Translate

18 Agustus 2009

Bakpia Tengiri atau Bakpia Ngantuk

Nama bakpia tidak lepas dengan nama salah satu kawasan di tengah-tengah kota Yogya. Pathuk menjadi sentra pembuatan bakpia dari industri rumah tangga sampai industri berskala menengah.
Bentuk persaingan klasik antar produsen bakpia di Pathuk dari dulu sampai sekarang adalah persoalan identitas. Sebagai upaya membedakan produk bakpia yang satu dengan yang lain mereka memakai nomor rumah sebagai merek yang dicetak dalam kertas pembungkus atau dos.
Menggunakan nomor rumah sebagai merek dagang memang tidak lazim karena merek adalah identitas sekaligus citra yang mewakili sebuah produk. Jarang ada produsen yang memakai nomor rumah, kantor atau pabrik sebagai merek dagang karena khawatir dapat merusak imej atau citra produk di mata konsumen terkait dengan kondisi lingkungan atau bangunan rumah.
Tetapi inilah Yogya, walau merek menunjuk pada toko atau rumah yang letaknya di gang sempit dan konsumen dapat melihat bagaimana bakpia dibuat. Ternyata itu tidak mengurangi antusiasme wisatawan untuk mengunjungi Pathuk guna mencari bakpia sesuai dengan seleranya sebagai oleh-oleh walau harus masuk ke gang-gang sempit.
Persaingan bagai pisau bermata dua, menguntungkan karena dengan persaingan memunculkan semangat inovasi. Awalnya bakpia yang berbahan dasar kacang hijau, tepung terigu, gula pasir, minyak dan garam berasa kacang hijau. Kini pilihan semakin bervariasi karena ada rasa coklat, keju dan nanas.
Persaingan menjadi kurang sehat jika menitik beratkan kepandaian meniru baik dari rasa, bentuk, ukuran sampai kemasan dan merek karena akan menciptakan stagnasi . Ketika ada satu dua industri bakpia di Pathuk yang tutup. Itu buah dari seleksi alam dimana yang kreatif, inovatif dan memperhatikan kualitas yang akan bertahan.
Pathuk sebagai sentra bakpia ternyata tidak egois. Pathuk memiliki semangat pemerataan ekonomi dengan cara melatih beberapa orang untuk diajari bagaimana cara membuat bakpia. Kemudian orang itu harus menularkan ilmu membuat bakpia ke tetangga di sekitarnya.
Buktinya, di Jalan Tengiri Gang VII Perumahan Minomartani, Condong Catur, Sleman. Bakpia menjadi industri rumah tangga dan hampir setiap rumah ada tulisan tersedia bakpia rasa keju, kacang hijau, coklat dan nanas. Tidak lupa mencantumkan nomor rumah sebagai merek. Seperti 702, 705 dan 712. Angka 7, menunjukkan gang dan angka-angka di belakangnya menunjukan nomor rumah.
Persaingan juga terjadi, ada yang saling iri sesama tetangga dan ada juga bangkrut. Inilah Yogya, terkadang nampak tidak kreatif tetapi menggelikan. Andaikan pengrajin bakpia Minomartani dapat menciptakan bakpia rasa tengiri. Atau menemukan teknik memasak bakpia yang dapat membuat warna kuning kecoklatan pada kulit bakpia seperti ekspresi muka orang yang tertawa, cemberut, sedih dan nganthuk.
Sehingga dapat menjadi alternatif pilihan bagi wisatawan karena rasa dan keunikannya. Sekaligus menggoda wisatawan dan siapa tahu wisatawan atau orang Yogya menjuluki bakpia Minomartani dengan bakpia Tengiri atau bakpia Nganthuk.
Salam bakpia.

11 Agustus 2009

Menghijaukan Kota dari Kampung dan Kantor

Niat menghijaukan kota dengan pohon perindang terkendala oleh berbagai kepentingan pragmatis yang mengarah pada upaya meningkatkan pendapatan asli daerah. Seperti pembangunan mall atau tumbuhnya papan-papan reklame.
Keberadaan pohon perindang di pinggir jalan dimaknai sebagai pengganggu papan reklame dan kabel-kabel listrik atau telepon. Selain dapat merusak trotoar, jalan dan saluran drainase oleh akar-akar pohon tersebut.
Pegawai PLN atau PT Telkom sepertinya mengabaikan kemampuan alami pohon dalam menahan beban berat cabang-cabangnya. Mereka sering asal tebang atau pangkas terhadap pohon atau cabang yang dianggap menggangu kabel listrik atau telpon. Kurang memperhatikan estetika dan titik tumpu pohon dalam menahan beban berat cabang-cabangnya. Sehingga pohon-pohon itu tidak enak dipandang, rawan tumbang dan berpotensi mencelakai orang-orang yang kebetulan lewat atau ada di bawahnya.
Ini menunjukkan PT Telkom dan PLN kurang bersahabat dengan lingkungan dan memposisikan pohon-pohon dipinggir jalan sebagai pengganggu. Bukan sebaliknya, keberadaan instalasi listrik dan telepon yang sebenarnya menggangu pohon yang berfungsi sebagai perindang, menjaga cadangan air tanah, mengurangi polusi udara serta suara di kota.
Alternatif menghijaukan kota dengan memulai dari kampung atau komplek perumahan dan mendorong warga membuat taman di lahan kosong. Akan lebih bermanfaat jika Walikota mewajibkan kantor pemerintah atau instansi terkait menanam pohon perindang yang akarnya tidak merusak bangunan. Serta menghias ruangan kantor dengan tanaman hias atau bunga seperti mawar, anggrek, kaktus dan lainnya. Sehingga menciptakan suasanan kerja yang menyenangkan, mengurangi kejenuhan dan meningkatkan produktivitas serta kreativitas pegawai.
Tidak ada salahnya berharap dapat melihat keindahan bunga anggrek di dinding ruang tunggu kantor pegadaian. Melihat dan mencium bau wangi mawar yang ada di meja pegawai telkom atau PLN atau koperasi unit desa saat membayar rekening listrik atau telepon. Lebih menyenangkan jika bunga itu diambil dari tanaman yang tumbuh halaman kantor.
Selain itu bermimpi dapat mencium harumnya bunga melati saat membeli perangko, mengambil wesel atau membayar pajak di kantor pos. Bunga melati itu diletakkan di loket pelayanan baunya menyebar ke seluruh ruangan. Bunga itu tidak beli tetapi dipetik langsung dari tanaman melati yang tumbuh di sekitar kantor pos.
Karena itu kantor kelurahan dan kecamatan harus ikut berbebenah diri untuk menciptakan Yogya yang berhati nyaman. Tidak latah, ikut-ikutan memelihara tanaman hias yang sedang trend. Tetapi menciptakan kebersamaan dalam menumbuhkan rasa cinta masyarakat terhadap lingkungan. Dengan tekun merawat tanaman dan pohon di kantor atau tempat kerja.
Dari menyirami, membersihkan jamur atau parasit yang ada di pohon sampai memberikan pupuk. Tidak menyerahkan perawatannya kepada pesuruh, bawahan atau office boy. Mau...? (Kompas Jogja, 17/10/2007)
Ady Pratama(*) Komunitas Anak Bawang

05 Agustus 2009

Sekolah Dam... Di... Dam... Di... Dam... Dam...

Proses pendidikan di sekolah mestinya berlangsung menyenangkan karena tugas sekolah memberi sesuatu yang baru bagi siswa. Interaksi guru dan murid baik jika setiap tugas dari guru tidak dimaknai sebagai beban oleh murid.
Pembelajaran di sekolah menjadi menarik jika guru dapat meciptakan atmosfir pembelajaran yang menumbuhkan antusiasme siswa dengan menempatkan obyek pelajaran seperti sebuah misteri, yang menggoda rasa ingin tahu sehingga mendorong keinginan siswa untuk memecahkannya.
Sekolah itu menyenangkan jika nampak wajah ceria pada diri siswa saat ke sekolah. Iklan sekolah gratis dimana-mana, memperlihatkan bagaimana siswa sekolah dasar dan menengah pertama gembira dengan berlari-lari kecil, menyanyi dan ceria saat berangkat ke sekolah. Sambil menari mengikuti irama lagu, dam... di... dam... di... dam... dam.....
Sementara wajah orang tua di sebuah kampung antah berantah mengekspresikan perasaan senang dengan ikut menari dan menyanyi, sambil memukul peralatan rumah tangga. Tidak ketinggalan tukang ojek ikut menari dalam gerakan yang padu dan seirama dalam iklan sekolah gratis dimana-mana. Dam... di... dam... di... dam... dam...
Iklan adalah iklan. Tugasnya membujuk, menciptakan atau menjaga citra produk yang diiklankan. Iklan yang bagus jika memiliki kekuatan untuk menghentikan atau stoping power. Memiliki konsep jelas, dibuat secara sederhana, mengandung unsur tidak terduga serta mempunyai daya bujuk agar agar konsumen tergoda membeli atau mengikuti.
Sekolah itu menyenangkan karena mengajarkan banyak hal seperti kejujuran, kesahajaan, kesederhanaan, menghargai setiap perbedaan dan terbuka terhadap ide, gagasan atau cita-cita muridnya. Tidak menjebaknya dalam permainan kata-kata bahwa anak pinter harus jadi dokter. Bapaknya sopir angkot, anaknya bisa jadi pilot. Atau bapaknya tukang loper koran, anaknya bisa jadi wartawan. Seperti dalam tayangan iklan sekolah gratis dimana-mana, versi percakapan dalam angkot.
Pendidikan yang menyenangkan adalah pendidikan yang menghargai arti kebebasan, memberi pengertian pentingnya memilih yang dilandasi dengan tanggungjawab. Untuk itu pendidikan mesti mendorong siswa untuk dapat mewujudkan mimpi-mimpinya.
Mengapa harus menanamkan pemahaman bahwa anak sopir ke depan juga jadi sopir. Tidak salah jika anak sopir angkot menjadi penguasaha jasa angkutan penumpang seperti travel atau juragan kendaraan angkutan kota. Pendidikan yang mencerdaskan memberi kesempatan pada siswa untuk memperoleh sesuatu yang baru. Tidak ikut-ikutan menilai pekerjaan sopir angkot sebagai pekerjaan kasar dan rendahan. Sementara pekerjaan sebagai pilot pekerjaan yang bergengsi dan prestisius, walau esensinya sama.
Sekolah akan menyenangkan jika sistem pendidikan mendorong siswa kreatif melihat setiap kemungkinan akan masa depan, tidak membelenggunya dengan sejarah pekerjaan orang tua. Anak penjual atau tukang loper koran bisa menjadi seniman besar bukan sekedar menjadi wartawan yang tugasnya mengejar, mencari berita atau membuat gosip dari dan tentang seniman besar.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak terjebak dalam kepentingan politis. Tidak memanfaatkan kepandaian atau kecerdikan untuk mengelabui orang atau pihak lain dengan menyembunyikan kebenaran. Lewat kata-kata yang bersayap dan penuh kamuflase, seperti sekolah gratis dimana-mana.
Di beberapa daerah sebagian orang tua siswa yang bersyukur anak-anaknya merasakan sekolah gratis tingkat dasar dan menengah pertama Tetapi tidak sedikit yang kecewa dengan iklan sekolah gratis dimana-mana karena mereka harus cermat memaknai arti sekolah gratis dan harus mencari dimana sekolah gratis.
Keinginan pemerintah menyelenggarakan pendidikan gratis tingkat pendidikan dasar dan menengah seperti dalam iklan sulit diwujudkan sebab sejumlah daerah mengalami keterbatasan APBD. Namun itu bukan berarti susah untuk menciptakan sekolah yang menyenangkan karena sekolah gratis tidak secara otomatis akan membentuk sistem pendidikan yang menyenangkan.
Standarisasi nilai ujian kelulusan lewat ujian nasional atau UN kerap membawa persoalan sosial baru. Sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan sebagai tempat untuk belajar, menerima kekurangan dalam memahami sebuah persoalan. Bukan lagi tempat yang “pribadi” untuk mengakui kelemahan dalam memahami salah satu mata pelajaran. Termasuk menyadari kekurangan diri sebagai siswa yang tergolong kurang teliti atau kurang mampu dalam satu pelajaran tertentu.
Sekolah terasa menjadi angkuh dan tidak lagi bersahabat ketika siswa menginjak kelas akhir. Sekolah mengkondisikan keadaan seperti akan menghadapi pertempuran. Beberapa minggu menjelang UN, sekolah seperti kamp latihan militer. Ada sekolah yang sibuk dengan memberi jam pelajaran tambahan bahkan ada yang meminta siswa menginap di sekolah.
Sekolah gratis, dalam arti yang sesungguhnya atau yang sudah sengaja dibiaskan. Tidak sepenuhnya memiliki korelasi positif dengan kualitas pendidikan di sekolah. Manfaat sekolah gratis lebih banyak dirasakan orang tua dan politisi sementara siswa kurang merasakan manfaatnya.
Tidak sedikit orang tua, pemerhati masalah pendidikan mengeluh dengan adanya sekolah gratis kualitas pendidikan tingkat dasar dan menengah pertama menurun. Ini dipicu rendahnya dana untuk keberlangsung proses belajar mengajar di sekolah.
Perhatian publik tentang sekolah gratis bersifat musiman, umumnya terjadi saat penerimaan siswa baru. Seiring dengan perjalanan waktu perhatian akan berkurang dan beralih ke persoalan lain. Apakah sekolah mampu mempertahankan keceriaan siswa-siswa yang duduk di kelas akhir seperti di iklan sekolah gratis dimana-mana? Berangkat ke sekolah bersenandung gembira, “Dam... di... dam... di... dam... dam...”.
Dari iklan sekolah gratis, nampaknya pemerintah memiliki keinginan yang baik. Tetapi pemerintah kembali dihadapkan pada persolan klasik dimana keinginan dan tujuan baik terkendala oleh jaring-jaring birokrasi, kepentingan politis, kurang seriusan dan kualitas sumberdaya manusia tingkat manajerial sampai pelaksana dalam menyikapi sebuah kebijakan yang pro rakyat.
Pemerintah mestinya bertindak tegas dan cepat dalam mewujudkan pendidikan gratis tingkat dasar. Hambatan birokrasi dan aturan di daerah yang kurang memihak pada rakyat mestinya dihilangkan. Yang ditunggu rakyat bukan sekedar sekolah gratis dimana-mana tetapi komitmen dan keseriusan dalam meweujudkan program pendidikan gratis.
Sekolah gratis bukan sekedar sekolah yang memamerkan tari dan lagu dam... di... dam... di... dam... dam....Seperti film-film India yang mengumbar mimpi lewat tari dan lagu. Sekolah itu pendidikan dan iklan sekolah gratis mestinya mendidik kejujuran. Gratis, ya... gratis tis. Bukan dam... di... dam... di... dam... dam.... (Kompas jateng DIY,3 Agustus 2009)
Eko Indarwanto,
Community for Hope and Change

03 Agustus 2009

Jogja dan Jembatan

Di atas aliran sungai Code, sedikitnya ada tujuh jembatan yang menghubungkan wilayah yang satu dengan yang lainnya. Jembatan di Jl. Sarjito, jembatan Gondolayu di Jl Sudirman, Kewek, jembatan Jambu Jl. Mas Suharto, jembatan Juminahan dekat Jl. Jagalan dan Jl. Juminahan. Jembatan Gondomanan atau Ratmakan menghubungkan Jl. Sultan Agung dan Jl. Senopati, serta jembatan Tungkak di Jl. Sugiono. Belum lagi jembatan yang melintang di atas sungai Gajah Wong dan sungai Winongo.
Perlakuan dan perawatan Pemkot terhadap jembatan-jembatan tersebut berbeda dan terkesan diskriminatif. Jembatan Gondolayu dan Kewek menjadi anak mas Pemkot. Kedua jembatan ini dilengkapi dengan berbagai lampu hias dan banyak lampu antik. Bahkan jembatan Gondolayu dilengkapi dengan lampu sorot di kanan kirinya sehingga menimbulkan kesan yang eksotis di malam hari.
Jembatan Kewek selain sudah unik karena ada jalan kereta api yang melintas di atasnya. Oleh Pemkot dilengkapi lagi dengan taman, air mancur, lampu hias, dan lampu penerang yang menyoroti tugu adipura.
Bandingkan dengan jembatan Gondomanan, yang hanya dilengkapi empat lampu antik, tiangnya kusam dan lampu hiasnya kecil kurang proporsional untuk menghias jembatan yang cukup lebar dan ramai. Atau mungkin lampu hias tersebut sengaja dipasang oleh warga sekitar jembatan untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan RI.
Tidak ada kesan khusus bahwa jembatan itu merupakan jembatan penting karena jembatan Gondomanan menjadi salah satu sarana utama yang menghubungkan jalan menuju obyek wisata Kraton Puro Pakualaman dan Gembiraloka.
Kesan diskriminatif semakin nampak jika membandingkan dengan jembatan Tungkak di Jl. Sugiono. Jembatan ini jauh dari hiasan dan minim lampu penerang. Setiap kali pejalan kaki lewat harus menutup hidung karena bau yang tidak sedap muncul dari bawah jembatan yang banyak sampah di dasar sungai dan di tiang jembatan. Tidak ada pemandangan yang menarik saat melihat ke bawah jembatan selain sampah, rumput dan tanaman liar yang tumbuh tinggi.
Berbeda saat kita melihat ke bawah di jembatan Gondolayu, Gondomanan, Juminahan, Jambu atau jembatan Sarjito. Walau tidak terlalu bersih, sampah sudah mulai jarang terlihat. Warga sekitar kolong jembatan dan sepanjang sungai Code dari jembatan Sarjito, Gondolayu sampai Gondomanan sepertinya mengerti bagaimana menjaga sungai supaya bersih. Karena tidak sedikit warga yang memanfaatkan aliran sungai Code untuk memelihara ikan.
Sepertinya warga paham akan anjuran untuk tidak membuang sampah ke sungai. Tetapi menjadikan kolong serta samping jembatan untuk menyimpan kertas, botol bekas dan barang rongsokan lainnya seperti di bawah dan samping jembatan Gondolayu.
Semoga Pemkot dan warga sekitar jembatan-jembatan di Yogya memiliki ide membuat program untuk mempercantik jembatan, sungai dan kolong jembatan supaya bersih dan menarik untuk dilihat. Sehingga setiap jembatan yang ada di Yogya memiliki karakter tersendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya sesuai dengan karakter warga yang tinggal di sekitar jembatan.(Kompas Jogja,31/10/2007)
P Daryono(*)
Komunitas Cemara Tujuh