerepotan warga lain yang tidak dapat hadir oleh kesibukan pekerjaan. Ada orang yang berkerja dengan sistem upah harian. Jika tidak bekerja maka tidak mendapat upah.
Sadar atau tidak ada kumpulan RT yang terjebak dalam formalitas ubyang-ubyung, ke sana ke mari yang berkedok kerukunan atau keguyuban. Dimanjakan oleh kesamaan pendapat sehingga merasa paling benar dan menutup diri terhadap informasi, perbedaan atau sesuatu yang baru.
Semangat gotongroyong adalah semangat untuk menolong dalam kebersamaan. Semangat kumpulan adalah semangat memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Menjadi tugas semua untuk mengembalikan esensi dari semangat kumpulan, pertemuan tingkat RT atau kampung. Membangun kerukunan bukan seperti membangun gapura. Walau kerukunan dapat ditumbuhkan dengan cara membangun gapura, memperbaiki jalan kampung yang rusak atau bermain kartu saat ronda.
Kerukunan antar warga tidak dapat diukur dari kebiasaan saling memberi makanan, mengunjungi tetangga yang sakit dan mengucapkan belasungkawa saat tetangga meninggal. Atau dengan memberi sumbangan saat tetangga melangsungkan hajatan seperti pernikahan, sunatan atau kelahiran bayi.
Kerukunan sejati atau rukunan tenanan, tumbuh dari sikap yang didasari oleh ketulusan hati untuk mendengar dan memahami keunikan tetangganya. Jangan sampai keguyuban warga digerogoti oleh virus kerukunan semu. (Eko Indarwanto)

Tetangga

Pepetah mengatakan, tetangga adalah saudara terdekat. Ada kemalangan, kesusahan, kesenangan dibagi bersama dengan tetangga. Menolong tetangga yang sedang tertimpa kemalangan adalah wajib sebagai manusia sosial. Apalagi jika disertai dengan ketulusan dan keikhlasan.
Namun tidak sedikit tetangga yang menyebalkan sikapnya. Entah karena iri hati dan dengki, sulit bergaul, kurang memiliki kepatutan sosial atau karena kurang enggan dan sulit diajak belajar dari pengalaman hidup.
Repot memiliki tetangga yang selalu mengusik ketenangan rumah tangga kita. Melakukan provokasi dengan melanggar wilayah, menggeser batas tanah, memandang dengan penuh kebencian, membuang sampah di halaman rumah kita, nyindir, menyebar gosip ke tetangga lain sampai mulutnya tidak lagi gedobleh tapi ember dan banyak lagi.
Malaysia dan Australia adalah sebagian dari tetangga terdekat. Keduanya sering membuat jengkel. Demikian juga dengan tetangga sebelah rumah. Entah apa yang membuat mereka begitu benci, iri, sirik dan dengki.
Tidak salah, tidak suka dengan sikap tetangga tetapi bukan berarti tidak suka dengan manusianya. Memahami kekurangan, kesalahan tetangga itu penting sehingga jangan sampai ketidak senangan atau tidak suka sampai tertoreh di hati. Kalau sudah demikian wuuh sulit untuk memaafkan. Untuk bisa mengerti dan memahami diperlukan kebesaran hati dan kedewasaan.
Bagaimana jika tetangga itu sulit untuk dimengerti walau kita sudah mengalah dan menerima perlakuannya yang tidak bermutu? Membuat malu di depan banyak orang sepertinya bukan penyelesaian yang baik. Apalagi disampaikan dalam pertemuan warga tingkat RT. Bukankah akan membuat tetangga ini sakit hati dan kebenciannya bertambah?
Melaporkan ke polisi sesuai dengan tindakannya yang melanggar hukum. Sepertinya berlebihan tetapi mujarab untuk memberinya pelajaran. Namun rasa benci tetangga kita seperti api disiram bensin.
Kadangkala kita ingin merubah atau mengajak tetangga untuk menjadi lebih baik, bersikap dewasa, bersedaia belajar dari banyak hal. Namun itu keinginan kita belum tentu keinginannya. Ada kalanya jalan terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah meminta kepada Yang Kasih untuk membuka telinga dan mata hati tetangga kita. Bagaimanapun kita dan tetangga memiliki kesalahan.
Memang menjengkelkan ketika waktu sekian lama belum berubah tetapi bukankah itu waktu menurut kita. Karena semuanya nanti ada waktunya dan bukan hak preogatif kita untuk menentukan kapan tetangga berubah. Kita bukan pemilik waktu. Kita hanya mengarungi waktu tinggal bagaimana kita menjalaninya.
Nah, yang perlu adalah medoakan tetangga kita bisa berubah dan tidak lupa kita menjaga semangat untuk tetap memiliki harapan. Semoga

01 Juni 2009

Nguu...ung

Dinas Pariwisata Kota Yogya bekerja sama dengan Puspar dan Pustral UGM pernah mengembangkan becak wisata untuk mengangkat citra dan menjadikan becak ikon wisata serta maskot alat transpotasi kota Yogya.
Model becak ini berbeda dengan becak umumnya karena dirancang agar pengemudi tidak merasa berat saat mengayuh dan slebornya ramping. Dilengkapi tape yang siap memutar lagu-lagu tentang Yogya, seperti karya Katon Bagaskara. Becak ini ada peta wisata, pengemudinya dibekali dengan pengetahuan kepariwisataan, bahasa Inggris dan etika.
Sayang upaya ini belum nampak hasilnya. Becak di Yogya masih seperti biasa. Slebor becak cembung, bergambar hewan sepertiharimau dan elang. Atau bergambar pemandangan alam ada gunung, sawah, danau atau sungai. Dominasi warna kerangka, badan dan slebor masih merah atau putih. Ini dampak dari kebijakan waktu itu untuk membedakan becak yang beroperasi malam dan siang.
Sisa-sisa jejak kebijakan tersebut masih dapat dilihat sampai sekarang. Jika ada yang berubah pada slebor yang dimanfaatkan oleh hotel, toko buku dan perusahaan rokok untuk beriklan.
Ini menunjukkan pengusaha, hotel, toko, Pemkot dan perguruan tinggi masih berjalan sendiri-sendiri dalam menangani becak. Ada hotel dan toko buku yang puas mengorganisir pengemudi dengan memberi kaos dan menulis slebor becak dengan nama hotel, nama toko atau mewarnai slebor dengan warna khas warna logo hotel.
Ada pemilik becak yang menjadikan slebor becaknya sebagai tempat untuk mengekspresikan diri dengan menggambar lingkungan sehari-hari yang dijumpai. Seperti menggambar perempatan tugu lengkap dengan Tugu di tengah-tengahnya. Becak ini biasa mangkal di sekitar pasar Kranggan, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Mangkubumi dan Gowongan. Atau menggambari dengan kuda lumping dan tokoh-tokoh wayang karena pemiliknya menyukai seni tradisonal jathilan dan wayang kulit. Gambar-gambar itu memang tidak indah tetapi menarik.
Jika Pemkot ingin becak di Yogya lebih menarik, menjadi daya tarik wisata. Pemkot mesti mendorong pemilik becak lebih kreatif dalam menghias dan merawat becaknya.. Pemkot perlu bekerjasama dengan banyak pihak. Diam-diam menilai setiap becak kemudian memberi pengghargaan dan hadiah kepada pengemudi atau pemilik becak yang paling menarik dan unik. Ini dapat dilakukan setahun dua kali atau tiga kali.
Sehingga becak di Yogya nampak bersih, tidak kusam dan indah karena dihiasi berbagai pernak-pernik seperti rumbai-rumbai, lampu, spion atau bendera-bendera kecil yang berwarna-warni. Tidak lupa karet yang direntangkan di bawah tempat duduk supaya mengeluarkan bunyi “nguuu...ung”. Jadul, tetapi itu salah satu daya tariknya.
Becak jaman dulu dihiasi dengan bulu-bulu ayam, di bawah tempat duduk dipasang karet sehingga saat berjalan terkena angin, karet akan mengeluarkan bunyi yang mendengung. Becak di malam hari, dilengkapi dengan lampu ting di kanan kirinya.
Masih banyak yang menarik dari becak. Namun sayang, nampaknya Pemkot belum serius untuk menjadikan becak sebagai salah satu ikon wisata Yogya. Semoga ini tidak benar.
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change(Kompas Jogja, 4 Februari 2009)

Alun-alun dan Pohon Roti Bolu

Pohon besar di alun-alun dan sekitarnya memberikan makna dan arti khusus akan fungsi alun-alun yang lapang, terbuka dan sangat welcome. Alun-alun tanpa pohon besar tidak ubahnya seperti lapangan sepak bola atau lapangan upacara dengan kegiatan seremonialnya.
Alun-alun merupakan ruang terbuka, ruang kosong kota, bagian dari ruang publik yang dapat dimanfaatkan untuk melepaskan berbagai tekanan hidup masyarakat. Dengan konsep ebagai ruang kosong, di alun-alun tidak diperbolehkan berdiri bangunan permanen kecuali pohon besar, seperti pohon beringin.
Saat ini alun-alun selatan dan utara Yogya mengalami gradasi makna karena tidak nyaman untuk melepas kepenatan dan katarsis hidup. Kawasan alun-alun cenderung panas, kumuh dan tidak tertata. Pohon-pohon besar di alun-alun yang diharapkan mampu memberikan kesejukan, rindang sekaligus menjadi tempat berteduh dan kesempatan kepada mata untuk memandang jauh dan bebas.
Saat ini, pohon besar di tengah alun-alun tidak ubahnya seperti roti bolu raksasa berwarna hijau. Pohon beringin di alun-alun Utara dipangkas rapi dan melingkar sehingga menyerupai roti bolu. Tidak enak dilihat, tidak natural sebagaimana layaknya pohon beringin. Dahan dan daunnya tumbuh melebar seperti payung dengan akar serabut yang menggelantung disana-sini.
Di alun-alun selatan lebih parah lagi. Hanya ada lima pohon beringin. Dua pohon terletak di tengah yang biasa di pakai untuk lomba masuk diantara dua beringin atau masangin. Dua lagi, di sebelah selatan menuju ke plengkung dan satu pohon berada di depan kandang gajah. Sementara di pinggirnya ditempatkan sejumlah pot dengan tanaman palem yang mengelilingi alun-alun. Hal ini semakin menegaskan ketidak jelasan akan penataan kawasan alun-alun. Masih beruntung, di seberang jalannya ditanami pohon tanjung (Mimusops eleng) yang banyak dimanfaatkan oleh pedagang klithikan untuk menggelar dagangannya karena cukup memberi keteduhan.
Pohon tanjung jenis tanaman keras yang tahan hidup puluhan tahun. Di depan istana Puro Pakualaman banyak ditumbuhi pohon tanjung yang menciptakan kesejukan dan kerindangan. Kehadirannya mampu menciptakan keteduhan melengkapi kehadiran tiga pohon beringin besar.
Di alun-alun utara ada sekitar 30 pohon beringin, sebagai kawasan publik yang sering dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat, sudah saatnya pemerintah melakukan pemeliharaan dan perawatan serius terhadap pohon-pohon beringin tersebut. Lucu, jika Yogya yang terkenal sebagai gudangnya para ilmuwan tidak mampu memelihara pohon-pohon beringin di tengah kota yang memberikan dampak positif bagi kota.
Semestinya pemerintah dapat melakukan pendataan dan pengarsipan, usia, ciri-ciri setiap pohon, lokasi, jarak antar pohon dan ketinggian sampai kesehatan setiap pohon. Pendataan dan informasi yang lengkap satu per satu pohon memberikan manfaat dalam upaya menciptakan tata ruang sekitar alun-alun yang rindang dan nyaman.
Upaya regenerasi pohon dan pemangkasan dahan atau pohon diperlukan untuk menjaga keamanan bangunan di sekitar pohon dan keselamatan warga dari ambruk atau robohnya pohon-pohon tua. Untuk itu diperlukan pola pemotongan, pemangkasan dan penanaman yang terencana sehingga tidak terjadi ketimpangan yang mencolok di alun-alun utara dimana sisi timur rindang sementara sisi barat kelihatan gersang.
Saatnya Keraton dan Puro Pakualaman mendorong pemerintah dan masyarakat untuk menanam tanaman keras, yang mampu menciptakan kerindangan dan keteduhan. Dimana, daun-daun pohon menciptakan keteduhan sehingga burung betah bersarang, dan akar-akar pohonnya mampu mengikat air sehingga krisis air bersih di Yogya dapat terhindarkan.
Saatnya pemerintah, pengelola hotel, dan kantor-kantor swasta menanam pohon karena fungsi. Menghindari kebiasaan menanam pohon hanya demi gengsi dan citra estetis.
Menanam pohon hias seperti pohon palem bukan sesuatu yang salah. Namum patut dipertanyakan kembali fungsi dari penanaman pohon-pohon palem di sepanjang jalan, seperti Jalan Magelang dari perempatan Jomber ke selatan.
Jika hanya ingin mencitrakan kota yang bersetetika tetapi melupakan kondisi kota di negara tropis. Tak aneh jika selama ini kita sering mendapat senyum sinis karena memakai jaket tebal dalam cuaca yang terik dan panas.

Eko Indarwanto(Kompas Jogja, 29 Desember 2004)

Mati ala Yuliet dan Romeo

Kisah Romeo dan Yuliet drama cinta yang menempatkan kematian sebagai sebuah permainan sekaligus tragedi. Shakespeare menyampaikan pesan tersembunyi tentang kematian, jangan sekali-kali mempermainkan kematian jika tidak ingin dipermainkan oleh kematian itu sendiri.
Kematian sesuatu yang tidak dapat ditawar, kematian sebuah keharusan yang tidak terbantahkan, das sein. Sejatinya kematian bukan tragedi walau selalu membawa kesedihan bagi orang-orang yang ditinggalkannya. Kematian menjadi tragedi jika cara atau jalan kematian itu tidak lepas dengan hal-hal yang memilukan. Seperti karena kecelakaan, korban kejahatan, gagal menyelamatkan diri dalam sebuah bencana seperti kebakaran, banjir, tanah longsor dan sebagainya.
Kematian mestinya tidak disangkutkan dengan maut karena ada orang yang dengan bulat hati menghadapi kematian. Kematian merupakan proses yang harus dialami setiap orang dengan cara yang beraneka macam. Dari sakit, kecelakaan, korban perang, hukuman mati sampai usia lanjut. Kematian sesuatu yang pasti dan tidak terbantahkan. Kapan, dimana dan bagaimana kematian itu datang tetap menjadi misteri yang sulit ditemukan jawabannya. Hanya Maha Penyayang yang mengetahui kunci dari misteri tersebut.
Yuliet mempermainkan kematian dengan pura-pura mati. Skenario itu nyaris sempurna untuk melapangkan jalan kisah percintaannya dengan Romeo. Dengan minum racun Yuliet akan terlihat mati sebagaimana umumnya orang yang meninggal. Racun yang diminum Yuliet berkualitas, dengan takaran yang tepat maka dalam jangka waktu tertentu Yuliet akan hidup kembali.
Atas nama cinta strategi ini cukup heroik dan melankolis. Namun Yuliet kurang memperhitungkan bahwa rencananya yang harus diketahui Romeo, ternyata tidak pernah sampai ke telinga Romeo. Melihat Yuliet mati setelah minum racun, Romeo kehilangan asa sehingga kesedihan memuncak. Kematian Yuliet akhir dari segalanya, hidup menjadi hampa, cita-cita dan harapan dalam mengarungi kehidupan bersama Yuliet pupus. Romeo merasa tidak ada lagi yang diperjuangkan, hidup tidak lagi memiliki tantangan. Kematian adalah satu-satunya hiburan untuk bertemu lagi dengan Yuliet.
Romeo minum sisa racun milik Yuliet. Tanpa takaran Romeo langsung menegak racun hingga akhirnya kematian yang sesungguhnya menjemput. Ketika Yuliet sadar dari kematian semu dan mengetahui Romeo meninggal akibat minum racun yang sama. Yuliet kembali bunuh diri dan kali ini Yuliet tidak pernah bangun lagi. Disinilah kemenangan kematian, tidak ada adegan ulang untuk memperbaiki kesalahan.
Kematian adalah tragedi, babak yang memilukan, menyeret berbagai penyesalan. Dan kematian meledek Yuliet karena telah berani mempermainkannya. Sumiasih dan Sugeng seperti Yuliet yang menghadapi ledekan dari kematian dengan cara ditembak akibat ulahnya sendiri.
Membunuh keluarga Kolonel Purwanto yang kemudian direkayasa seolah-olah sebagai kecelakaan adalah permainan terhadap kematian untuk menyelesaiakan persoalan hutang piutang. Pada akhirnya Sumiasih dan Sugeng menjadi orang terakhir yang harus dipermainkan oleh kematian.
Hampir dua puluh tahun mereka dipermainkan oleh kematian, selama itu belum ada kejelasan kapan dan dimana kematian akan menyapanya. Hingga akhirnya sabtu dini hari (19/7), mereka berdua bertemu dengan kematian.
Perbuatan sadis dan kejam yang dilakukan Sumiasih dan Sugeng, Astini yang memotong-motong korbannya setelah ditagih hutangnya. Adalah cermin dari kemarahan pelaku terhadap situasi sosial. Mereka marah karena merasa kalah dengan keadaan yang membuat mereka terhimpit hutang.
Tidak jauh beda dengan dukun santet Usep di Banten yang memainkan delapan korbannya sebagai permainan kematian. Membunuh bagaikan candu, hingga akhirnya aparat kepolisian berhasil membongkar kasus tersebut dan kemudian Usep dieksekusi mati belum lama ini.
Robot Gedek pelaku sodomi terhadap anak-anak, yang korbannya dipotong-potong. Kematian seperti ritual yang menimbulkan kesenangan. Nasib Robot Gedek sedikit lebih beruntung, kematian berbaik hati dengan tidak menyebarkan rasa penasaran kapan dan dimana kematian akan menjemputnya. Kedatangan kematian yang menjemput nyawa Robot gedek bukan dari peluru senjata eksekutor tetapi karena sakit.
Beda lagi dengan Ahmad Suradji alias Datuk atau yang lebih dikenal dengan julukan dukun AS, dalam kasus pembunuhan 42 wanita antara tahun 1984-1994 di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Dukun ini tidak hanya mempermainkan kematian dengan cara membunuhi wanita. Kematian menjanjikan ilmu kesaktian hingga akhirnya dirinya menjadi budak kematian. Selamanya kematian tidak tulus memberi ilmu kesaktian. Kesetiaan kematiaan pada tuntutan akan permintaan nyawa, kali ini yang diminta nyawanya sendiri dalam sebuah esekusi mati.
Masih ada beberapa orang yang menunggu eksekusi mati akibat mempermainkan atau bercanda dengan kematian seperti para pelaku bom Bali. Beberapa pelaku penyelundupan narkoba nasibnya tidak jauh berada yang mendapat vonis mati dan tinggal menunggu eksekusi. Mereka adalah Yuliet-Yuliet masa kini yang bermain-main dengan “racun” kematian.
Kematian ala Yuliet adalah kematian akibat mempermainkan kematian itu sendiri. Yang disertai dengan penyesalan, kesedihan dan kepedihan. Sementara kematian ala Romeo adalah korban permainan kematian walau dilandasi atas nama pengorbanan, ideologi dan kebenaran atas nama “cinta”.
Terpidana mati kasus bom Bali, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron alias Muklas adalah Romeo-Romeo masa kini. Dengan tangannya mereka menjadi korban kematian dengan mengorbankan orang-orang yang ada di Bali, Marriot dan depan kantor Kedutaan Australi. Mereka merasa menjadi Romeo, yang menjemput kematian karena nilai atau ideologi yang diyakini itu benar dan mulia.
Perdebatan akan terus berlangsung seputar pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku tindak kejahatan. Cina menuai kritikan dari masyarakat internasional terkait dengan seringnya diberlakukan hukuman mati terhadap para pelaku kejahatan. Baik kejahatan kriminal, korupsi atau terhadap lawan politik.
Dan perdebatan masih akan terus berlanjut selama manusia masih gemar memainkan kematian layaknya Yuliet. Siapa yang akan menjadi korban dan dikorbankan oleh kematian? Yang jelas bukan hanya Yuliet dan Romeo tetapi kehidupan.

Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change ( Kompas Jateng DIY, 2 Agustus 2008)

Secodiningratan, Dr. Yap dan Kwee Tjoen An

Jalan Senopati dari depan kantor pos besar sampai perempatan Gondomanan, dahulu bernama Jalan Secodiningratan. Nama itu wujud penghargaan kepada seorang warga Tionghoa, Tan Jie Sing yang menjadi abdidalem Kraton Yogya semasa pemerintahan Sultan HB II dan III.
Gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secadiningrat diberikan kepada Tan Jie Sing atas jasa dan ketrampilannya dalam menguasai empat bahasa sehingga kerap mendapat tugas sebagai juru bahasa Kraton.
Kraton sudah memberikan teladan bagaimana menghargai jasa seseorang. Sayang Pemda Yogya tidak belajar dari hal itu dengan mengganti nama Jalan Secodiningratan dengan jalan Penembahan Senopati. Tidak jelas apa alasannya, kemungkinan terkait dengan politik asimilasi yang diberlakukan pemerintahan Orde Baru, yang mewajibkan masyarakat keturunan Tionghoa mengganti namanya dengan nama Indonesia. Dan Jalan Secodiningratan terkena imbasnya.
Sebuah kota terasa ramah dan memiliki keunikan jika pemerintah dan masyarakat dapat mengelola dengan baik berbagai perbedaan yang ada. Kraton sudah meletakkan fondasi bagi Yogya sebagai kota yang berbudaya lewat pemberian gelar KRT kepada Tan Jie Sing.
Andai Pemda Yogya waktu itu mengganti nama Jalan Secodiningratan dengan Jalan Tan Jie Sing. Yogya akan menjadi satusatunya kota yang meletakkan pondasi kuat pada warganya akan pentingnya menghargai setiap perbedaan.
Keberadaan rumah sakit mata Dr. Yap di Jalan Cik Di Tiro, akan semakin menegaskan bahwa Yogya sebagai satu-satunya kota yang dapat mengimplementasikan nilai kebhinekaan dalam keseharian masyarakatnya.
Rumah sakit mata Dr. Yap didirikan oleh Dr. Yap Hong Tjoen tahun 1922. Rumah sakit itu kemudian diwariskan ke anaknya, Dr. Yap Kie Tiong. Selanjutnya Yap Kie Tiong dalam surat wasiatnya, yang salah satunya ditujukan pada Paku Alam VIII menyebutkan, terkait dengan keberlangsungan Rumah Sakit Mata Dr. Yap supaya diambil alih guna kepentingan masyarakat.
Yogya menjadi kota yang berbudaya karena tidak mudah mereduksi setiap perbedaan. Membangun kota yang berbudaya tidak terletak pada berapa banyak karya seniman yang dipamerkan dan seberapa sering pertunjukan seni digelar atau ditayangkan di televisi. Tetapi pada bagaimana pemerintah dan masyarakat memaknai setiap perbedaan sebagai oase budaya yang akan memperkaya citra sebuah kota.
Kwee Tjoen An tidak sembarangan mereduksi perbedaan yang ada dalam dirinya. Kecintaannya pada seni tari, tidak membuat pria ini jengah dengan peran perempuan dalam membawakan tariannya karena yang dilakukan bukan sekedar tuntutan skenario, biar beda atau mencari popularitas.
Di akte kelahirannya, terlahir Kwee Tjoen Lian dari pasangan Kwee Yoe Tiang dan Suminah. Karena sering sakit-sakitan namanya diganti menjadi Kwee Tjoen An. (Herry Gendut Janarto, 2005). Tjoen An ikut menjaga ruh budaya kota Yogya dengan tariannya yang lucu. Dan kita mengenalnya sebagai Didik Nini Thowok.
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change (Kompas Jogja, 21 Mei 2008)

Malioberen

Awalnya Malioboro seperti jalan-jalan lain pada umumnya, keberadaan pertokoan di kanan kirin jalan seperti melengkapi daya tarik sebuah kota. Namun Malioboro menjadi lain dan mendatangkan kerinduan untuk dikunjungi karena atmosfirnya yang khas berbeda dengan kawasan sejenis di kota-kota lain.
Budaya dan keseharian orang Yogya diyakini menjadikan Malioboro berbeda. Keramahan, sikap santun dan selalu bersahaja dari masyarakat Yogya adalah sebagaian dari daya tariknya.
Dijaman revolusi fisik dimana bangsa ini sedang sigap-sigapnya mempertahankan kemerdekaan, Bung Tomo ketika di Yogya selalu menyempatkan diri untuk malioberen. Malioberen istilah untuk jalan-jalan di Malioboro, nonton bisokop yang filmnya itu-itu saja, mendengar lagu perjuangan yang sering dikumandangkan, atau mendengar ulasan Pak Besut di radio. (Daoed Joesoef, 2006)
Banyak pihak yang prihatin dengan kondisi Malioboro yang mengalami gradasi makna dan suasana. Malioboro menjadi kurang menarik jika disebut sebagai kawasan pedestrian karena ruang untuk pejalan kaki semakin terabaikan dan harus bersaing dengan kendaraan yang lewat atau yang diparkir. Belum lagi becak dan andong yang tidak mau mengalah pada para pejalan kaki.
Atamosfir Malioboro kini cenderung sama dengan kawasan pertokoan di kota-kota lain. Serba konsumtif, penuh dengan tawaran, sumpek, kotor dan serba terburu-buru. Keramahan dan senyum pedagang kaki lima semakin jarang dijumpai. Jarang ada percakapan dengan pembeli seperti tempo doeloe, walau sekedar basa-basi tetapi meninggalkan kesan.
Atmosfir Malioboro didominasi dengan perdagangan. Dipaksakan menjadi obyek wisata belanja, tidak menghiraukan nafas kehidupan lingkungan yang lekat dengan simbol budaya dengan keberadaan Kraton di salah satu ujungnya. Melupakan simbol kesederhanaan dari wajah penjual gudeg, pengemudi becak dan sais delman atau kereta kuda. Dan memarginalkan arti proses bagi seniman dan pelajar yang tinggal di Yogya.
Malioboro bukan lagi tempat favorit untuk mengumbar ide atau gagasan dalam sebuah diskusi kecil sesama mahasiswa atau seniman. Malioboro kurang menarik menjadi panggung atau kanvas untuk mengeekspresikan rasa berkesenian.
Sudah waktunya pemkot lebih menghidupkan suasana berkesenian di malam hari, supaya Malioboro menjadi eksotis dan menarik untuk dikunjungi. Dengan memberi kesempatan kepada seniman untuk melukis pintu, rolling door yang menutup toko dan etalase di sepanjang Malioboro.
Malioboro mulai lenggang dan sepi manakala toko-toko tutup. Saat itulah suasana malam Malioboro dibangunkan dengan kunjungan wisatawan yang menikmati puluhan lukisan mural sambil berjalan kaki. Acara makan sambil lesehan akan menjadi lebih memorable saat diabadikan dalam kamera dengan latar belakang lukisan mural seniman Yogya.
Malioboro tidak lepas dari perjalanan hidup seniman seperti Ebiat G Ade, WS Rendra, Emha dan yang lainnya. Apakah Malioboro akan menjadi kanvas dan panggung bagi para seniman yang dapat menghidupkan malioberen sebagai trend baru wisata malam di Yogya, yang mendampingi lesehan dan pengamen?
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change (Kompas Jogja 2 April 2008)

Bastion Benteng

Sebuah kota menjadi menarik dan eksotis jika kepala daerahnya memiliki kebijakan yang kompromis dalam melestarikan bangunan-bangunan kuno yang unik dan antik. Tetapi tidak mentabukan kehadiran bangunan-bangunan baru yang dilengkapi dengan berbagai prasarana dan sarana modern.
Langkah itu belum cukup jika pada akhirnya kebijakan berhenti pada tataran yuridis formal. Puas dengan memasang papan pengumuman bahwa sebuah bangunan telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh undang-undang. Seperti tiga papan yang terpasang di tiga pojok Benteng Kraton.
Sayangnya hanya papan pengumuman di Jokteng Wetan yang jelas terbaca , yang menyebutkan Benteng Kraton sebagai cagar budaya disertai dengan berbagai larangan dan ancaman sanksi denda atau pidana bagi mereka yang melanggar undang-undang. Dua papan lainnya yang terletak di Jokteng Kulon dan Jokteng Ngabean tidak dapat dibaca karena tulisannya mengelupas.
Mestinya masih ada satu lagi pojok beteng yang letaknya di sekitar Gondomanan, tepatnya ditikungan antara Jl. Ibu Ruswo dan Jl. Brigjen Katamso. Sayangnya benteng itu sudah hancur. Hanya sisa reruntuhan yang dapat ditemui, di gang sempit yang menghubungkan tikungan tersebut dengan Jl. Kenekan.
Bekas reruntuhan benteng itu dipagari besi dengan ukuran sekitar satu kali satu meter persegi, lengkap dengan prasasti yang menjelaskan sedikit sejarah reruntuhan tersebut. Reruntuhan ini adalah sisa Bastion Benteng Kraton Ngayogyakarta, hancur diserang tentara Inggris tahun 1812 pada masa pemerintahan Sultan HB II. Peritiwa tersebut dikenal sebutan Geger Sepoy atau Geger Spei. Reruntuhan itu dipugar 10 November 2000.
Pemerintah menyadari pentingnya nilai historis sebuah perjuangan dan terbentuknya bangsa dan negara ini dengan merenovasi reruntuhan benteng Kraton. Bangunan itu sebenarnya kurang menarik karena letaknya yang berhimpitan dengan dinding rumah penduduk dan tepat dipinggir gang yang sempit.
Jika ada tiga orang berdiri di depan reruntuhan itu, sudah pasti akan menggangu orang yang lewat. Tetapi itu bukan hambatan untuk membangkitkan dan menumbuhkan nilai nasionalisme serta semakin mengukuhkan Yogya sebagai daerah tujuan wisata sejarah dan budaya.
Jokteng akan lebih menarik andaikan ada prajurit yang berjaga di atas benteng lengkap dengan senjata dan pakaian prajurit Kraton jaman dahulu. Andaikan ide ini dilaksanakan antar warga Kadipaten, Nagan, Patehan, Langenarjan, Siliran dan kerjasama dengan Kraton serta Pemkot. Tidak tertutup kemungkinan benteng Kraton akan menjadi obyek wisata yang unik dan menarik. Dan tidak hanya menjadi obyek tirakatan dengan ritual mubeng benteng setiap malam satu Suro.
Sehingga nasibnya tidak merana seperti joteng Ngabean yang sebagian didingnya menghitam terkena jamur dan entah kapan mendapat perhatian setelah sebagian rusak akibat gempa.
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change (Kompas Jogja, 12 Desember 2007)

Gapura Trendi

Gapura bukan semata-mata bangunan fisik yang diartikan sebagai pintu gerbang, tanda bataskota, kabupaten, desa atau kampung. Menurut tradisi, gapura merupakan wujud ungkapan selamat datang yang familiar, semanak, welcome. Gapura mewakili keramahan dan rasa hormat tuan rumah kepada setiap orang atau tamu yang datang.
Umumnya gapura menjadi bangunan untuk memperingati Hari Kemerdekaan. Gapura telah menjadi simbol gotong royong, keakraban dan kebersamaan warga masyarakat. Yang menumbuhkan kerinduan setiap tahunnya khususnya menjelang peringatan Hari Kemerdekaan.
Dengan membangun atau mempercantik gapura, nilai-nilai kebersamaan dan semangat gotong royong seolah diperbaharui dalam hati setiap warga. Kegiatan menghias, membuat atau membangun gapura menjadi lebih menarik ketika pihak-pihak swasta ikut terlibat dengan cara mengadakan lomba mempercantik gapura.
Hadiah yang dijanjikan pihak swasta atau sponsor bukan menjadi tujuan utama. Semangat kebersamaan membangun atau mempercantik gapura terasa lebih menonjol. Kalah menang bukan tujuan namun ambisi untuk menjadikan gapuranya paling baik tetap ada karena keinginan untuk “pesta” bersama-sama usai memenangkan lomba.
Konsekuensinya, gapura-gapura akan lebih berwarna warni sesuai “pesanan” dari pihak sponsor yang mendanai dan menyelenggarakan lomba tersebut. Maka tidak perlu kaget jika pada akhirnya gapura-gapura tidak lagi mencantumkan tulisan Selamat Datang dan Selamat Jalan. Tidak terlihat lagi gambar pejuang dengan senjata bambu runcing di setiap gapura lengkap dengan angka 7, 8 dan 45.
Tidak tertutup kemungkinan semakin jarang dijumpai gapura berwarna merah dan putih dengan tulisan “Merdeka” karena diganti oleh gapura yang berwarna-warni dan trendi, lengkap dengan kalimat atau tag line sebuah produk barang atau jasa dari perusahaan yang mensponsori atau mendanai penyelenggara lomba menghias gapura.
Itu semua tidak salah, menjaga dan mengenang semangat kepahlawanan atau perjuangan tidak sebatas menggambar pejuang atau menuliskan kata “Merdeka ataoe Mati” di gapura.
Untuk menghormati mereka perlu tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya memerangi kemiskinan dengan membuka dan memeberi kesempatan usaha seluas-luasnya bagi rakyat kecil. Memerangi kebodohan dengan mengembangkan budaya membaca di kampung-kampung. Termasuk memerangi perilaku yang tidak sehat dengan menjaga kebersihan di lingkungannya serta menengakkan sikap disiplin di rumah atau di tempat-tempat umum.
Arti dan fungsi gapura semakin berkembang. Gapura dapat menjadi sarana ekspresi dan kreativitas kepedulian masyarakat terhadap berbagai persoalan seperti masalah kesehatan dengan menulis “Nyamuk Dilarang Masuk” di gapura kampung. Sebagai bentuk komitmen warga melawan penyakit demam berdarah.
Orang Yogya terkenal kreatif, pasti dapat membangun atau menghias gapura-gapura yang membuat orang tersenyum dan menyadarkan mereka untuk berperilaku lebih baik dalam pergaulan sosial. Merdeka. Eh, Semoga.
Eko Indarwanto (Kompas Jogja, 8 Agustus 2007)

Kota yang Rindang dan Kepala Daerah Terpilih

Jalan Sudirman dari depan Bathesda sampai pertigaan Terban, jalan Suroto, jalan Gayam dan jalan Senopati adalah sedikit jalan di Kota Yogya yang masih menawarkan keteduhan bagi warga Yogya dengan pohon-pohon yang rindang.
Tumbuhnya pohon-pohon jelas tidak begitu saja ada. Tetapi nampak terencana oleh kebijakan kepala daerah yang menyadari pentingnya kualitas lingkungan. Yang jelas bukan oleh kepala daerah yang menjabat dalam kurun dua puluh tahun terakhir. Yang memiliki kepedulian untuk mendukung kualitas lingkungan kota supaya berkualitas.
Jalan jalan tersebut nampak belum “disentuh” oleh kebijakan ekonomis yang gemar mengganti pohon-pohon dengan tiang-tiang besar dan tinggi untuk menopang papan reklame.
Kota berasal dari bahasa Sanskerta, kotta atau kita yang berarti kubu atau perbentengan. Di jaman dulu, kota dibentengi oleh pepohonan yang rindang dan tinggi. Benteng hidup ini berfungsi untuk menjaga kelestarian lingkungan, menjaga cadangan air dan udara bersih bagi penduduknya serta sebagai sarana untuk mengantisipasi perubahan cuaca yang ekstrim seperti kemarau atau musim hujan yang berkepanjangan dan adanya bencana lain seperti angin ribut atau badai.
Kondisi seperti itu saat ini masih banyak ditemui di desa-desa dimana pemukiman penduduknya dicirikan oleh keberadaan pohon-pohon yang tinggi dan rindang seperti pohon kelapa dan bambu. Sementara sawah atau ladang terhampar luas mengelilingi pemukiman mereka.
Beda dengan kondisi kota-kota besar termasuk Yogya. Kota lebih banyak dibentengi oleh papan reklame dan simbol-simbol pembangunan seperti tugu atau gapura. Saat memasuki kota, jarang ada sambutan dari rindangnya pepohonan yang ada di kiri kanan jalan. Tetapi disambut oleh beraneka ragam papan atau spanduk reklame.
Pejabat walikota Yogya telah silih berganti. Namun keteduhan di jalan Suroto, jalan Gayam oleh pohon tanjung dan rindangnya pohon kenari (Canarium amboinense) di depan Balai Yasa jalan Kusbini serta pohon angsana (Pterocarpus indicus) di jalan Senopati. Atau asrinya jalan Sudirman dari depan Bathesda sampai pertigaan Terban. Ternyata belum mampu menggugah kemauan politik para kepala daerah yang pernah memimpin Yogya untuk menjadikan Kota Yogya lebih rindang.
Adakah kepala daerah kota Yogya yang terpilih berani membuat keputusan dan kebijakan untuk menjadikan Yogya rindang. Dengan melakukan penataan kembali tiang listrik, telpon, papan-papan reklame yang ada di tepi jalan. Tidak khawatir adanya penurunan anggaran pendapatan daerah dan takut mendapat kritikan dari sebagian atau sekelompok orang yang terganggu kepentingannya, demi menciptakan kota Yogya dengan lingkungan yang berkualitas.
Ketika kualitas lingkungan kota mengalami degradasi, upaya mengembalikannya tidak cukup dengan meneyelenggarakan lomba melukis atau menulis dengan tema lingkungan. Menanam ribuan bibit pohon dan berkampanye tentang lingkungan secara seremonial. Walikota terpilih mesti tegas dan arif dalam mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian dan peningkatan kualitas lingkungan kota Yogya. Warga Yogya menunggu.
Eko Indarwanto, (Kompas Jogja, 6 Desember 2006)

Lempuyangan Potret Buram Ketidakpedulian

Dipindahkannya aktivitas keberangkatan dan kedatangan penumpang kereta kelas ekonomi dari stasiun Tugu ke stasiun Lempuyangan tahun 1990an telah membawa dampak perubahan sosial baru di sekitar kawasan stasiun Lempuyangan.
Perubahan yang cukup cepat ini, jika tidak segera diantisipasi dan dipikirkan secara cermat akan menimbulkan persoalan klasik sebagaiman sering ditemui di kota besar. Yaitu, praktek gusur-menggusur dengan alasan demi ketertiban, keindahan bahkan tidak jarang ditambahi dengan kata sakti “supaya lebih manusiawi”. Yang hanya akan menandatangkan tangis dan pilu di satu sisi. Dan pamer kekuasaan, kecongkakan serta kesombongan di sisi yang lainnya.
Masyarakat sekitar stasiun Lempuyangan sangat responsif dengan perubahan. Mereka menangkap adanya peluang serta kebutuhan akibat dari pemindahan aktivitas keberangkatan dan kedatangan penumpang di Lempuyangan. Sebagaimana awal proses tumbuhnya pedagang kaki lima dimulai dengan berdirinya satu kios kecil penjual rokok atau gorengan yang buka pada jam-jam tertentu. Berkembang menjadi warung-warung dengan beraneka sajian yang jumlahnya semakin banyak, tidak teratur ukuran dan penggunaan atau pemanfaatan tempat. Bahkan ada yang buka 24 atau buka bergantian dari warung atau kios yang satu dengan yang lainnya.
Lempuyangan telah menjadi potret buram akan ketidak pedulian pemkot, Daop VI, kepala stasiun Lempuyangan dan masyarakat setempat. Adalah tugas Pemkot untuk mengantisipasi dan mengatur setiap perkembangan sisi-sisi kotanya termasuk perkembangan dan perubahan di kawasan stasiun Lempuyangan. Daop VI dan kepala stasiun Lempuyangan tidak dapat mengelak tanggungjawab akan adanya dampak sosial dari kebijakan perubahan keberangkatan dan kedatangan penumpang. Mereka tidak dapat beralasan tugas dan wewenangnya hanya mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perkereta apian, kemudian melimpahkan persolan PKL ke pihak Pemkot.
Manajemen kepimpinan yang kritis dan kreatif memiliki kepedulian, kepekaan serta bersifat visioner dalam menangkap setiap perubahan di lingkungannya. Pemimpin yang baik tidak berpikir dan bersikap sektoral tetapi lintas sektoral.
Masyarakat sekitar stasiun Lempuyangan mestinya tidak hanya bepikir ekonomis yang hanya memikirkan keuntungan lewat kegiatan membuka usaha PKL yang menghabiskan trotoar dan mengancam kelangsungan hidup pohon. Atau membuka jasa parkir di rumah dinas atau jasa ojek. Tanpa memperhatikan kenyamanan dan keseimbangan daya dukung lingkungan atau kawasan Lempuyangan yang sempit.
Pemerintah terbiasa melakukan reaksi bukan aksi. Pemerintah terbiasa bereaksi setiap ada aksi spontan dan responsif dari masyarakat, yang berupa memberdayakan diri seperti dalam bidang ekonomi dengan menjadi PKL atau membuka jasa-jasa pelayanan lainnya.
Pemerintah lamban dalam melakukan aksi. Baik dalam perencanaan, sosialisasi atau eksekusi. Pembangunan pembatas seperti di tengah jalan Diponegoro, Magelang, dan jalan Tentara Pelajar merupakan bukti lemahnya perencanaan pengembangan dan pembangunan tata kota.
Sekaligus bukti lemahnya sosialisasi fungsi marka jalan dan eksekusi terhadap pelanggar hukum. Ketika permasalahan sudah menjadi sangat kompleks dan rumit seperti benang kusut. Pemerintah selalu menggunakan kebijakan main pangkas yang tidak memecahkan persoalan tetapi malahan menimbulkan persoalan baru.
Kawasan Lempuyangan adalah kawasan bom waktu yang akan memunculkan konflik sosial antara Pemkot, Daop VI, Kepala Stasiun Lempuyangan dan masyarakat. Kawasan Lempuyangan tengah berubah menjadi kawasan yang menyimpan konflik. Apakah Pemkot, Daop VI, Kepala Stasiun Lempuyangan dan masyarakat mampu menyelesaikannya secara baik-baik?
Lempuyangan telah mengikat berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ekonomis yang sangat diharapkan oleh tukang ojek, PKL, tukang parkir, dan sopir-sopir taksi. Belum terlambat untuk melakukan aksi manusiawi dalam menata kawasan Lempuyangan dengan melakukan dialog khas Yogya yang saling bertatap muka, saling mendengar dan saling memahami. Jauh dari rekayasa, yang penuh dengan istilah “katanya”. Katanya sudah ada dialog. Katanya sudah ada himbauan. Katanya sudah diberi ganti rugi. Dan katanya sudah di beri tenggang waktu.


Eko Indarwanto (Kompas Jogja, 29 September 2004)

Pasar Ngasem, Bagian dari Eksotisme Jogja

Penataan sebuah kawasan seperti Pasar Ngasem mengapa selalu dibumbui dengan kata-kata manis, ndakik-ndakik dan utopis. Ide atau gagasan penataan kawasan datangnya selalu tiba-tiba bagaikan bintang jatuh, kemudian baru dicarikan alasan dan latar belakang perlunya tindakan penataan.
Kebijakan penataan layaknya seperti pekerjaan kerajinan tangan yang menggabungkan potongan-potongan kain untuk dijadikan lembaran yang utuh atau patchwork. Mengumpulkan potongan-potongan permasalahan untuk kemudian membuat permasalahan baru. Bukannya menerapkan kebijakan yang berpijak pada upaya memenuhi kepentingan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat tetapi lebih pada upaya memamerkan prestasi kerja instansi atau pemerintah.
Penataan pasar Ngasem bertujuan untuk memulihkan dan melindungi kawasan wisata pasar ngasem sebagai kawasan budaya Keraton Yogyakarta. Simbol sejarah budaya yang dimiliki pasar Ngasem adanya situs Pulau Kenanga atau Pulau Cemethi yang terletak di selatan pasar. (Kompas,4/6)
Kita sepakat bahwa simbol dan peninggalan budaya memang harus dijaga dan dipelihara sebagai bagian dari aktivitas reflektif manusia lewat bangunan bersejarah seperti Kraton, Benteng Vredeburg, Taman Sari, candi-candi dan situs-situs sejarah lainnya. Termasuk situs Pulau Kenanga yang dibangun pada tahun 1765. Kita sependapat, penataan itu untuk melindungi kawasan Ngasem sebagai kawasan budaya Keraton.
Tetapi penataan itu menjadi absurd dan kehilangan nilai budayanya jika pada akhirnya Ngasem menjadi pasar budaya dan wisata. Tidak ada bedanya antara pasar Ngasem baru dan pasar Ngasem lama. Tidak ada perbedaan esensial dalam menyikapi sebuah penataan dengan mendengungkan pasar yang memiliki nilai budaya tinggi.
Keduanya memiliki tujuan ekonomis. Pasar Ngasem lama dipenuhi aktivitas ekonomi corak pasar tradisonal yang kumuh, tidak tertata, bau dan macet. Sementara pasar Ngasem baru juga melibatkan kegiatan ekonomi sebagai pasar wisata dan budaya. Bedanya, pasar Ngasem saat ini adalah gambaran ketahanan ekonomi rakyat bukan ekonomi kapitalis. Yang mampu bertahan dengan kesederhanaan dan ketradisionalannya. Apakah pasar Ngasem baru sebagai pasar budaya dan wisata dapat membuka kesadaran reflektif masyarakat akan situs Pulau Kenanga dan kawasan Keraton?
Pasar Ngasem adalah potret kehidupan tradisional yang lekat dengan nama Yogyakarta itu sendiri. Aktivitas pedagang, pembeli, masyarakat sekitar atau pengunjung yang sekedar berjalan-jalan dan menghilangkan penat cukup dengan melihat kesibukan orang melakukan tawar menawar, memilik-milih ikan, mendengar kicauan burung, atau membelai-belai hewan-hewan lucu lainnya secara gratis. Adalah daya tarik sendiri yang menyenangkan. Yang tidak dapat digantikan dan ditemui di mall-mall.
Pemerintah mestinya belajar dari beberapa kesalahan, kegagalan dan kekurangan dalam melakukan penataan. Seperti di pasar Beringharjo, taman Senopati, dan Shoping. Salah satunya, bagaimana lift barang di pasar Beringharjo yang mubazir, Gedung Societet yang kurang representatif untuk menggelar kegiatan berkesenian. Seniman malah mengalihkan panggilan kegitan berkeseniannya di plaza Monumen SO termasuk pemkot. Kawasan Senopati yang dijanjikan menjadi hutan kota malah menjadi taman parkir bus wisata. Dan kawasan shopping yang semakin tidak jelas akan menjadi apa.
Penataan yang tidak berakar pada budaya, tradisi, kebiasaan keseharian masyarakat setempat dan menggantungkan pada ide atau gagasan budaya yang bersifat kagetan akan merusak tatanan budaya yang tumbuh dan berkembang secara alami bersama masyarakat itu sendiri.
Penataan kawasan yang mencabut akar budaya masyarakat akan menimbulkan permasalahan sosial baru dan menghilangkan ciri, citra masyarakat tradisional Yogyakarta. Pada akhirnya, Yogyakarta kehilangan eksotismenya karena perencanaan penataan kawasan, seperti pasar Ngasem didasari dari gagasan atau ide kagetan.
Lucunya, ide lengkap penataan dikembalikan ke masyarakat dengan embel-embel partisipasi masyarakat lewat lomba-lomba. Sebagai legalitas peran masyarakat dalam penataan kawasan pasar Ngasem. Sudah saatnya pemerintah merubah cara berpikir dan kerja kagetan yang hanya merusak eksotisme Yogyakarta.

Eko Indarwanto, warga Yogya(Kompas Jogja 4 Agustus 2004)

Awas, masih Ada Kereta yang Lewat

Pembangunan rel ganda tengah memasuki kawasan kota Yogyakarta. Dampaknya baru akan dirasakan manakala masyarakat merasakan langsung frekuensi lalu lalang kereta api tidak seperti biasanya.
Dari dulu hingga sekarang kereta api selalu berjalan di relnya. Namun membiasakan masyarakat untuk memahami dan menyadari adanya perubahan lalu lalang kereta api yang tidak lagi tunggal menjadi ganda, merupakan pekerjaan yang tidak mudah.
Sejalan dengan pembangunan rel ganda di wilayah Daop VI, semestinya PT KAI yaitu Daop VI mulai melakukan sosialisasi terhadap hadirnya rel ganda lebih dini. Tidak selamanya kereta api datang dari satu arah namun dapat terjadi kereta datang dari dua arah pada waktu bersamaan. Termasuk saat di perlintasan rel kereta api dengan jalan raya.
Daop VI pasti menyadari bagaimana tingkat kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi rambu-rambu lalulintas. Kebiasaan menerobos palang pintu perlintasan kereta api yang sudah ditutup menjadi pemandangan yang selalu menimbulkan kecemasan tersendiri. Apalagi ketidak sabaran pengemudi yang ditunjukan dengan membunyikan klakson terus menerus saat kereta tidak lewat-lewat.
Sangat memungkinkan ketika rel ganda sudah berfungisi, satu kereta sudah lewat tetapi palang pintu perlintasan masih tertutup karena menunggu kereta dari arah lain akan lewat. Kebiasaan masyarakat memahami satu kereta api lewat diperlintasan sudah cukup dan ketidak sabaran pengemudi kendaraan bermotor, biasanya pengendara sepeda motor atau kernet bus kota, spontan membuka sendiri palang pintu perlintasan kereta api.
Tragedi tentang perlintasan kereta api akan menjadi kenyataan jika Daop VI tidak segera melakukan sosialisasi kehadiran rel ganda. Sosialisasi tidak cukup dengan memutarkan rekaman suara perempuan lewat pengeras suara di perlintasan kereta api yang bersifat menggurui dan bercerita tentang isi undang-undang seperti yang ada di sebelah barat stasiun Lempuyangan. Selain tidak efektif, membosankan, pesannya juga tidak terdengar karena kalah dengan suara deru kendaraan.
Daop VI harus mulai merubah pola sosialisasi yang bersifat menggurui, dan hanya cukup memasang rambu tanda kereta api berupa gambar kereta api di setiap perlintasan kereta api termasuk membangun polisi-polisi tidur untuk mengejutkan pengemudi. Atau puas memasang tulisan Awas Hati-Hati Ada Kereta atau spanduk bertuliskan peringatan dan himbauan kepada pengguna jalan, mengganti rambu-rambu lama Satu Sepur yang nyaris tidak terbaca dengan Awas, Masih Ada Kereta yang Lewat.
Sosialisai kehadiran rel ganda harus lebih menyentuh dan mampu “menyapa” masyarakat Yogya. Sehingga masyarakat merasa “diwongke” dan balasannya mereka akan ikut menjaga keamanan di perlintasan atau sepanjang jalur rel kereta api.
Saat ini kereta api yang melintas kota Yogyakarta diperkirakan sekitar 60 lebih setiap harinya, dengan adanya rel ganda akan meningkat dua kali lipat. Sosisalisasi kehadiran rel ganda patut dilakukan dengan cara yang lebih kreatif, cerdas dan tepat mengenai sasaran.

Eko Indarawanto, warga Yogyakarta
Kompas Jogja, 20 Juli 2005

Jam Publik di Kota Tercinta

Kota Yogya kembali memiliki jam publik yang terletak di beberapa tempat strategis seperti di Jl. Suroto dan utara hotel Garuda. Jam-jam publik lama tinggalan Belanda sudah tidak lagi berfungsi, digusur demi pembangunan. Satu jam dengan badan besar yang masih tersisa dan menjadi “monumen”, letaknya di utara Gedung Agung.
Jam mekanik pertama dibuat di Prancis sekitar tahun 1360. Bentuk badannya besar terbuat dari besi dan memiliki pemberat yang bobotnya mencapai 220 kg. Jam itu dibuat oleh Henry de Vick atas permintaan raja Charles V.
Awalnya jam dibuat untuk menandai waktu yang kemudian berkembang sesuai kebutuhan. Salah satu diantaranya dapat menjadi identitas kota karena keunikan dari bentuknya. Seperti jam di Istana Westminster, kini digunakan sebagai gedung parlemen Inggris, beserta menara jam legendarisnya, Big Ben. Bahkan radio BBC dengan bangga menyiarkan secara langsung bunyi lonceng jam tersebut sebagai pembuka siaran setiap harinya.
Di Bukittinggi Sumatera Barat ada jam Gadang yang menjadi ciri khas kota. Jam yang dibangun tahun 1927 oleh Belanda, sampai sekarang masih terpelihara dengan baik Salah satu fungsi jam publik untuk mempercantik kota disamping dapat menunjukkan bagaimana tingkat disiplin dan kesadaran masyarakat dalam menghargai waktu.
Jam-jam publik di kota Yogya yang dibangun pihak swasta bekerjasama dengan Pemkot Yogya, diharapkan dapat meningkatkan tingkat kedisiplinan masyarakat Yogya. Ada penilaian tingkat kedisiplinan orang-orang Yogya rendah. Tercermin dari bagaimana orang Yogya mengendarai kendaraan bermotor, yang tidak mengindahkan etika berlalulintas dan sering melakukan berbagai pelanggaran terhadap aturan atau rambu-rambu lalulintas.
Jika Pemkot berharap pembangunan jam-jam publik itu dapat meningkatkan disiplin masyarakat. Maka Pemkot mesti memberikan contoh dan teladan, pegawai di lingkungan pemkot harus menjadi contoh dan panutan bagaimana membudayakan sikap tepat waktu dan disiplin. Baik di kantor atau di tempat umum.
Jangan sampai jam-jam publik yang berdiri di tempat-tempat strategis kota hanya menjadi slogan-slogan kosong tentang kedisiplinan karena tidak menyentuh kesadaran dan sarat dengan kepentingan politis sebagai “monumen pembangunan” atau sekedar lipservice untuk menyenangkan hati publik.
Pemkot Yogya mesti belajar dari pemkot dan warga London yang bangga dengan jam di menara Big Ben. Bahkan radio publik sekelas BBC rutin menyiarkan secara langsung bunyi lonceng jam tersebut. Itu karena warga kota London mencintai kotanya dan pemerintah kotanya menghargai setiap fase perkembangan sejarah kota.
Diantaranya melestarikan bangunan bersejarah, menghargai orang-orang yang berjasa untuk kemajuan kota serta menambah nilai ruang publik supaya lebih bermakna. Disamping memiliki sikap disiplin yang tinggi, santun serta menghargai setiap perbedaan.
Bagaimana dengan Yogya? Mari kita renungkan bersama.
Eko Indarwanto, (Kompas Jogja, 20 September 2006)