Translate

31 Juli 2009

Rusunawa, Jemuran dan Kota Budaya

Keberadaan rumah susun sedehana sewa atau rusunawa di Cokrodirjan mudah sekali menarik perhatian bagi orang yang sedang melintas di atas jembatan Juminahan atau jembatan Jambu. Karena bangunannya paling menonjol dan tinggi dibanding dengan bangunan lain di sekitarnya, di pinggir sungai Code.
Mestinya keberadaan rusunawa tiga tahun lalu, memberi nilai lebih bagi Yogya. Tidak dibiarkan menjadi bangunan yang tanpa memiliki sentuhan cita rasa seni, “kosong”, kurang menyatu dengan atmosfir Yogya.
Andaikan dinding rusunawa Cokrodirjan dihiasi lukisan mural seperti di tembok-tembok di beberapa sudut kota dan di tiang-tiang penyangga jembatan layang Lempuyangan. Tentunya keberadaan rusunawa di pinggir sungai Code menambah daya tarik kawasan pinggir sungai Code.
Sebagaimana pernah dilakukan Romo Mangun, yang tidak sekedar menata pemukiman pinggir sungai Code. Tetapi juga memberi sentuhan seni pada rumah-rumah yang terbuat dari anyaman bambu dengan memberi lukisan atau gambar yang berwarna-warni sehingga rumah-rumah sederhana itu nampak indah dan lebih humanis.
Rusunawa Cokrodirjan diresmikan tahun 2004 bersamaan dengan rusunawa di Cimahi, Gresik, Tangerang, Batam, dan Surabaya. Seyogyanya konsep membangun rusunawa di Yogya tidak sebatas pada upaya menyediakan tempat tinggal sewa yang murah dan tertata rapi. Sewa perbulan antara Rp 75 ribu sampai Rp 85 ribu, kamar mandi dan WC di dalam. Atau peduli lingkungan dengan menyediakan kamar mandi atau WC umum untuk warga sekitar rusunawa.
Tetapi bagaimana menjadikan bangunan itu unik, menarik, selaras dengan lingkungan. Penghuni sadar menjaga kebersihan, keamanan dan kenyamanan bersama. Serta tidak gagap dalam proses akulutrasi budaya.
Peraturan Pemerintah no 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun salah satu pasalnya menyebutkan rumah susun harus dilengkapi alat pemadam kebakaran dan tempat jemuran. Di rusunawa Cokrodirjan ada tempat pemadam kebakaran tetapi alatnya tidak ada ditempat. Entah memang tidak dilengkapi atau disimpan oleh pengelola rusanunawa karena takut hilang.
Persoalan jemuran, warga rusunawa harus kreatif membuat jemuran sendiri di depan kamarnya. Jika kurang cermat saat menjemur bisa jadi baju atau yang lainnya diterbangkan angin dan jatuh di sungai Code. Jika demikian jangan berharap pakaian itu mudah ditemukan. Karena itu pembangunan rusunawa Juminahan yang mulai dikerjakaan saat ini mesti memperhatikan persoalan-persoalan sepele seperti tempat jemuran, sistem alarm, dan tempat sampah.
Penyewa rusunawa terdiri dari berbagai latar belakang budaya dan sosial. Tidak semuanya lahir dan besar di Yogya, mereka mencari nafkah di Yogya. Untuk itu dalam membangun rusunawa mesti memperhatikan nilai kelokalan dan kultur Yogya. Karena tidak tersedianya jemuran maka dengan mudah dilihat lambaian jemuran celana dalam dari jalan raya. Tentu hal itu akan merusak citra kota budaya.(Kompas Jogja.13/2/2008)
P Daryono(*)
Komunitas Cemara Tujuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar