Translate

01 Juni 2009

Lempuyangan Potret Buram Ketidakpedulian

Dipindahkannya aktivitas keberangkatan dan kedatangan penumpang kereta kelas ekonomi dari stasiun Tugu ke stasiun Lempuyangan tahun 1990an telah membawa dampak perubahan sosial baru di sekitar kawasan stasiun Lempuyangan.
Perubahan yang cukup cepat ini, jika tidak segera diantisipasi dan dipikirkan secara cermat akan menimbulkan persoalan klasik sebagaiman sering ditemui di kota besar. Yaitu, praktek gusur-menggusur dengan alasan demi ketertiban, keindahan bahkan tidak jarang ditambahi dengan kata sakti “supaya lebih manusiawi”. Yang hanya akan menandatangkan tangis dan pilu di satu sisi. Dan pamer kekuasaan, kecongkakan serta kesombongan di sisi yang lainnya.
Masyarakat sekitar stasiun Lempuyangan sangat responsif dengan perubahan. Mereka menangkap adanya peluang serta kebutuhan akibat dari pemindahan aktivitas keberangkatan dan kedatangan penumpang di Lempuyangan. Sebagaimana awal proses tumbuhnya pedagang kaki lima dimulai dengan berdirinya satu kios kecil penjual rokok atau gorengan yang buka pada jam-jam tertentu. Berkembang menjadi warung-warung dengan beraneka sajian yang jumlahnya semakin banyak, tidak teratur ukuran dan penggunaan atau pemanfaatan tempat. Bahkan ada yang buka 24 atau buka bergantian dari warung atau kios yang satu dengan yang lainnya.
Lempuyangan telah menjadi potret buram akan ketidak pedulian pemkot, Daop VI, kepala stasiun Lempuyangan dan masyarakat setempat. Adalah tugas Pemkot untuk mengantisipasi dan mengatur setiap perkembangan sisi-sisi kotanya termasuk perkembangan dan perubahan di kawasan stasiun Lempuyangan. Daop VI dan kepala stasiun Lempuyangan tidak dapat mengelak tanggungjawab akan adanya dampak sosial dari kebijakan perubahan keberangkatan dan kedatangan penumpang. Mereka tidak dapat beralasan tugas dan wewenangnya hanya mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perkereta apian, kemudian melimpahkan persolan PKL ke pihak Pemkot.
Manajemen kepimpinan yang kritis dan kreatif memiliki kepedulian, kepekaan serta bersifat visioner dalam menangkap setiap perubahan di lingkungannya. Pemimpin yang baik tidak berpikir dan bersikap sektoral tetapi lintas sektoral.
Masyarakat sekitar stasiun Lempuyangan mestinya tidak hanya bepikir ekonomis yang hanya memikirkan keuntungan lewat kegiatan membuka usaha PKL yang menghabiskan trotoar dan mengancam kelangsungan hidup pohon. Atau membuka jasa parkir di rumah dinas atau jasa ojek. Tanpa memperhatikan kenyamanan dan keseimbangan daya dukung lingkungan atau kawasan Lempuyangan yang sempit.
Pemerintah terbiasa melakukan reaksi bukan aksi. Pemerintah terbiasa bereaksi setiap ada aksi spontan dan responsif dari masyarakat, yang berupa memberdayakan diri seperti dalam bidang ekonomi dengan menjadi PKL atau membuka jasa-jasa pelayanan lainnya.
Pemerintah lamban dalam melakukan aksi. Baik dalam perencanaan, sosialisasi atau eksekusi. Pembangunan pembatas seperti di tengah jalan Diponegoro, Magelang, dan jalan Tentara Pelajar merupakan bukti lemahnya perencanaan pengembangan dan pembangunan tata kota.
Sekaligus bukti lemahnya sosialisasi fungsi marka jalan dan eksekusi terhadap pelanggar hukum. Ketika permasalahan sudah menjadi sangat kompleks dan rumit seperti benang kusut. Pemerintah selalu menggunakan kebijakan main pangkas yang tidak memecahkan persoalan tetapi malahan menimbulkan persoalan baru.
Kawasan Lempuyangan adalah kawasan bom waktu yang akan memunculkan konflik sosial antara Pemkot, Daop VI, Kepala Stasiun Lempuyangan dan masyarakat. Kawasan Lempuyangan tengah berubah menjadi kawasan yang menyimpan konflik. Apakah Pemkot, Daop VI, Kepala Stasiun Lempuyangan dan masyarakat mampu menyelesaikannya secara baik-baik?
Lempuyangan telah mengikat berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ekonomis yang sangat diharapkan oleh tukang ojek, PKL, tukang parkir, dan sopir-sopir taksi. Belum terlambat untuk melakukan aksi manusiawi dalam menata kawasan Lempuyangan dengan melakukan dialog khas Yogya yang saling bertatap muka, saling mendengar dan saling memahami. Jauh dari rekayasa, yang penuh dengan istilah “katanya”. Katanya sudah ada dialog. Katanya sudah ada himbauan. Katanya sudah diberi ganti rugi. Dan katanya sudah di beri tenggang waktu.


Eko Indarwanto (Kompas Jogja, 29 September 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar